Moldova Terancam Perang Rusia-Ukraina, UE Janjikan Bantuan Militer
Negara kecil yang diapit Hongaria dan Ukraina ini khawatir setelah serangan gencar Rusia di Ukraina timur. Uni Eropa lantas segera menyatakan dukungan militer kepada Moldova.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·6 menit baca
CHISINAU, RABU — Uni Eropa menjanjikan peningkatan bantuan militer ke Moldova yang terancam perang Rusia-Ukraina. Moskwa dilaporkan berambisi merebut Ukraina selatan dan timur untuk membangun koridor darat yang menghubungkan wilayah aneksasi Crimea dan wilayah separatis pro-Rusia di Donbas dengan wilayah separatis pro-Rusia di Transnistria, Moldova timur. Ambisi ini mengancam Moldova.
Presiden Dewan Eropa Charles Michel menyampaikan janji bantuan itu saat bertemu Presiden Moldova Maia Sandu di Chisinau, Rabu (4/5/2022). Michel mengatakan akan meningkatkan kapasitas Angkatan Bersenjata Moldova secara signifikan melalui penyediaan peralatan militer tambahan.
”Tahun ini kami berencana meningkatkan dukungan ke Moldova secara signifikan dengan menyediakan angkatan bersenjatanya peralatan militer tambahan,” kata Michel pada konferensi pers dengan Sandu seusai pertemuan tertutup.
Selain itu UE juga akan meningkatkan dukungan di bidang logistik dan pertahanan siber bagi Moldova. Negara kecil yang diapit Hongaria dan Ukraina itu diliputi kekhawatiran setelah menyaksikan serangan ofensif separatis dukungan Moskwa di Donbas, wilayah Ukraina timur yang meliputi Donetsk dan Luhansk.
”UE berdiri dalam solidaritas penuh dengan Anda, dengan Moldova. Sudah tugas Eropa untuk membantu dan mendukung negara Anda,” kata Michel. Ia menambahkan, UE akan membantu Moldova mengatasi konsekuensi dari limpahan agresi Rusia di Ukraina.
”Kami akan terus memperdalam kemitraan dengan Anda untuk membawa negara Anda lebih dekat kepada UE,” kata Michel.
Berdiri di samping Michel, Sandu mengatakan, Moldova tidak melihat ancaman kerusuhan yang segera terjadi akibat perang di Ukraina. Walau demikian, separatis dukungan Rusia di wilayah Transnistria dalam beberapa hari terakhir telah melakukan provokasi berbahaya.
Rusia menempatkan sekitar 1.500 tentara di Transnistria (juga disebut Transdniestria/Trans-Dniester) tak lama setelah wilayah separatis itu memproklamasikan diri sebagai Republik Pridnestrovia Moldavia, September 1990. Pekan lalu, separatis Moldova di Transnistria melaporkan insiden ledakan rudal Ukraina di wilayah mereka.
Saat itu, separatis Moldova mengklaim serangan rudal telah menghantam kementerian keamanan, unit militer, dan menara radio milik Rusia. Tembakan rudal juga mengarah ke sebuah desa di mana terdapat depot senjata Rusia.
Dalam seminggu sejak serangan itu, Moldova khawatir terseret ke dalam konflik di Ukraina, terutama karena separatis pro-Rusia menuduh Kiev sebagai penyerang. Walau tidak melihat risiko dalam waktu dekat, kata Sandu, Chisinau telah menyusun rencana darurat untuk ”skenario pesimistis”.
Sandu dan pemerintahnya yang pro-Barat menyalahkan insiden di wilayah yang memisahkan diri dari Chisinau itu pada faksi-faksi separatis properang. Menurut Sandu, insiden di Transnistria dibuat oleh pasukan properang. ”Kami berupaya untuk mencegah insiden semacam itu,” katanya.
Kekhawatiran meningkat karena Moskwa dilaporkan sedang berupaya keras merebut Ukraina timur dan selatan. Dengan merebut sebagian wilayah Ukraina itu, Moskwa dapat membangun koridor segitiga antara Crimea, Donbas, dan Transnistria ke dalam kendali Rusia.
Terkait isu itu, Sandu mengecam komentar seorang jenderal Rusia baru-baru ini yang menyebutkan salah satu tujuan perang adalah merebut wilayah Ukraina agar berhubungan dengan separatis Moldova. Kiev menuduh Moskwa berusaha menyeret Moldova ke dalam perang.
Kremlin menyatakan keprihatinan atas situasi di wilayah separatis Moldova. Bahkan serangan yang terjadi di Transnistria itu oleh Moskwa disebut sebagai ”terorisme”. Rusia mengikuti peristiwa di Transdniestria dengan cermat. Sandu menyebut klaim separatis pro-Rusia itu provokasi yang disengaja.
Meski menyatakan akan membantu memperkuat pertahanan Moldova, Michel menambahkan, penting untuk menghindari eskalasi. ”Tidaklah cerdas mengungkapkan pernyataan provokatif tentang situasi di Moldova,” katanya.
Moldova, negara berpenduduk sekitar 2,6 juta orang yang terjepit antara Ukraina dan Romania, lebih condong ke Barat sejak Sandu menjabat pada akhir 2020. Sandu berhasil menyingkirkan petahana yang bersekutu dengan Rusia.
Mayoritas penduduknya adalah etnis Romania, tetapi minoritas berbahasa Rusia paling berpengaruh. Hubungan ekonomi dengan Rusia sangat dekat. Perang singkat pada awal 1990-an menyebabkan separatis Transnistria mendeklarasikan kemerdekaan wilayah berbahasa Rusia di sepanjang sungai Dniestr itu.
Pemerintah Sandu mendaftar untuk bergabung dengan UE pada 3 Maret tahun ini, seminggu setelah Rusia menginvasi Ukraina. Siaran berita televisi Rusia dilarang di Moldova. Dalam beberapa pekan terakhir Chisinau melarang penggunaan pita oranye dan hitam oleh pendukung invasi Rusia ke Ukraina.
Sandu juga menegaskan kembali niat Moldova untuk menjadi anggota UE. ”Kami memilih integrasi Eropa sebagai model pembangunan. Bahaya dan ketidakpastian perang di tetangga (Ukraina) menunjukkan, kami harus mempertahankan pilihan dan mengambil langkah tegas menuju jalan yang kami pilih,” kata Sandu.
Michel mengatakan, UE sedang bekerja keras mengevaluasi permohonan Moldova untuk bergabung dengan blok 27 negara itu. Namun, dia menjabarkan bahwa prosedur yang dilalui cukup rumit. UE juga sedang memeriksa keinginan Ukraina dan Georgia untuk bergabung ke blok tersebut.
Sementara itu, perang Rusia-Ukraina bereskalasi. Rusia melancarkan serangan dari kapal selam di Laut Hitam ke daratan Ukraina. Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan, dua rudal jelajah Rusia telah ditembakan dari kapal selam tersebut ke sasaran di Ukraina.
”Awak kapal selam Armada Laut Hitam meluncurkan dua rudal jelajah Kalibr dari Laut Hitam ke target darat yang ditentukan di wilayah Ukraina,” kata Kementerian Pertahanan, Rabu. Rusia pertama kali melaporkan penggunaan serangan kapal selam terhadap target Ukraina akhir bulan lalu.
Selain itu, Belarus, sekutu utama Rusia yang berbatasan dengan Ukraina, meluncurkan manuver militer yang mengejutkan pada Rabu. ”Itu untuk menguji kapasitas reaktif tentara kami,” kata Kementerian Pertahanan Belarus.
Unit-unit militer Belarus sedang menguji kapasitas mereka untuk mewaspadai, bergerak ke zona yang telah ditentukan, dan melakukan pelatihan tempur. "Tujuannya mengevaluasi kesiapan dan kemampuan pasukan untuk bereaksi cepat terhadap kemungkinan krisis," lanjut Kementerian. Manuver itu digambarkan sebagai latihan ”kejutan”.
Latihan tersebut diawasi ketat oleh Kiev, yang berulang kali menuduh Belarus berencana mengirim pasukan ke Ukraina. Belarus diduga mempersiapkan pasukannya untuk membantu operasi militer Rusia melawan Ukraina.
Belarus diperintah dengan tangan besi oleh Alexander Lukashenko, sekutu Presiden Rusia Vladimir Putin, selama hampir 30 tahun. Negara ini menjadi basis pertahanan udara dan logistik untuk Rusia, termasuk dalam mendukung invasi militer Rusia di Ukraina, yang telah berubah menjadi perang mematikan dan memicu krisis kemanusiaan terbaru abad ini.
Militer Ukraina, Selasa (3/5), mengatakan, pasukan Rusia telah melancarkan serangan ke kompleks pabrik baja terbesar Azovstal, di kota Mariupol, Ukraina timur. Itu terjadi tak lama setelah PBB dan Palang Merah Internasional mengkonfirmasi lebih dari 100 warga sipil telah dievakuasi dari Azovstal.
Pada Rabu, Kremlin membantah tudingan bahwa Rusia telah menyerbu pabrik itu. Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu, terkait perayaan Hari Kemenangan pada 9 Mei 2022, mengatakan, parade akan berlangsung di 28 kota, melibatkan sekitar 65.000 personel militer, 2.400 perangkat keras militer, dan lebih dari 400 pesawat. Namun, tak ada parade militer di Mariupol.
Warga Rusia merayakan Hari Kemenangan dengan parade militer dan acara publik untuk memperingati ulang tahun kemenangan Uni Soviet atas Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Moskwa sebelumnya mengatakan tujuan invasinya ke Ukraina adalah untuk ”de-militerisasi” dan ”de-Nazifikasi” Ukraina. (AFP/AP/REUTERS/CAL)