Genosida menjadi bagian gelap sejarah dunia. Burundi adalah salah satu negara di Afrika yang pernah mengalaminya dan hingga kini masih berada di bawah bayang-bayang masa kelam itu.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
Laetitia Ngendakumana (60) tak tahu harus merasa seperti apa dan bagaimana. Setelah 50 tahun, ia kembali menemui ayahnya yang hilang pada 1972. Entah, apa yang berkecamuk dalam benaknya ketika salah satu petunjuk tentang ayahnya, gigi palsu, menghantarnya menemukan jenazah ayahnya. Pria itu ditemukan terkubur di sebuah lereng bukit berhutan, hanya beberapa kilometer dari Gitega, Burundi, tempat keluarga Ngendakumana tinggal. Ia hanya menangis sejadi-jadinya.
Perempuan beranak 12 orang itu masih merekam kuat saat terakhir melihat ayahnya pada 1972. Kala itu, Pemerintah Burundi yang didominasi suku Tutsi melakukan operasi atas suku Hutu. Ayah Ngendakumana adalah seorang bankir berdarah Hutu. Kala operasi digelar, pria itu hilang, tertelan gelombang pembantaian etnis. Dan sejak saat itu, dunia Ngendakumana seolah runtuh.
”Kami tidak pernah tahu ke mana mereka membawa ayah. Yang saya tahu adalah kami kehilangan semua yang kami miliki,” katanya, meremas-remas tangannya dalam wawancara dengan kantor berita Agence France Presse (AFP).
Kenangan atas kekejaman masa itu tidak pernah enyah dari benaknya. Apalagi, selama beberapa dekade, periode akhir April hingga Juni 1972, menjadi momok bagi warga Burundi. Sejarah kelam itu subyek tabu di ruang publik.
Namun, waktu tak pernah mampu menyembunyikan terlalu lama kekejaman itu. Pada 2019 Pemerintah Burundi membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk membuka kembali ”lembar hitam” dalam sejarah negara itu.
Kepada komisi itu, Ngendakumana memberi petunjuk tentang ayahnya, yaitu bahwa ayahnya memiliki gigi palsu bersepuh emas. Tip itulah yang kemudian menjadi petunjuk bagi tim penyelidik menemukan jenazah ayah Ngendakumana. Petunjuk itu pula yang mengantarkan Ngendakumana bertemu kembali dengan orang yang begitu dicintainya.
Sebagai catatan, sejak kemerdekaan pada 1962, ratusan ribu orang Burundi telah kehilangan nyawa mereka karena kekerasan etnis antara Hutu dan Tutsi serta karena perang saudara. Pembantaian tahun 1972, dilihat oleh sebagian orang sebagai babak tergelap dalam sejarah Burundi, dimulai pada 29 April ketika ekstremis Hutu menyerang Tutsi yang tinggal di selatan negara itu. Serangan itu memicu serangan balasan. Diperkirakan 100.000 sampai 300.000 orang tewas dalam kekerasan tersebut. Mayoritas korban berasal dari komunitas suku Hutu.
Pada Desember 2021, setelah penyelidikan selama tiga tahun, KKR menerbitkan laporan sementara yang mengatakan bahwa pembunuhan itu merupakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari hampir 20.000 korban yang jenazahnya digali di seluruh Burundi diperkirakan 7.000 ditemukan di sembilan kuburan massal di Gitega dan sekitarnya. Namun, ada lebih banyak kuburan tidak pernah ditemukan.
”Ketika kami mengatakan 7.000 korban, itu hanya terkait dengan kuburan yang telah kami temukan, yang telah digali dan dikonfirmasi,” kata Pierre Claver Ndayicariye, Kepala KKR Burundi. ”Pada 1972, negara membunuh rakyatnya,” kata Ndayicariye. Ia menyoroti peran presiden saat itu, Michel Micombero, dalam operasi pembunuhan tersebut.
Namun, sikap KKR mendapat kritik dari sejumlah pihak. Lembaga itu dinilai banyak dipengaruhi oleh rezim Burundi saat ini yang didominasi oleh etnis Hutu. Sejarawan Burundi, Evariste Ngayimpenda, menyesali kecenderungan pemerintah yang memainkan kartu etnis.
Dalam perspektif internasional, genosida sebagai konsep hukum yang bermula dari pengadilan Nuremburg yang digelar untuk mengadili penjahat perang Nazi. Kala itu, pengacara berdarah Polandia-Yahudi, Raphael Lemkin, menciptakan istilah untuk menggambarkan pemusnahan 6 juta orang Yahudi oleh Nazi.
Dalam Konvensi 1948 tentang Genosida, kejahatan genosida digambarkan sebagai tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok nasional, etnis, ras, atau agama.
Akan tetapi, terlepas dari semua unsur politik dalam isu tersebut, di sebuah sudut ruang gedung pemerintah tergeletak sisa pakaian, tas, serta tulang dan tengkorak korban konflik etnis Hutu-Tutsi. ”Mereka” bukan hanya bagian dari korban, melainkan juga ”suara nyaring” tentang keadilan dan seruan pemulihan dari duka masa lalu yang sangat menyakitkan…. (AFP)