Isu Lingkungan Jadi Perhatian Utama Pemilu Australia
Rakyat Australia menginginkan kebijakan dan praktik nyata untuk mitigasi perubahan iklim. Mereka sudah muak dengan berbagai fenomena cuaca ekstrem yang merugikan secara ekonomi, keamanan, dan psikologis.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
CANBERRA, KAMIS — Dua hari menjelang pemilihan umum federal di Australia, masyarakat kian keras menggaungkan agar para kandidat menyiapkan kebijakan tegas terkait penanganan krisis iklim. Secara global, Australia menyumbang 1 persen emisi karena jumlah penduduk yang relatif kecil. Akan tetapi, negara ini mengalami dampak perubahan iklim yang terasa langsung oleh warga.
Isu penanganan krisis iklim bagi sejumlah negara mungkin terkesan elitis dan teoretis. Di Australia, kerugian akibat cuaca ekstrem seperti kemarau, banjir, dan kebakaran hutan benar-benar merugikan rakyat. Laporan Dewan Iklim Australia (CC) mencatat, sejak tahun 2018, ada 500 orang tewas akibat dampak cuaca ekstrem. Oleh sebab itu, pada pemilu federal Sabtu (21/5/2022), dua pertiga dari 17 warga yang dinyatakan layak memberikan suara meminta adanya perubahan berarti dari segi peralihan ke energi hijau.
”Saya bekerja sebagai arsitek untuk permukiman tahan bencana. Tidak terbayang rumah sendiri rusak total ditelan banjir,” kata Sam Bowstead kepada BBC. Ia warga kota Brisbane, Negara Bagian Queensland, yang pada Maret lalu mengalami banjir hebat.
Sebagai gambaran, curah hujan yang turun selama tiga hari di Brisbane saat itu setara dengan 70 persen hujan selama satu tahun. Peristiwa itu merupakan banjir terburuk yang dialami Australia secara umum. Ratusan ribu warga kehilangan tempat tinggal karena rumah-rumah mereka dinyatakan tidak layak huni dan wilayah permukiman tersebut dinilai terlalu berbahaya untuk ditempati.
Isu lingkungan di Australia sangat berkaitan dengan ekonomi. Masyarakat terpaksa menempati cekungan dan dataran rendah karena mereka tidak mampu membeli ataupun mengontrak tempat tinggal di wilayah-wilayah yang ideal. Akibatnya, kian banyak orang terpapar risiko bencana alam.
Laporan CC menerangkan, satu dari 25 rumah di Australia tidak bisa diasuransikan karena berada di daerah dengan risiko terkena bencana alam tinggi. Adapun satu dari 11 rumah hanya bisa diasuransikan dengan ganti rugi sangat rendah. Sebanyak 40 persen dari rumah-rumah berisiko ini ada di Negara Bagian Queensland, sisanya tersebar di New South Wales dan negara-negara bagian lain.
Keadaan ini diperumit dengan inflasi yang mencapai 5,1 persen di triwulan pertama 2022. Pengamat ekonomi memperkirakan dalam satu bulan ke depan akan ada kenaikan harga komoditas setidaknya 0,4 persen. Ini berita buruk bagi masyarakat karena artinya cicilan hipotek rumah ataupun biaya mengontrak rumah juga naik. Perkiraan para ekonom, biayanya bisa mencapai 443 dollar Australia (sekitar Rp 4,6 juta) per bulan. Artinya, risiko jumlah warga kehilangan tempat tinggal semakin meningkat.
Di tengah kepeningan massal ini, Perdana Menteri Australia Scott Morrison dari Partai Liberal bersama koalisinya, Partai Nasional, terkesan santai. Menurut Morrison, upah masyarakat meningkat pada periode 2021-2022 sebanyak 3,1 persen. Apalagi, pandemi Covid-19 dinilai sudah ditangani dengan baik sehingga masyarakat bisa kembali bekerja secara normal dan inflasi akan tertangani dengan sendirinya. Data pusat statistik negara tersebut menyatakan angka pengangguran sebesar 3,9 persen atau terendah sejak tahun 1974.
Morrison dalam kampanyenya menjanjikan menurunkan emisi Australia 26 persen hingga 28 persen pada tahun 2030. Negara ini merupakan pengekspor batubara nomor dua terbesar di dunia. Dari sisi cadangan batubara, Australia nomor satu. ”Pasti pemerintah akan mengembangkan teknologi hijau, terutama di sektor pemakaian energi hidrogen dan penangkapan karbon,” ujarnya.
Pesaing Morrison, Anthony Albanese dari Partai Buruh, menjanjikan perubahan sumber energi dari bahan bakar fosil ke sinar matahari. Ia merencanakan pemasangan panel-panel surya secara nasional yang diikuti dengan peremajaan jaringan listrik agar lebih hemat dan ramah lingkungan. Di sektor industri, Albanese menginginkan peningkatan pemakaian kendaraan listrik yang dijual dengan harga terjangkau oleh masyarakat serta penggantian sistem industri penambangan, transportasi, dan konsumsi dengan cara yang mengurangi jejak karbon.
”Rencana yang dikemukakan oleh Albanese jauh lebih masuk akal dan bisa diterapkan secara langsung dan masif di Australia,” kata pakar lingkungan Universitas Melbourne, Malte Meinshausen, kepada majalah New Scientist. Ia menjelaskan, semakin cepat penanganan krisis iklim, kian cepat pula penurunan risiko bencana alam sehingga masyarakat tidak perlu khawatir terpapar banjir, kebakaran lahan, dan kekeringan.
Albanese dalam jumpa pers mengatakan, Australia mungkin bukan apa-apa di sektor politik global, terutama segi ekonomi dan keamanan. Akan tetapi, Australia bisa menjadi teladan dan pemain yang kuat di sektor penanganan krisis iklim. Ini akan memberi Australia wibawa dan kredibilitas politik global baru.
Ketua Partai Hijau yang beraliran kiri, Adam Bandt, menyatakan dukungan terhadap Albanese dan Partai Buruh. Akan tetapi, ia meminta Albanese meningkatkan kompetensi kenegarawanannya agar bisa selevel dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, dan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau.
Kepada News.com.au, Bandt mengatakan agar Albanese bisa membawa Australia bergabung ke Aliansi Energi Non-Batubara (PPCA) yang terdiri dari 48 negara dan perseroan-perseroan internasional dengan target peralihan energi sepenuhnya meninggalkan bahan bakar fosil. Australia juga belum termasuk dari 112 negara yang meneken kesepakatan mengurangi emisi metana global 30 persen per tahun 2030. (REUTERS)