Dalam sejarahnya, Australia yang dipimpin PM dari Partai Buruh selalu memiliki tradisi yang realistis terhadap Asia Tenggara, temasuk memiliki hubungan dekat dengan Indonesia.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·4 menit baca
Pemimpin Partai Buruh Australia, Anthony Albanese, telah dilantik sebagai perdana menteri ke-31 negara itu, Senin (23/5/2022). Seusai pelantikan, dia bersama menteri luar negeri yang baru, Penny Wong, terbang ke Tokyo untuk mengikuti konferensi tingkat tinggi Quad, Selasa (24/5). Konferensi fokus pada upaya merespons tumbuhnya pengaruh China di Indo-Pasifik.
Dalam sejarahnya, Australia yang dipimpin perdana menteri dari Partai Buruh selalu memiliki tradisi yang realistis terhadap Asia Tenggara, temasuk memiliki hubungan dekat dengan Indonesia. Era Perdana Menteri Paul Keating (1991-1996) dianggap sebagai salah satu periode mesra dalam hubungan Australia-Indonesia. Dia bahkan memiliki hubungan pribadi yang baik dengan Presiden Soeharto.
Sembilan tahun absen, yakni sejak lengsernya Kevin Rudd pada 18 September 2013, Partai Buruh tampil lagi setelah memenangi pemilu parlemen, Sabtu (21/5), yang mengantarkan Albanese menjadi PM Australia. Sebelum pemilu, Albanese menegaskan, Indonesia akan menjadi salah satu kunjungan pertamanya jika terpilih menjadi PM.
Lewat pernyataannya itu, menurut situs The Australian, Albanese akan menempatkan Indonesia sebagai prioritas kunjungan diplomatik. Menurut Albanese, Canberra perlu membangun hubungan yang lebih kuat dan dekat dengan Indonesia. Dia bahkan menggambarkan Indonesia, seperti China dan India, bakal menjadi negara raksasa atau negara adikuasa di masa depan.
”Indonesia akan tumbuh menjadi ekonomi yang substansial di dunia. Kita hidup di wilayah di mana di masa depan kita akan memiliki China, India, dan Indonesia sebagai raksasa. Kita perlu memperkuat kemitraan ekonomi itu,” kata Albanese di National Press Club, Canberra, seperti dilaporkan Bloomberg, Kamis (18/5), tiga hari sebelum pemilu parlemen Australia.
Albanese tidak merinci kebijakan khusus untuk mendekatkan Australia dan Indonesia. Namun, pemimpin baru Australia keturunan Italia-Irlandia ini ingin memperluas kemitraan antarwarga (people to people). Canberra akan memperkuat kemitraan di berbagai sektor, antara lain ekonomi, keamanan, dan keselamatan maritim, dengan Jakarta.
PM Albanese juga mempertanyakan mengapa hubungan antara Australia dan Indonesia tidak dekat di masa pemerintahan sebelumnya. Padahal, secara geografis, Australia dan Indonesia tetangga dekat. Menurut dia, Australia harus benar-benar memperkuat hubungan dengan Indonesia yang suatu hari akan menjadi adidaya baru.
Teuku Rezasyah, pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran, mengatatakan, secara histroris, Australia di bawah pemerintahan Partai Buruh memang lebih terbuka terhadap kerja sama bilateral dengan Indonesia, begitu juga dalam kerja sama internasional. Australia lebih akomodatif, tidak menyerang kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
Menurut Teuku, hubungan Australia-Indonesia di era Keating paling mesra. Keating dan Presiden Soeharto tidak saja mengembangkan hubungan erat di level kenegaraan, tetapi juga kuat di level pribadi. Kontak antarpribadi keduanya sangat baik. ”Kedekatan Australia-Indonesia bahkan bersifat berlapis-lapis,” kata Teuku.
Australia-Indonesia memiliki beberapa perjanjian keamanan, yang diawali dengan Agreement Mutual Security (AMS) pada 1995, pada masa Keating-Soeharto. Perjanjian itu sebenarnya menjadi fondasi hubungan atau kerja sama Indonesia-Australia pada masa-masa berikutnya. Namun, akibat krisis Timor Timur (1999), Indonesia membatalkan AMS sehingga hubungan merosot tajam.
Setelah lebih dari satu dekade tidak ada perjanjian keamanan baru yang diteken antara Australia dan Indonesia, Perjanjian Lombok (Lombok Treaty) pun diteken pada tahun 2006. Perjanjian keamanan kedua ini terbukti lebih berhasil. Dengan dua perjanjian yang diperbarui sejak penandatanganan aslinya, perjanjian tetap berlaku hingga Mei 2019.
Perjanjian Lombok dan berikutnya memberikan kerangka hukum yang kuat untuk mendorong dialog bilateral, pertukaran, dan pelaksanaan kegiatan secara kooperatif. Perjanjian ini memperkuat komitmen untuk bekerja sama di bidang-bidang pertahanan, antiterorisme, keamanan atau keselamatan maritim, serta riset ruang angkasa yang melibatkan kedua negara.
Dalam kenyataannya, kerja sama ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh Australia. Tampaknya Albanese ingin memperbaruinya dengan memberi bobot lebih kuat, lebih tinggi, dan lebih dekat dalam membina hubungan dengan Indonesia. Menurut Teuku, Australia di bawah pemerintahan Albanese dan Partai Buruh saat ini tampaknya ingin merangkul lagi Indonesia agar lebih dekat.
Salah satu pertimbangan Albanese adalah keteguhan prinsip Indonesia yang mempertahankan kebijakan nonblok. Banyak negara terjebak dalam blok kekuatan pengaruh besar seperti pengaruh China dan AS, tetapi Indonesia tetap konsisten dengan sikapnya untuk tidak memihak. Bagi Albanese, ini penting terkait peran Indonesia di Indo-Pasifik.
Dafri Agusssalim, pengamat Australia di Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, mengatakan, dalam sejarahnya hubungan baik Australia-Indonesia mencapai dua puncak pada era Bob Hawke (1983-1991) dan Keating. Namun, kedekatan itu harus dipahami dalam konteks lingkungan politik internasional kala itu. Belakangan ini politik luar negeri Australia lebih bipartisan.
Dengan itu, penting bagi Indonesia tidak terlalu mengandalkan sejarah lama bahwa Australia adalah teman baik di bawah pemerintahan Partai Buruh. Meski demikian, Partai Buruh di bawah Albanese dipastikan akan tetap melihat Indonesia penting sebagai pintu masuk ke Asia dan Asia Tenggara. Indonesia juga dipandang sebagai aktor di Indo-Pasifik.