Mariupol Sudah Jatuh, Eropa Masih Mainkan Standar Ganda
Wilayah Mariupol di luar pabrik itu sudah lama jatuh ke tangan Rusia dan nyaris tidak ada lagi penduduk di sana. Wali Kota Mariupol Vadym Boychenko meminta tidak ada warga kembali ke Mariupol.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
KIEV, SELASA — Mariupol, kota yang dipertahankan mati-matian oleh beberapa kompi tentara dan milisi Ukraina, akhirnya jatuh ke tangan Rusia pada Selasa (17/5/2022). Kekalahan serius Ukraina itu tidak mampu menghentikan Uni Eropa untuk menerapkan standar ganda, baik dalam impor gas maupun isu pengungsi.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengumumkan upaya mempertahankan pabrik baja Azovstal diakhiri. ”Saya ingin menekankan, Ukraina ingin pahlawannya tetap hidup,” ujarnya dalam video yang disiarkan pada Senin (16/5/2022) malam waktu Kiev atau Selasa dini hari WIB.
Komandan Pasukan Ukraina di Azovstal, Letnan Kolonel Denys Prokopenko, mengumumkan bahwa upaya mempertahankan pabrik itu diakhiri atas perintah komando tertinggi Ukraina. Mereka berharap warga Ukraina mendukung perintah itu.
Pabrik baja Azovstal merupakan sisa wilayah Mariupol yang dipertahankan mati-matian oleh beberapa kompi tentara dan milisi Ukraina. Wilayah Mariupol di luar pabrik itu sudah lama jatuh ke tangan Rusia dan nyaris tidak ada lagi penduduk di sana. Wali Kota Mariupol Vadym Boychenko meminta tidak ada warga kembali ke Mariupol. Boychenko pun sudah lama mengungsi dari kota pelabuhan yang hancur lebur itu.
Tidak ada yang tahu berapa jumlah pasti orang di pabrik baja yang berbulan-bulan dikepung Rusia itu. Dibangun di era Uni Soviet, pabrik itu punya banyak ruang bawah tanah untuk perlindungan masa perang. Dalam pernyataan pada Selasa, Rusia dan Ukraina sama-sama menyatakan ada 264 tentara dievakuasi dari pabrik itu. Paling tidak 53 di antaranya cedera parah. Menurut Rusia, tentara yang cedera parah dibawa ke Novoazovsk. Adapun sisa tentara lainnya dibawa ke Olenivka yang dikendalikan milisi separatis Ukraina.
Menurut Moskwa, seluruh tentara itu sudah menyerah. Sebelum akhirnya Zelenskyy mengumumkan perintah pada Senin malam, para kerabat tentara di Azovstal bolak-balik ke Vatikan dan Turki. Mereka meminta bantuan kedua negara itu untuk menyelamatkan para tentara di Azovstal. Wakil Menteri Pertahanan Ukraina Anna Malyar mengatakan, Kiev berusaha memindahkan para tentara dari Azovstal itu ke daerah yang dikendalikan Ukraina. Kiev akan mengupayakan mereka ditukar dengan tentara Rusia yang kini ditahan Ukraina.
Reaksi Rusia
Anggota parlemen Rusia, Leonid Slutsky, mengusulkan hukuman mati kepada seluruh milisi dan tentara Ukraina yang ditangkap di Azovstal. Sebab, mereka dituding bagian dari milisi Azov, kelompok neo-Nazi yang punya banyak pendukung di Ukraina. Sampai 2019, berkali-kali media-media Eropa Barat dan Amerika Utara melaporkan soal kelompok neo-Nazi di Ukraina. ”Mereka tidak berhak hidup setelah melakukan kejahatan mengerikan terhadap kemanusiaan dan kejahatan yang terus dilakukan kepada warga kita yang ditahan,” ujarnya dalam salah satu sidang di Duma, parlemen Rusia.
Ketua Duma Vyacheslav Volodin juga menolak seluruh tentara dan milisi dari Azovstal ditukar dengan tentara Rusia yang ditahan. Seluruh orang yang ditangkap di Azovstal harus diadili sebagai penjahat perang. ”Kita harus memastikan mereka diadili,” ujarnya.
Sementara itu, Juru Bicara Kremlin Dmytri Peskov mengatakan, semua orang yang dibawa dari Azovstal akan diperlakukan manusiawi. Presiden Rusia Vladimir Putin dinyatakan memberikan jaminan itu.
Kementerian Pertahanan Rusia hanya mengumumkan tentara Ukraina yang cedera tengah dirawat. Video yang merekam kondisi sebagian tentara itu disebarkan melalui sejumlah kanal media sosial Kemenhan Rusia. Kemenhan Rusia juga mengumumkan peledakan gudang senjata di Lviv. Gudang itu disebut tempat menyimpan senjata dari Amerika Serikat dan sekutunya. Lviv, kota di Ukraina Barat, praktis menjadi satu-satunya penghubung utama Ukraina dengan negara-negara di luar Rusia dan Belarus. Kota lain di Ukraina sudah dikendalikan atau diblokade Rusia.
Uni Eropa
Hampir seluruh anggota Uni Eropa setuju memasok senjata ke Ukraina. Mereka juga mengecam Rusia atas serangan ke Ukraina. Di sisi lain, Uni Eropa terus memasok miliaran dollar AS ke Rusia karena tidak mau menghentikan impor gas.
Komisi Eropa telah mengumumkan bahwa perusahaan-perusahaan Uni Eropa boleh membuka rekening pembayaran impor gas Rusia di Gazprombank. Bank itu dimiliki raksasa migas Rusia, Gazprom, yang memasok hampir 40 persen kebutuhan gas Uni Eropa.
Komisi Eropa tidak menjelaskan soal pembayaran dalam rubel. Beberapa bulan lalu, Putin mewajibkan pembeli komoditas Rusia membayar dalam rubel. Moskwa menolak pembayaran dalam euro dan dollar AS karena rekening-rekening Rusia dalam kedua mata uang itu dibekukan Amerika Serikat dan sekutunya.
Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki mengkritik UE atas keputusan itu. ”Saya kecewa ada persetujuan di UE untuk membayar gas dalam rubel,” kata kepala pemerintahan negara yang sudah dihentikan pasokan gasnya oleh Rusia itu.
Sejumlah pejabat UE memprotes keengganan anggota UE memutus impor energi dari Rusia. Sebab, impor itu memungkinkan Rusia tetap mendapat uang yang dikhawatirkan dipakai mendanai serangan ke Ukraina. Sejak perang Rusia-Ukraina meletus, UE telah memberi Rusia setidaknya 50 miliar dollar AS untuk impor energi.
Meski terus mengimpor energi dari Rusia, UE dan sejumlah negara malah mendesak negara di kawasan lain mengisolasi Rusia. Desakan itu sampai-sampai diejek India. Menteri Luar India S Jaishankar menyebut impor minyak India dari Rusia selama berbulan-bulan lebih kecil dibandingkan impor minyak UE dari Rusia dalam semalam saja.
Selain soal energi, kritikan terhadap UE juga dilontarkan terkait isu pengungsi. ”Ada standar ganda,” kata Presiden Bulan Sabit dan Palang Merah Internasional Francesco Rocca.
Ia menyoroti fakta UE begitu mudah menerima pengungsi Ukraina dengan alasan melindungi mereka yang menyelamatkan diri dari perang. Di sisi lain, UE berusaha keras menolak pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika. Padahal, para pengungsi dari kedua wilayah itu juga berusaha menghindari perang.
”Mereka yang lari dari kekerasan, mereka yang mencari perlindungan, seharusnya diperlakukan setara. Suku dan kebangsaan seharusnya bukan pertimbangan untuk menyelamatkan nyawa,” ujarnya. (AFP/REUTERS)