Tudingan Konspirasi China Pada Langkah Akuisisi Twitter
Akuisisi Elon Musk atas Twitter memicu diskusi dan wacana. Salah satu yang hangat adalah cuitan pendiri Amazon, Jeff Bezos, yang menanggapi teori konspirasi China pada akuisisi Twitter.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
"Pertanyaan menarik. Apakah pemerintah China baru saja mendapatkan sedikit pengaruh dari alun-alun kota?" cuit Bezos sebagai tanggapan atas reporter New York Times yang mencatat ketergantungan Tesla pada China untuk pasarnya yang besar dan baterai lithium. "Alun-alun kota digital" merupakan istilah yang dipakai Musk untuk menyebut Twitter.
Reporter itu mencatat bahwa pasar terbesar kedua Tesla setelah AS pada 2021 adalah China. China juga pemasok utama baterai untuk kendaraan listrik Tesla. Dia juga mencatat bahwa ketika China melarang Twitter pada 2009, pemerintah "hampir tidak memiliki pengaruh atas platform tersebut." Dia kemudian melontarkan pendapat bahwa akuisisi Musk atas Twitter bisa saja mengubah situasi itu.
Namun, Bezos melanjutkan dengan mengatakan bahwa Beijing kemungkinan tidak mendapatkan pengaruh atas Twitter. "Jawaban saya sendiri untuk pertanyaan ini mungkin tidak. Hasil yang lebih mungkin dalam hal ini adalah kompleksitas di China untuk Tesla, daripada sensor di Twitter. Tapi kita lihat saja nanti. Musk sangat pandai menavigasi kompleksitas semacam ini," tambah Bezos.
Sekilas, cuitan Bezos itu tampak seperti orang yang sirik dengan manuver Musk membeli Twitter. Bezos dan Musk memang dikenal sebagai saingan di dunia bisnis digital. Bahkan, mereka juga berebut proyek pada Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA). Pada akhirnya, perusahaan antariksa Bezos, Blue Origin, kalah dalam lelang melawan SpaceX milik Musk.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin, seperti dikutip media nasional Global Times menanggapi segala tuduhan ini sebagai teori konspirasi. “Jeff Bezos itu hanya sirik karena tidak bisa memasuki paras China selihai Musk. Makanya dia membuat tuduhan tak berdasar,” ujarnya.
Twitter, seperti media-media sosial lain, memiliki sistem sensor. Ujaran kebencian, teori konspirasi, dan hasutan kekerasan dilarang beredar di lamannya. Ini pula alasan Twitter memblokir mantan Presiden AS Donald Trump dan sejumlah pemimpin dunia lainnya.
Namun sejumlah kritik yang muncul selama ini menilai bahwa ukuran sensor Twitter tidak konsisten dan tidak transparan. Bahkan sensor Twitter dikritik sebagai pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Tak sedikit kalangan menuding bahwa kebijakan Twitter yang berkaitan dengan politik internasional sangat bias kepentingan Pemerintah AS.
Namun sejumlah kritik yang muncul selama ini menilai bahwa ukuran sensor Twitter tidak konsisten dan tidak transparan.
Musk sendiri telah menegaskan bahwa ia adalah penganut kebebasan absolut. "Kebebasan mengungkapkan pendapat adalah fondasi bagi berfungsinya demokrasi, dan Twitter adalah alun-alun kota digital di mana hal-hal penting untuk masa depan masyarakat diperdebatkan," cuit Musk setelah mengakuisi Twitter.
Musk dipastikan mengakuisisi dan mengendalikan Twitter Inc. setelah bersedia menggelontorkan uang senilai 44 miliar dollar AS atau sekitar Rp 632 triliun, Senin (25/4/2022). Manajemen Twitter dalam pernyataannya mengatakan, transaksi telah disetujui dengan suara bulat oleh dewan direksi dan diperkirakan proses administrasinya tuntas pada 2022 sambil menunggu persetujuan peraturan dan persetujuan pemegang saham.
Undang-Undang Dasar China menyatakan setiap warga memiliki kebebasan berekspresi yang melingkupi kebebasan pers. Akan tetapi, di saat yang sama, pemerintah berhak menekan media untuk menarik hasil liputan bahkan membredel apabila media tersebut dinyatakan membahayakan negara. Definisi membahayakan ini tidak dijelaskan sehingga bisa ditafsirkan bermacam-macam.
Pada 2010, China menerbitkan buku putih internet yang mewajibkan semua orang, baik warga negara China maupun asing yang beroperasi di China untuk mematuhinya. Di dalamnya antara lain tidak boleh menyebarluaskan informasi yang menurunkan kredibilitas negara. Sejak 2017, Pemerintah memblokir Twitter di China.
Aturan berinternet ini kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi 2021. Caranya adalah dengan mewajibkan semua perusahaan di China, termasuk perusahaan digital, memberikan semua data pribadi pengguna kepada Pemerintah China.Hal ini memberi negara kekuasaan penuh mengawasi dan menyaring pergerakan informasi pada tataran pribadi maupun korporasi. Akibatnya, perusahaan media digital Yahoo dan LinkedIn memutuskan hengkang dari China.Baca juga : UU Perlindungan Data Pribadi Berlaku, Yahoo Memilih Tinggalkan China
Pemerintah China sendiri tidak antipati terhadap media sosial selama mereka bisa mengendalikannya. Bahkan, para diplomat China yang berada di luar negeri sangat gemar mencuit di Twitter. Media sosial ini adalah kendaraan utama mereka mempraktikkan jurus ‘Pendekar Serigala’, yaitu melawan semua kritik terhadap China dengan unggahan bernada keras.Pada 2021, kantor berita Associated Press bekerja sama dengan Institut Internet Oxford menerbitkan laporan bahwa ada 26.879 akun Twitter yang sengaja dibuat untuk menyebarluaskan cuitan para diplomat maupun media nasional China. Akun-akun ini ada yang memakai pendengung dan adapula akun robot. Twitter akhirnya melarang segala cuitan yang mengandung tautan ke laman media nasional China dan memblokir beberapa pejabat China.
Kolumnis surat kabar Washington Post, Max Boot, menjelaskan bahwa sejatinya demokrasi berarti moderasi konten. Orang banyak tidak memahami makna kebebasan berekspresi. Ujaran kebencian, kampanye hitam, hasutan, dan ajakan melakukan kekerasan sama sekali tidak masuk ke dalam nilai dan norma kebebasan berekspresi.
Media sosial tanpa moderasi konten, lanjut Boot, akan berakhir kepada pembodohan masyarakat. Tidak ada saringan antara informasi yang akurat dan rekayasa. Lebih parah lagi, dengan kekuatan media sosial saat ini, sebuah unggahan bisa menjadi senjata perundungan dan persekusi daring.
Bahkan sebuah unggahan juga menjadi metode menggerakkan massa melancarkan kekerasan untuk alasan yang keliru. Contohnya ialah kerusuhan di Washington DC pada Januari 2021.
Redaktur Washington Post Eugene Robinson dalam kolomnya memberi usulan agar masyarakat mulai mengambil jarak dengan media sosial. “Mungkin ini pertanda bahwa kita harus makin menjaga jarak dari media sosial dan menjalani kehidupan nyata. Pergi berjalan-jalan keluar, bertemu orang, dan mendengar cuitan burung yang asli,” tuturnya.