Konflik dan Bencana Alam Picu Rekor Jumlah Pengungsi Domestik
Konflik dan bencana alam menjadi dua penyebab rekor tertinggi pengungsi dalam negeri pada tahun 2021. Jumlahnya 59,1 juta jiwa. Tahun ini dikhawatirkan jumlahnya akan bertambah akibat konflik di Ukraina.
Oleh
LUKI AULIA
·3 menit baca
GENEVA, KAMIS — Konflik dan bencana alam memaksa puluhan juta orang mengungsi dari rumahnya. Pada tahun lalu, jumlah pengungsi di dalam negeri (internally displaced person atau IDP) mencapai rekor tertinggi, yakni 59,1 juta jiwa di seluruh dunia. Rekor ini diperkirakan akan pecah lagi pada tahun ini mengingat banyaknya warga Ukraina yang harus mengungsi dari kampung halaman asal mereka gara-gara Rusia menginvasi Ukraina.
Laporan bersama Pusat Pemantauan Pengungsi Internal (Internal Displacement Monitoring Centre/IDMC) dan Dewan Pengungsi Norwegia (Norwegian Refugee Council/NRC) menyebutkan bahwa dari data itu banyak yang terpaksa mengungsi sampai beberapa kali sepanjang tahun.
Pada tahun lalu, pengungsian baru di dalam negeri akibat konflik saja sebanyak 14,4 juta jiwa. Jumlah ini naik 50 persen dibandingkan tahun 2020 dan naik lebih dari dua kali lipat sejak 2012. Jumlah pengungsian tersebut di tingkat global didongkrak oleh perang di Ukraina. Lebih dari 8 juta jiwa mengungsi di dalam negeri sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari lalu.
”Tahun 2022 ini kondisinya suram. Data yang ada sekarang ini tragis,” kata Direktur IDMC Alexandra Bilak, Kamis (19/5/2022).
Kepala NRC Jan Egeland juga mengatakan bahwa situasinya belum pernah seburuk ini. Ia khawatir, data yang ada ini hanya puncak dari gunung es karena bisa jadi kenyataannya jauh lebih buruk. ”Dunia sedang runtuh. Kondisi hari ini pasti lebih buruk,” ujarnya.
Pada tahun 2021, pengungsian di dalam negeri paling banyak terjadi di kawasan Afrika sub-Sahara, yakni sekitar 5 juta perpindahan di Etiopia saja. Pada waktu itu wilayah itu tengah bergulat dengan konflik Tigray yang meluas dan bencana kekeringan yang parah.
Jumlah yang mencapai 5 juta jiwa itu merupakan angka tertinggi yang pernah terjadi pada satu negara saja. Rekor tertinggi juga tercatat di Republik Demokratik Kongo dan Afghanistan ketika kelompok Taliban kembali berkuasa di Afghanistan. Diperparah lagi dengan bencana kekeringan, banyak orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Sementara di Myanmar, hal sama juga terjadi. Ketika junta militer kembali berkuasa setelah melancarkan kudeta pada Februari 2021, jumlah pengungsi mencapai rekor tertinggi. Sebaliknya, di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara jumlah pengungsi di dalam negeri berada dalam angka terendah dalam satu dekade. Ini terjadi karena konflik di Suriah, Libya, dan Irak berkurang.
Meski berkurang, jumlah pengungsi keseluruhan di wilayah itu masih tetap tinggi. Suriah, yang dilanda perang saudara selama lebih dari 11 tahun, masih menyumbang jumlah tertinggi di dunia orang yang tinggal di pengungsian dalam negeri karena konflik. Jumlahnya 6,7 juta jiwa pada akhir tahun 2021.
Republik Demokratik Kongo menyusul dengan jumlah pengungsi 5,3 juta jiwa, Kolombia 5,2 juta jiwa, serta Afghanistan dan Yaman sebanyak 4,3 juta jiwa.
Bencana alam
Selain dipicu oleh konflik, peningkatan pengungsian di dalam negeri juga disebabkan bencana alam. Bencana alam turut memicu sebagian besar pengungsian baru di dalam negeri pada tahun 2021 yang jumlahnya 23,7 juta jiwa dan sekitar 94 persen di antaranya disebabkan oleh bencana alam terkait cuaca dan iklim, seperti angin topan, hujan lebat, banjir, dan kekeringan.
Para ahli mengatakan, perubahan iklim meningkatkan intensitas dan frekuensi kejadian cuaca ekstrem seperti itu. China, Filipina, dan India termasuk negara yang paling terpukul akibat bencana alam. Ketiga negara tersebut menyumbang sekitar 70 persen dari semua pengungsian di dalam negeri terkait bencana pada tahun lalu.
Konflik dan bencana alam yang semakin parah menciptakan persoalan yang kian kompleks bahkan memaksa orang untuk mengungsi sampai beberapa kali. Di wilayah-wilayah, seperti Mozambik, Myanmar, Somalia, dan Sudan Selatan, krisis yang tumpang tindih seperti konflik dan bencana alam berdampak pada ketahanan pangan dan membuat hidup jutaan orang kian rentan.
”Kita harus melakukan perubahan besar-besaran soal bagaimana mencegah dan menyelesaikan konflik agar bisa mengakhiri penderitaan manusia," kata Egeland. (AFP)