Sekelumit Cerita Sukses Chile Mengembangkan Energi Terbarukan
Tak mau lagi bergantung pada Argentina, Chile mengembangkan energi terbarukan dengan pembangkit tenaga surya dan angin. Hasilnya, kini 22 persen pasokan energi listrik Chile berasal dari energi terbarukan.
Oleh
LUKI AULIA
·6 menit baca
Semua ini berawal dari pertengahan tahun 2000-an, ketika masyarakat Chile sering mendapat giliran pemadaman listrik gara-gara pasokan sumber energi listrik dari Argentina tersendat-sendat. Pada waktu itu, Chile masih sangat bergantung pada pasokan gas dari Argentina. Kemudian terjadi krisis energi di Chile ketika Argentina secara drastis mengurangi ekspor gas ke negara itu karena mesti mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu.
Pada tahun 2008, Chile menetapkan target penggunaan energi terbarukan. Kini, Chile unggul dalam menangani masalah perubahan iklim. Ladang tenaga surga penghasil energi bersih tersebar di wilayah utara dan Chile bagian tengah. Hasilnya, hampir 22 persen pasokan listrik di negara berpenduduk lebih dari 18 juta jiwa itu kini dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga surya dan angin. Jumlah itu jauh di atas rata-rata global, yakni 10 persen. Amerika Serikat saja baru 13 persen.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup Chile, Marcelo Mena, masih sempat melihat pemborosan energi bersih sebelum ia mengambil alih Global Methane Hub, lembaga nonprofit yang bertujuan mengurangi emisi metana global. Gas alam pada dasarnya adalah metana. "Metana sebenarnya menghalangi kekuatan yang bisa kami berikan dari energi terbarukan,” kata Mena kepada kantor berita Associated Press.
Mena sempat kecewa ketika ia melihat energi yang terbarukan di Chile didorong oleh bahan bakar fosil di wilayah utara. Padahal, wilayah itu memiliki kekuatan sinar matahari yang paling berlimpah. Sementara di wilayah selatan, Chile kekurangan gas alam untuk pemanas. Masyarakat di wilayah selatan itu menghangatkan diri mereka dengan kayu bakar yang membuat mereka tersedak. “Ini kontradiktif sekali,” ujar Mena.
Chile memberikan pandangan mengenai cara supaya perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil tetap bisa bertahan, bahkan ketika pemerintah mencoba mewujudkan energi bersih. Setelah sibuk mencari alternatif sumber energi lain, kemudian Chile melihat peluang memanfaatkan sinar matahari. Maklum, Chile merupakan salah satu negara yang sinar mataharinya paling kuat dan konsisten di planet ini, terutama di Gurun Atacama, yang ada di wilayah utara.
Jadi, wajar jika Chile kemudian mencari investasi dalam proyek tenaga surya dan angin melalui proses lelang publik dan kuota. Dalam proses ini, perusahaan-perusahaan penghasil listrik harus menawarkan jumlah minimum energi terbarukan.
Gayung bersambut, investor menyambut kebutuhan Chile. Pengembang kemudian membangun ratusan pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan panas bumi di seluruh negeri yang membentang sekitar 4.300 kilometer dari utara ke selatan.
Namun, tetap saja tenaga surya dan angin tak cukup. Bahan bakar fosil tetap dibutuhkan. Agar tetap bisa menyediakan listrik ketika sedang tidak ada matahari dan angin, pemerintah juga berinvestasi sama banyaknya pada infrastruktur bahan bakar fosil.
Importir gas alam dan pemilik pembangkit berbahan bakar gas berargumen bahwa demi mengamankan kontrak jangka panjang untuk gas, mereka butuh jaminan jaringan listrik. Chile akan mengambil listrik berbahan bakar gas mereka, bahkan ketika generator lain yang lebih ramah lingkungan menghasilkan banyak daya.
Pembangkit listrik Chile, Colbun, konsumen besar gas alam, mengatakan bahwa kontrak internasional di mana importir LNG harus membayar gas--apakah mereka butuh atau tidak--membuat sektor ini rentan. Apalagi, mengingat masalah kurangnya penyimpanan. Padahal, urusan penyimpanan ini penting untuk memastikan ketersediaan pasokan sumber listrik.
Listrik berbahan gas
Pemerintah memperbolehkan perusahaan itu menyatakan bahwa listrik dari impor LNG itu sebagai “gas paksa”. Artinya, listrik berbahan bakar gas tetap diberikan prioritas di pasar listrik yang sebenarnya lebih memilih sumber energi terbarukan. “Kondisi apapun di pasar listrik yang lebih memilih bahan bakar fosil itu merugikan lingkungan dan transisi energi ke energi terbarukan,” kata Ana Lía Rojas yang memimpin Asosiasi Chile untuk Energi Terbarukan dan Penyimpanan.
Alfredo Solar, manager pembangkit listrik tenaga surya yang berpengalaman lebih dari 20 tahun, mengatakan bahwa ada konsekuensi lain dari penggunaan listrik berbahan bakar gas ke pasar, yakni menurunkan harga listrik untuk semua penyedia yang artinya mereka mendapat lebih sedikit bayaran. “Saya pernah bekerja di pembangkit listrik tenaga surya yang gagal bayar karena harga pasar jauh lebih rendah ketimbang yang diproyeksikan,” kata Solar.
Ia menambahkan, penyedia energi terbarukan beroperasi tanpa kontrak dan bergantung pada pendapatan itu.
Emisi dari pembakaran gas, minyak, dan batu bara untuk listrik, transportasi, dan penggunaan lainnya menjadi pendorong utama perubahan iklim. Pada tahun lalu, para peneliti menghitung sekitar 60 persen dari cadangan minyak dan gas dunia dan 90 persen dari cadangan batu bara harus tetap berada di bawah tanah pada tahun 2050 agar tujuan Perjanjian Iklim Paris bisa terpenuhi.
Gas alam atau metana merupakan gas rumah kaca yang kuat dan mempunyai dampak lebih kuat terhadap lingkungan ketimbang karbon dioksida dalam jangka pendek. Metana bisa memerangkap panas 84 kali lebih banyak ketimbang karbon dioksida selama periode 20 tahun. Oleh karena itu, pengurangan metana menjadi salah satu cara tercepat untuk mengurangi pemanasan global.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi Iklim PBB di Glasgow, Skotlandia, November 2021, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan belasan negara lain berjanji mengurangi emisi metana di seluruh dunia hingga 30 persen pada tahun 2030. Pada tahun lalu, pemerintah Chile mengurangi keuntungan yang diberikan kepada penyedia tenaga gas alam. Pasokan gas masih beredar di pasar dengan harga yang lebih murah dan ini tidak seharusnya menggantikan energi terbarukan.
Biaya tinggi penyimpanan
Namun, konsep “gas paksa” masih ada dan para pendukung energi terbarukan di Chile menilai perubahan itu tidak cukup. Di negara lain, penyimpanan baterai bisa menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar gas karena bisa menyediakan listrik ketika matahari sudah terbenam atau tak ada angin.
Di Amerika Serikat, jenis energi listrik yang tersimpan ini meningkat 1.200 persen dalam lima tahun, setara dengan pasokan dari tiga pembangkit nuklir yang dipasang pada 2021. Jumlah ini naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Namun, penyimpanan baterai skala besar masih terlalu mahal untuk bisa digunakan secara luas di Chile.
“Chile punya beberapa proyek, tetapi semua proyek itu merupakan solusi yang berbiaya tinggi,” kata Daniel Salazar, mantan direktur eksekutif jaringan listrik utara Chili yang kini bekerja di perusahaan konsultan EnergiE.
Untuk sementara ini, Rojas masih mendukung penggunaan gas alam. Alasannya, gas alam bisa menjadi batu lompatan transisi energi sebelum betul-betul memanfaatkan sumber energi terbarukan saja. Penggunaan gas alam boleh-boleh saja selama tidak mengambil alih energi terbarukan.
Di banyak negara lain, gagasan mengenai gas alam sebagai bahan bakar yang memungkinkan transisi energi justru memudar. Itu karena bahan bakar itu bisa lebih ramah iklim ketimbang batu bara jika tidak bocor atau tidak sengaja dikeluarkan dari sumur. Masalahnya, dari hasil sejumlah studi dan citra satelit kedua hal itu justru sering terjadi.
Tak seperti negara-negara lain, penggunaan tenaga surya di Chile diperkirakan akan mencapai 30 persen dari total kapasitas listrik terpasang pada 2030. Mena sering diberitahu perusahaan-perusahaan energi yang mapan bahwa butuh waktu lima tahun untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.
“Tetapi, perubahan bisa terjadi dan datang dari orang-orang yang tidak masuk akal. Orang-orang yang mau melakukan yang tidak mungkin. Kita butuh banyak orang seperti itu untuk membuat perubahan,” kata Mena. (AP)