Sepertiga Makanan Global Terbuang Sia-sia di Tengah Kelaparan Ekstrem
Di dunia, setiap tahun sekitar satu miliar ton makanan terbuang percuma dan berakhir di tempat sampah. Pada saat yang sama, angka kelaparan di seluruh dunia terus meningkat.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO, MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
NAIROBI, RABU - Makanan yang tidak dikonsumsi atau terbuang sia-sia, secara global, diperkirakan 1 miliar ton per tahun. Jumlah itu setara dengan sepertiga dari makanan yang diproduksi secara global.
Ironisnya, kondisi itu terjadi di tengah kelaparan ekstrem di sejumlah belahan dunia. Dalam pertemuan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York City, Rabu (18/5/2022), Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan, jika krisis pangan global dibiarkan terus terjadi, malnutrisi, kekurangan pangan, dan kelaparan bakal terus terjadi hingga bertahun-tahun.
Secara khusus, dalam pertemuan tentang ketahanan pangan global itu, Guterres menegaskan, krisis di Ukraina bakal menyebabkan puluhan juta orang terjerumus dalam kerawanan pangan. Secara global, tingkat kelaparan tetap sangat tinggi. Jumlah yang menghadapi kerawanan pangan berlipat ganda dalam dua tahun dari 135 juta orang sebelum pandemi menjadi 276 juta orang.
Laporan Global tentang Krisis Pangan (GRFC) tahun 2022 menyatakan, hampir 193 juta orang, yang tersebar di 53 negara atau wilayah, mengalami kerawanan pangan akut. Mereka membutuhkan bantuan pangan mendesak. Di seluruh Afrika, kerawanan pangan sedang meningkat. Lebih dari 2 juta anak berisiko mati kelaparan di Tanduk Afrika.
Di tengah tingginya angka kelaparan itu, krisis Ukraina berpotensi menambah kerawanan. Menurut Guterres, invasi Rusia ke Ukraina mendorong percepatan krisis pangan dan kelaparan global ke titik tertinggi baru. Konflik menyebabkan pelabuhan Laut Hitam Ukraina ditutup sehingga ekspor bahan makanan terhenti.
Sebelumnya, selama dua tahun terakhir dunia harus bergulat akibat naiknya angka kerawanan pangan. Hal itu, antara lain, disebabkan perubahan iklim, pandemi Covid-19, dan ketidaksetaraan akses bahan pangan. Pada akhir April lalu, Kepala Badan Bantuan PBB Martin Griffiths, di Geneva, mengatakan, sejumlah negara seperti Kenya, Etiopia, dan Somalia menghadapi kekeringan parah.
Upaya PBB
Guterres mengatakan, pihaknya tengah berkomunikasi secara intens dengan Rusia dan sejumlah negara. Ia berharap akan tercapai kesepakatan untuk mengizinkan ekspor biji-bijian yang disimpan di Pelabuhan Ukraina. Guterres juga ingin memastikan makanan dan pupuk Rusia mendapat akses tak terbatas ke pasar global.
”Implikasi keamanan, ekonomi, dan keuangan yang kompleks memerlukan niat baik dari semua pihak agar kesepakatan paket tercapai,” katanya tentang diskusinya dengan Moskwa, Ukraina, Turki, AS, dan Uni Eropa.
Menurut dia, tidak ada solusi efektif untuk krisis pangan tanpa mengintegrasikan kembali produksi pangan Ukraina serta makanan dan pupuk yang diproduksi oleh Rusia dan Belarusia ke pasar dunia meski ada perang.
Ukraina dan Rusia bersama-sama memproduksi hampir sepertiga gandum dan jelai, plus setengah dari minyak bunga matahari global. Abebe Haile-Gabriel, Asisten Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) untuk Afrika, mengatakan, hampir setengah dari 54 negara di benua itu menggantungkan pasokan gandum dari Rusia dan Ukraina. ”Dampak perang Ukraina ini tumpang-tindih dengan krisis yang telah berlangsung di beberapa negara Afrika,” kata Abebe. ”Kami memiliki pandangan yang sangat suram ke depan.”
Terbuang
Ironisnya, kondisi mengenaskan itu terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah makanan yang terbuang. Laporan Indeks Limbah Makanan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) 2021 menyebutkan, rumah tangga menyumbang 61 persen dari total sampah makanan tersebut, lalu 21 persen dari perusahaan katering, dan 13 persen dari warung. Per tahun, nilai limbah makanan diperkirakan mencapai 990 miliar dollar AS, dengan rincian 680 miliar dollar AS di negara-negara industri dan 310 miliar dollar AS di negara-negara berkembang.
Setiap tahun, konsumen di negara-negara kaya membuang makanan hampir sama banyaknya (222 juta ton) dengan seluruh produksi pangan bersih di Afrika Sub-Sahara (230 juta ton). Dilihat dari jenisnya, secara kuantitatif jenis makanan yang terbuang mencakup makanan atau bahan makanan berbasis sereal sebanyak 30 persen; umbi-umbian, buah-buahan, dan sayuran 40-50 persen; minyak sayur, daging, dan susu sebanyak 20 persen; serta ikan 30 persen.
Di Amerika Serikat, per tahun sekitar 30 persen dari semua makanan yang diproduksi berakhir di tong sampah. Nilai limbah makanan di negara itu per tahun 48,3 miliar dollar AS. Adapun di Inggris, rumah tangga membuang sekitar 6,7 juta ton makanan setiap tahun, atau setara sepertiga dari total makanan yang dihasilkan, yaitu sekitar 21,7 juta ton. Itu berarti sekitar 32 persen dari semua makanan yang dibeli per tahun tak dimakan.
Namun, tidak semua sampah makanan merupakan sisa makanan. Di Benua Afrika, limbah makanan terjadi karena faktor pemrosesan dan pengeringan yang tidak efisien, penyimpanan yang buruk dan infrastruktur yang tidak memadai. Di Afrika Sub-Sahara, kerugian pangan pascapanen diperkirakan 4 miliar dollar AS per tahun, cukup untuk memberi makan 48 juta orang.