Covid-19 Merebak, Korut Bersikeras Tolak Bantuan Luar Negeri
Kasus Covid-19 di Korea Utara terus bertambah. Korban tewas menjadi 42 orang. Kebijakan pembatasan sudah diberlakukan, tetapi rezim Korut masih belum mau menerima bantuan dari negara-negara lain.
SEOUL, MINGGU — Kasus kematian akibat ”demam” di Korea Utara bertambah 15 orang sehingga total korban yang tewas menjadi 42 orang dari 820.620 kasus yang ada. Selain korban tewas, sedikitnya 324.550 orang sedang menjalani perawatan medis. Korea Utara sudah memasuki hari keempat pemberlakuan kebijakan pembatasan total untuk menghentikan penyebaran Covid-19 yang baru diakui oleh pemimpin rezim Korut, Kim Jong Un, Kamis lalu.
Baca juga: Teka-teki Korut Tetap Sebut Warganya ”Demam” Saat Kematian Terus Bertambah
Kantor berita Korut, KCNA, Minggu (15/5/2022), menyebutkan, Korut sudah mengambil tindakan darurat dengan cepat untuk mengendalikan endemi itu. Namun, tidak ada tanda-tanda Korut akan menerima tawaran vaksin dari komunitas internasional. Dulu China dan Organisasi Kesehatan Dunia menawarkan bantuan vaksin Covid-19 kepada Korut, tetapi tak direspons. Kini, China dan Korea Selatan kembali menawarkan vaksin serta bantuan apa pun yang dibutuhkan, tetapi belum ada respons juga.
”Semua provinsi, kota, dan kabupaten di negeri ini sudah menjalani lockdown total. Semua kawasan permukiman dan perkantoran tutup sejak 12 Mei lalu. Saat ini juga ada pemeriksaan intensif pada semua orang,” ujar KCNA, Minggu. Hanya saja, KCNA tak menyebutkan rinci apakah kasus-kasus baru dan kematian itu akibat positif Covid-19 atau tidak.
Kim mengakui Korut tengah memerangi ”ledakan” wabah Covid-19. Komunitas internasional khawatir Covid-19 akan menghancurkan Korut yang tidak memiliki sistem kesehatan yang memadai. Kemampuan untuk melakukan tes Covid-19 pun diragukan. Belum lagi tidak adanya program vaksin Covid-19.
Kim mengakui, Covid-19 varian Omicron menyebabkan kekacauan luar biasa dan mengajak seluruh negeri memerangi wabah itu. Untuk memerangi Covid-19, sudah didirikan lebih banyak pos pencegahan epidemi dan mengirimkan pasokan medis ke rumah sakit serta klinik.
Baca juga: Korea Utara Menyatakan Bebas Covid-19
Para pejabat senior juga telah menyumbangkan obat-obatan cadangan. KCNA menyebutkan, sebagian besar kasus kematian itu akibat orang-orang yang ceroboh meminum obat asal-asalan. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai infeksi varian Omicron dan metode pengobatan yang benar. Para ahli meyakini, Korut tidak memiliki kapasitas untuk menguji puluhan ribu pasien bergejala Covid-19.
BBC News menyebutkan, situasi Covid-19 yang sesungguhnya di Korut tidak akan bisa diketahui karena Korut menutup rapat-rapat isu itu. Selama ini Korut tak pernah mengakui ada kasus Covid-19. Padahal, tak ada satu negara pun yang tak tersentuh Covid-19. Bahkan, di pos-pos Gunung Everest dan Antartika pun ditemukan kasus Covid-19. Praktik penanganan setiap negara beragam, tetapi tetap ada empat hal penting dan utama yang dilakukan, yakni program vaksin, tes Covid-19, menjaga jarak sosial, dan membatasi mobilitas atau perjalanan.
Korut jelas tidak memiliki ”senjata-senjata ampuh” yang dibutuhkan untuk melawan Covid-19, terutama vaksin. Tanpa perlindungan itu, jumlah kasus sakit keras dan kematian dikhawatirkan akan melonjak. WHO menyebutkan, Korut baru melakukan 64.000 tes sejak dua tahun lalu. Sebagai perbandingan, di negara tetangganya, Korsel, sudah melakukan tes dan pelacakan kontak pada sedikitnya 172 juta jiwa. Strategi tes dan pelacakan ini menjadi kunci Korsel untuk menekan laju penyebaran Covid-19.
Baca juga: Korea Utara Coba Curi Teknologi Vaksin Covid-19 Pfizer
Korut tak menggunakan tes dan pelacakan kontak itu sehingga tidak tahu apa yang menyebabkan setengah juta orang ”demam”. Hal ini menunjukkan Korut kesulitan mengidentifikasi kasus Covid-19. Bahkan, negara maju yang memiliki sistem kesehatan jauh lebih baik saja panik.
”Sistem kesehatan Korut sangat tak memadai. Mayoritas rakyat tak mendapat layanan kesehatan yang baik. Hanya mereka yang tinggal di Pyongyang yang bisa mengakses layanan kesehatan,” kata Jieun Baek, pendiri Lumen, organisasi nonpemerintah yang memantau Korut.
Warga Korut yang kini berada di negara-negara lain menceritakan situasi layanan kesehatan yang memprihatinkan di Korut. Contohnya, botol-botol bir dipakai untuk botol infus. Belum lagi jarum suntik yang dipakai berulang hingga karatan. Alat-alat kesehatan sepenting itu saja tak ada, apalagi yang lain, seperti masker atau cairan pembersih. Baek memperkirakan, pada masa kebijakan lockdown, rezim Korut akan semakin menekan rakyatnya.
Korean Central Television menyampaikan berita mengenai cara-cara merawat demam. Seorang dokter di Rumah Sakit Kimmanyu menyarankan berkumur dengan air garam dan minum beberapa obat jika demam, sakit kepala, atau badan terasa pegal dan ngilu. KCNA juga menyarankan agar rakyat meminum teh lonicera japonica atau teh daun willow tiga kali dalam sehari.
Belajar dari China
Selain mengakui ada Covid-19 di negerinya, Kim menyatakan perlu belajar dari pengalaman China dalam menangani Covid-19. Sampai saat ini China masih memberlakukan kebijakan nol-Covid-19 untuk memberantas pandemi itu. Kota-kota besar, termasuk Shanghai, masih memberlakukan kebijakan pembatasan yang ketat dan mewajibkan warga tinggal di rumah saja. Kebijakan ketat ini diprotes warga Shanghai yang kekurangan stok makanan dan obat-obatan. Padahal, memrotes Pemerintah China jarang terjadi di China. Ini berarti situasinya sudah sangat serius.
Situasi semacam itu terjadi di Shanghai. Tak terbayangkan bagaimana situasinya di Korut. ”Lihat saja bagaimana susahnya Shanghai menghentikan Omicron. Itu Shanghai ya, daerah yang dibayangkan pasti akan mampu melawan Covid-19. Saya khawatir, Korut akan kesulitan menangani ini,” kata Guru Besar Epidemiologi di University of Hong Kong, Ben Cowling.
Baca juga: Korea Utara Umumkan Isolasi Kaesong karena Dugaan Kasus Covid-19
Sebelum ada Covid-19, Korut sudah sejak lama kewalahan dengan produksi pangan. Pada 1990-an bahkan negara itu menderita bencana kelaparan. Program Pangan Dunia (WFP) memperkirakan saat ini setidaknya ada 11 juta jiwa dari 25 juta jiwa penduduk yang kekurangan gizi. Persoalan produksi pangan ini terjadi, antara lain, karena metode-metode pertanian yang digunakan sudah ketinggalan zaman sehingga sering gagal panen. Jika para petani tidak bisa menggarap lahan pertanian, karena sakit, misalnya, semakin menumpuklah persoalan Korut.
Kim kemarin menyebut Korut perlu belajar dari China. Bisa jadi hal ini menunjukkan adanya perubahan sikap Korut yang semula tak mau menerima bantuan China. ”Sepertinya mereka sangat butuh bantuan China dan China pasti akan mau membantu apa saja. Prioritas China adalah memastikan Korut tetap stabil,” kata Owen Miller, pengamat isu Korea di SOAS University, London, Inggris.
Namun, lanjut Miller, bisa saja Korut tak mau menerima bantuan dari negara lain. Apa pun bisa terjadi jika terkait dengan Korut. ”Korut hanya punya satu pilihan. Mereka harus mau menerima vaksin dan mulai memvaksin seluruh rakyatnya. Seluruh dunia sudah mau membantu Korut, tetapi Korut juga harus mau menerima tawaran bantuan itu,” kata pakar vaksin di Sekolah Nasional AS untuk Obat-obatan Tropis di Baylor College of Medicine, Peter Hotez. (REUTERS/AFP)