Upaya pengelolaan sampah makanan bisa diawali dengan pendekatan sukarela dengan pengurangan dan pencegahan. Indonesia bisa meniru negara lain yang sukses mengelola sampah makanan.
Oleh
MARGARETHA PUTERI ROSALINA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Ada banyak pendekatan dalam mengelola sampah makanan. Dari tindakan sukarela dengan pengurangan dan pencegahan hingga pemberian insentif dan penegakan aturan yang disertai denda dan sanksi. Bagi Indonesia yang baru memulai langkah untuk mengelola sampah makanan, upaya mana yang akan Indonesia tiru?
Korea Selatan dan Hongkong memulai tahap awal mengelola sampah makanan dengan pendekatan sukarela. Caranya dengan sosialisasi dan mengajak masyarakat untuk mencegah dan mengurangi timbulan sampah makanan.
Korea Selatan memulainya lebih awal di tahun 1995 dengan program pemilahan. Adapun Hongkong mengikuti jejaknya 8 tahun kemudian. Hongkong mendorong perubahan perilaku masyarakat dengan kampanye “The Food Wise Hongkong Campaign” pada mei 2013.
Kampanye tersebut mengajak masyarakat, sektor komersial, dan industri untuk mengurangi, memilah, mengumpulkan, dan mendaur ulang sampah makanan. Selain berisi sosialiasi, laman kampanye Food Wise ‘foodwisehk.gov.hk’ juga merilis tips, metode untuk mengurangi makanan berlebih, hingga soal donasi makanan.
Hal yang sama juga dilakukan oleh negara-negara Uni Eropa, Inggris, dan Amerika.
Bagaimana dengan di Indonesia? Kearifan lokal yang berkembang di masyarakat secara turun temurun mengajarkan untuk tidak membuang sisa makanan. Hal ini bisa menjadi modal awal untuk mengawali kampanye mengurangi dan mencegah sampah makanan.
Namun, perubahan gaya hidup, membuat kearifan lokal tersebut luntur. Makanan yang telah dimasak atau dibeli tidak berusaha dihabiskan karena merasa porsinya terlalu banyak. Sisa makanan dalam wadah pun langsung dibuang ke tempat sampah tanpa dipilah terlebih dulu. Menjadi tantangan tersendiri untuk mengubah perilaku tersebut.
Ketua Lembaga non profit Gita Pertiwi, Titik Sasanti mengatakan, sampah pangan itu sering dianggap tidak ada nilainya. “Untuk memilah pasti ‘anget-angetan’. Sampah pangan basah masih dicampur dengan pangan kering,” katanya.
Meski demikian, kampanye harus terus digaungkan pemerintah dan masyarakat yang peduli pengelolaan sampah makanan. Di media sosial, komunitas penyelamat makanan dan pengelola sampah menyosialisasikan dampak membuang sampah makanan.
Akhir April lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan surat edaran terkait pengelolaan sampah. Salah satunya saran agar masyarakat mengambil makanan secukupnya dan menghabiskan makanan.
Insentif
Setelah kampanye dan sosialiasi, langkah selanjutnya bisa melalui pendekatan insentif. Masyarakat dan swasta yang telah mengelola sampah makanan diberikan penghargaan berupa insentif.
Ini dilakukan Korea Selatan yang membutuhkan waktu cukup lama untuk memberikan pembelajaran ke masyarakat, sebelum memberi insentif yang diikuti denda, atau sanksi. Korea Selatan pada 2010 membuat rencana induk untuk mengurangi sampah dengan strategi memberikan insentif biaya retribusi sampah berdasarkan volume sampah yang dihasilkan. Penghitungan biaya retribusi menggunakan tiga jenis teknologi yang terpasang pada tempat sampah makanan.
Sistem insentif juga diberlakukan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat (AS). Undang-undang negara bagian California, Iowa, dan Virginia memberikan insentif pada petani yang memberikan hasil panen tak terjual pada layanan sosial dapur makanan.
Restoran di Arizona pun akan mendapat potongan pajak setelah mendonasikan makanan. Bahkan Pemerintah Austin di negara bagian Texas menawarkan 750 dolar AS kepada penyelenggara acara yang tidak membuang makanan.
Sistem insentif ini ke depan bisa ditiru oleh Indonesia. Titik yang juga koordinator komunitas penyelamat makanan di Solo mengatakan, ada sebuah jaringan supermarket di Solo yang mensyaratkan adanya pengurangan pajak karena telah mendonasikan makanan yang layak konsumsi.
Ketua Dewan Pembina Foodbank of Indonesia Hendro Utomo pun lebih menyetujui sistem insentif ketimbang denda atau sanksi. “Pendekatan untuk melarang food waste melalui pendekatan positif seperti penghargaan, insentif pajak, bukan pendekatan punishment,” sebutnya.
Meski demikian Hendro menilai undang-undang mengenai sampah makanan sangat penting. Aturan hukum tersebut menurutnya lebih mengatur bagaimana proses distribusi makanan berlebih pada masyarakat yang membutuhkan.
Aturan
Namun bagi negara-negara yang telah mengelola sampah makanan, denda dan sanksi tetap diberlakukan setelah adanya sosialisasi dan pemberian insentif.
Perancis misalnya melarang supermarket untuk membuang limbah makanan dari sisa produk yang tidak terjual. Jika melanggar ada denda sebesar 75.000 Euro atau dua tahun penjara. Aturan tersebut juga mewajibkan supermakert untuk menyumbangkan ke bank makanan.
Upaya yang serupa juga dilakukan Inggris. Ada peningkatan biaya pengiriman sampah makanan ke tempat pembuangan akhir bagi masyarakat/swasta jika volumenya terus meningkat.
Mengutip dari laman Globaltimes.com, China setahun yang lalu resmi mengesahkan undang-undang sampah makanan. Sebelum China menerapkan aturan tersebut, ada kampanye nasional “Clean your plate”.
Isi aturan tersebut melarang vlogger makanan membuat dan mendistribusikan video pesta makan secara daring. Beberapa vlogger dalam video pendek berpura-pura menjadi pemakan yang kompetitif. Namun nyatanya, mereka tidak memakan semua makanan tersebut dan sering memuntahkan apa yang telah dikonsumsi. Bagi mereka yang melanggar, terancam denda hingga 100.000 yuan atau setara dengan Rp 217 juta.
Aturan di China juga mengizinkan restoran untuk membebankan biaya tambahan kepada pengunjung jika mereka menyisakan makanan dalam jumlah banyak. Bahkan restoran yang membujuk konsumen untuk membuat pesanan berlebihan akan dikenakan denda hingga 10.000 yuan atau sekitar Rp 21 juta
Di luar upaya tersebut, fasilitas daur ulang juga telah dibangun untuk menangani sampah makanan. Korea Selatan memiliki 128 fasilitas daur ulang sampah makanan. Jerman dengan 700 tempat composting. Perancis memberlakukan layanan pembuangan limbah rumah tangga menjadi pupuk atau biofuel.
Indonesia pun juga telah mempunyai fasilitas daur ulang. Ada beberapa jenis tempat pengolahan sampah organik yang termasuk di dalamnya sampah makanan. Tercatat di data KLHK pada 2021 ada 2.445 Komposting skala RT/RW, 535 Rumah Kompos, 225 Pusat Olah Organik, dan 1.432 tempat pengolahan sampah reduce, reuse, recycle (TPS3R).
Indonesia baru memulai upaya penanganan sampah makanan. Di hilir telah banyak dilakukan seiring dengan tumbuhnya berbagai fasilitas daur ulang sampah organik. Namun yang terpenting adalah pencegahan dan pengurangan sampah makanan di hulu. Akankah Indonesia menggunakan pendekatan sukarela, insentif, atau hukuman?