Gelombang Panas dan Krisis Energi Hantam India Bersamaan
Departemen Meteorologi India mencatat, Maret sebagai bulan terpanas sejak tahun 1901. Tingkat suhu rata-rata pada April di wilayah utara dan tengah negara itu tertinggi dalam 122 tahun.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
NEW DELHI, SELASA — Gelombang panas dan krisis listrik akut menghantam India secara bersamaan. Masalah itu sampai memicu kebakaran di tempat pembuangan sampah raksasa, mengakibatkan tanaman pertanian warga layu, hingga mengharuskan pihak berwenang di sejumlah negara bagian untuk menutup sekolah-sekolah.
Departemen Meteorologi India, Selasa (3/5/2022), mencatat, Maret sebagai bulan terpanas sejak tahun 1901. Tingkat suhu rata-rata pada April di wilayah utara dan tengah mencapai rekor tertinggi dalam 122 tahun. Suhu di 10 kota di India pada pekan lalu menembus 45 derajat celsius. Langit berawan dan hujan yang turun setelahnya mampu menurunkan suhu.
Fenomena perubahan iklim diduga membuat suhu di India lebih panas dengan intensitas lebih sering. Friederike Otto, ilmuwan iklim di Imperial College London, memperkirakan gelombang panas terjadi di India sekali setiap empat tahun, bukan setiap lima dekade di masa sebelumnya. Antisipasi India terhadap rekor peningkatan konsumsi listrik pun semakin mendesak, terutama untuk memenuhi kebutuhan penyejuk ruangan.
Ironisnya saat ini pasokan batubara di banyak pembangkit listrik termal di India dilaporkan hampir habis. Akibatnya pemadaman listrik dilakukan setiap hari di beberapa negara bagian. Kekurangan tersebut juga memicu ketergantungan lama India pada batubara, bahan baku 70 persen listrik negara itu. Situasi pelik saat ini, menurut Badan Energi Internasional, menyoroti pula kebutuhan mendesak India untuk mendiversifikasi sumber energi. Sebab, permintaan atas listrik diperkirakan lebih banyak dibandingkan tempat lain di dunia selama 20 tahun ke depan, seiring berkembangnya populasi India.
Pemadaman listrik saat ini mengganggu aktivitas ekonomi yang telah pulih kembali setelah pembatasan akibat pandemi Covid-19. Kurangnya pasokan listrik juga dapat mengganggu layanan penting, seperti rumah sakit. Banyak negara bagian, termasuk Uttar Pradesh, Punjab, Haryana, dan Rajasthan, mengalami pemadaman listrik hingga 7 jam.
Pada Jumat (29/4/2022), Kementerian Perkeretaapian India membatalkan lebih dari 750 layanan kereta penumpang agar lebih banyak kereta barang memindahkan batubara dari kawasan pertambangan ke pembangkit listrik. Data Otoritas Listrik Pusat India menyebutkan, dari 165 pembangkit listrik batubara di India, sebanyak 94 tengah menghadapi pasokan batubara yang sangat rendah. Sementara delapan pembangkit lainnya tidak beroperasi pada Minggu (1/5/2022). Dengan kondisi itu, pasokan listrik telah anjlok lebih dari 75 persen dari kondisi normal.
Vibhuti Garg, ekonom energi di Institute for Energy Economics and Financial Analysis, mengatakan, aturan Pemerintah India mewajibkan pembangkit listrik mempertahankan stok batubara selama 24 hari. Nyatanya hal itu tidak dapat dijalankan secara rutin. Garg mencatat kenaikan suhu di India cenderung berlangsung cepat, dramatis, dan mengejutkan setelah negara itu mengalami musim semi yang tenang tahun ini. ”Kemudian tiba-tiba permintaan (listrik) mulai meningkat dan persediaan mulai menurun jauh, jauh lebih cepat daripada yang diantisipasi,” kata Garg. ”Kondisi itu menjadi semacam situasi panik karena mereka akan segera kehabisan batubara.”
Para ahli melihat langkah pemadaman listrik bukan akibat langsung dari kelangkaan pasokan batubara. Langkah itu terpaksa dilakukan karena lonjakan permintaan di luar perkiraan dan masalah pada pengangkutan batubara sebagai bahan baku utama produksi listrik. ”Kami tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk proyeksi secara tepat. Kenaikan permintaan seharusnya tidak mengejutkan,” kata Garg. Ada cukup batubara, tetapi kurangnya antisipasi dan perencanaan menyebabkan masalah, kata Sunil Dahiya, analis di Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih. ”Ini seharusnya dapat dihindari,” katanya.
Menurut Garg, kekurangan telah dipenuhi dengan batubara impor. Namun, naiknya harga energi global sejak invasi Rusia ke Ukraina mengakibatkan harganya tidak terbeli oleh perusahaan distribusi listrik di India. Pada Maret lalu, harga batubara mencapai 400 dollar AS per ton. Para analis memperkirakan permintaan listrik akan turun dalam beberapa pekan mendatang, terutama jika panas mereda.
Namun, kemungkinan permintaan akan melonjak lagi pada Juli dan Agustus, didorong meningkatnya kelembaban dan musim tanam di beberapa negara bagian India. Ini juga merupakan awal musim hujan ketika hujan lebat dapat membanjiri tambang batubara dan mengganggu aktivitas penambangan dan pasokan. Krisis energi serupa di India terjadi pada Oktober tahun lalu menyusul hujan lebat yang tidak biasa yang membanjiri beberapa kawasan tambang.
Para ahli menyebutkan, pengerahan kereta untuk mengangkut batubara kemungkinan akan meredakan situasi dan memberikan sedikit kelegaan. Namun, itu bukan solusi jangka panjang. Akibat perubahan iklim yang memperburuk gelombang panas, kekurangan energi akan menjadi lebih rutin di India dan permintaan listrik akan semakin meningkat. ”Kita perlu fokus secara agresif untuk memperkuat energi terbarukan dan membuatnya lebih andal. Kalau tidak, masalah yang sama akan terus terjadi karena kita terlalu bergantung pada satu sumber bahan bakar ini,” kata Dahiya. (AP)