Membangun Asa dari Al-Aqsa
Bentrokan di kompleks Masjidil Aqsa, Jerusalem, kembali terjadi. Peristiwa yang berulang itu seolah jadi pantulan wajah konflik Israel-Palestina. Dialog damai harus terus diupayakan untuk memutus mata rantai kekerasan.
Dari tahun ke tahun, kerusuhan dan bentrokan selalu berulang di kompleks Masjidil Aqsa, Jerusalem timur, wilayah Palestina yang diokupasi Israel sejak tahun 1967. Tempat tersuci ketiga Islam ini telah berkalang kekerasan, antara Israel dan Palestina. Warga Palestina telah lama prihatin atas kemungkinan Israel membagi masjid itu seperti halnya Masjid Al-Haram Al-Ibrahimi di kota Hebron, Yudea selatan, Tepi Barat.
Selain bagi warga Muslim, tempat itu juga menjadi tempat suci bagi penganut Yudaisme. Oleh warga Yahudi, situs itu disebut Bukit Bait Suci atau Temple Mount. Meskipun demikian, situs suci itu menjadi salah satu titik paling sensitif di Timur Tengah.
Bentrokan terbaru di kompleks Al-Aqsa terjadi pada Jumat (22/4/2022). Bulan Sabit Merah Palestina mengatakan, 57 orang terluka, termasuk 14 warga Palestina, dibawa ke rumah sakit setelah polisi Israel menyerbu kompleks Al-Aqsa.
Lonjakan kekerasan terbaru, termasuk empat serangan mematikan sejak 22 Maret 2022 yang dilakukan warga Palestina dan Arab Israel, telah menewaskan 14 orang Israel. Selama periode itu, 24 warga Palestina tewas, termasuk penyerang yang menargetkan warga Israel. Puncak kekerasan terjadi saat perayaan dan liburan Paskah Yahudi, 15-23 April, yang jatuh pada bulan Ramadhan.
Baca juga : Israel Pertahankan Status Quo, Hanya Muslim Boleh Berdoa di Kompleks Al-Aqsa
Konflik itu bermula dari kampanye sebuah kelompok ekstremis Yahudi, Returning to the Mount, yang bermaksud mengadakan upacara korban seekor kambing di Bukit Bait Suci, Jumat (15/4/2022), awal perayaan Paskah Yahudi. Menurut The New York Times, rumor pun beredar luas di media sosial bahwa ekstremis Yahudi akan memasuki Masjidil Aqsa atau juga disebut kompleks Haram al-Sharif, Jumat itu.
Pada hari yang sama, pada Jumat itu, umat Islam menandainya sebagai Jumat kedua Ramadhan, 15 April 2022. Sementara di hari itu orang Yahudi bersiap memulai Paskah, sedangkan umat Kristen dari gereja-gereja Barat merayakan Jumat Agung atau hari wafat Yesus Kristus (Isa Almasih) di Gereja Makam Kudus, yang dipercaya dan diyakini sebagai Bukit Golgota, tempat Yesus Kristus disalibkan.
Pada hari itu, pasukan Israel dilaporkan menyerang umat Muslim yang sedang beribadah di Masjidil Aqsa. Menurut Kementerian Luar Negeri Israel, aparat Israel memasuki kompleks itu untuk menyita batu dan bata guna mencegah bentrokan. Sebab, pada pagi hari, seusai shalat Subuh, menurut Kemenlu Israel, puluhan orang bertopeng berbaris menuju Al-Aqsa sambil melemparkan petasan dan batu ke arah polisi Israel. Menurut pihak polisi Israel, aparat berupaya membubarkan mereka agar para peziarah lain dapat leluasa meninggalkan tempat itu dengan aman.
Bentrokan tak bisa dihindari hingga lebih dari 150 orang warga Palestina terluka. Tindakan aparat keamanan Israel itu memicu banyak kritik komunitas internasional dan menilainya telah mencederai bulan Ramadhan.
Di Jalur Gaza, Hamas menuduh Israel telah melakukan kampanye provokatif dan menyerukan kepada warga Palestina untuk mempertahankan Al-Aqsa dengan segala cara. Hamas pun membalas dengan menembakkan sejumlah roket ke Israel. Selain itu, Hamas menuntut Israel agar tidak mengizinkan kelompok ekstrem Yahudi masuk ke kompleks Al-Aqsa.
Pada Sabtu (23/4/2022), Israel sempat menutup penyeberangan Erez sebagai pembalasan terhadap tembakan roket Hamas, walau akhirnya dibuka lagi pada Senin (25/4/2022). Namun, Israel tetap melarang 12.000 warga Palestina dengan izin masuk ke Israel untuk pergi bekerja.
Lihat foto : Bentrok Kembali Meletus di Kompleks Masjid Al-Aqsa
Walau sejak Sabtu itu tidak ada lagi tembakan roket dari Jalur Gaza ke wilayah Israel, ketegangan antara Israel-Palestina tetap tinggi. Tetap ada kekhawatiran yang luas di kalangan warga Palestina dan Arab Israel akan pecahnya bentrokan baru di Al-Aqsa, terutama jelang shalat Jumat terakhir (29/4/2022) masa puasa Ramadhan di kompleks paling sensitif itu.
Hingga Rabu (27/4/2022) kekerasan antara Israel-Palestina telah menewaskan sekitar 40 orang setelah insiden di Aqabat Jaber, dekat kota Jerico, Tepi Barat. Seorang pemuda Palestina, Ahmed Ibrahim Oweidat (20), tewas di Aqabat Jaber pada Selasa (26/4/2022), dalam operasi “kontra-terorisme” oleh Israel terkait kerusuhan dengan kekerasan di Al-Aqsa.
”Status quo”
Shalat Jumat besok menjadi ujian dan pembuktian dari komitmen Israel untuk menegakkan status quo jangka panjang di tempat suci Jerusalem, yakni mencegah orang-orang Yahudi berdoa di kompleks Masjidil Aqsa. Hanya orang-orang Islam yang boleh berdoa di sana. Sementara kaum Yahudi atau non-Muslim diizinkan masuk hanya untuk wisata atau kunjungan biasa.
Pemerintah Israel telah menyatakan komitmennya pada Minggu (24/4). Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid mengatakan, hanya warga Muslim yang boleh berdoa di sana. Yahudi atau non-Muslim diizinkan masuk hanya untuk berwisata atau kunjungan biasa.
”Orang-orang Muslim berdoa di Temple Mount (Bukit Bait Suci), non-Muslim hanya berkunjung,” kata Lapid. Dia menggunakan nama Bukit Bait Suci, nama Yahudi untuk kompleks Al-Aqsa. Namun, Lapid menuduh Hamas dan Jihad Islam telah mengirim kelompok "ekstremis" dengan senjata dan bahan peledak ke kompleks Al-Aqsa, “sebagai pangkalan untuk memancing kerusuhan dengan kekerasan".
"Satu-satunya alasan polisi memasuki masjid dalam beberapa pekan terakhir adalah untuk mengusir mereka pergi," tambah Lapid memberi alasan penyerangan pada Jumat, 15 dan 22 April ini.
Lihat video : Pasukan Israel Masuk Masjid Al Aqsa, Bentrokan Kembali Pecah
Apakah Pemerintah Israel akan berkomitmen menegakkan status quo Masjidil Alqsa bagi umat Muslim, khususnya untuk warga Palestina dan Arab Israel? Dalam sejarahnya, pernyataan komitmen Tel Aviv tentang penegakan status quo kompleks Masjidil Aqsa bukan hal baru. Para pendahulu PM Naftali Bennett sering menegaskan soal komitmen itu.
Memang tidak ada hukum Israel yang melarang orang Yahudi berdoa di kompleks Al-Aqsa. Namun, sejak tahun 1967, Israel memberlakukan larangan untuk mencegah munculnya ketegangan. Setelah merebut kompleks itu pada 7 Juni 1967, otoritas Israel kemudian menyerahkan kepada Wakaf Jordania untuk mengelola dengan perjanjian hanya Muslim yang berdoa di kompleks itu; non-Muslim boleh masuk hanya untuk berwisata atau dalam kondisi tertentu.
Namun, setiap berganti rezim, komitmen itu tidak pernah benar-benar ditegakkan. Terakhir, Oktober 2021, Pengadilan Israel menegakkan larangan Yahudi berdoa di kompleks Al-Aqsa setelah perang 11 hari pada Mei tahun yang sama. Keputusan ini sekaligus membatalkan keputusan pengadilan sebelumnya yang mengizinkan Yahudi berdoa di kompleks Al-Aqsa dan memicu kemarahan dunia Muslim.
Kembali ke pertanyaan, apakah pemerintahan PM Bennett saat ini benar-benar bisa menegakkan komitmennya untuk jangka panjang atau permanen? Dengan kata lain, mampukah Bennet mengendalikan kelompok ekstremis Yahudi agar tidak memprovokasi terjadinya kekerasan berdarah di salah satu tempat tersuci ketiga umat Islam itu?
Warga Palestina telah lama prihatin atas kemungkinan upaya Israel membagi kompleks Al-Aqsa, seperti halnya Masjid Ibrahimi di Hebron. Selama lebih dari lima dekade, selalu ada upaya kubu garis keras atau nasionalis ekstrem Yahudi untuk mengubah bagian dari apa yang disebut sebagai Bukit Bait Suci, yang bertujuan membangun kuil ketiga di atas reruntuhan Kubah Batu (Dome of the Rock)
Baca juga : Bentrokan Komunitas Arab-Yahudi, Israel Hadapi Situasi Darurat
Pada awal 1980-an, otoritas Israel menemukan sel bawah tanah ekstremis Yahudi yang berencana meledakkan situs Muslim di kawasan itu. Pada tahun 1982, seorang Yahudi Amerika yang bertugas di Pasukan Pertahanan Israel (IDF) memasuki kompleks itu dan menembaki orang-orang di sana. Seorang pengurus Departemen Wakaf Islam Jordania, otoritas yang bertanggung jawab atas pengelolaan Masjidil Aqsa, tewas.
Kekerasan pun terus berlanjut. Pada tahun 1990, selama kerusuhan di kompleks itu, polisi Israel membunuh 17 warga Palestina. Pada September 1996, kerusuhan meletus setelah terowongan Tembok Barat dibuka. Intifada Kedua pecah sampai batas tertentu sebagai tanggapan atas kunjungan politisi dan jenderal Ariel Sharon di situs tersebut pada tahun 2000. Sharon pada 7 Maret 2001 menjadi PM Israel.
Orang-orang Palestina berulang kali mengklaim bahwa Israel telah merusak fondasi Masjidil Aqsa untuk menghancurkan tempat-tempat suci mereka dan berencana untuk mengambil alihnya. Meskipun ini jelas bukan kebijakan resmi Israel, beberapa organisasi ekstremis Yahudi secara aktif mempersiapkan pembangunan kembali Bait Suci Jerusalem.
Pernyataan Lapid pada Minggu (24/4/2022) ini diharapkan benar-benar terwujud. "Tidak ada perubahan. Kami tidak punya rencana untuk membagi Temple Mount di antara agama-agama," kata Lapid merujud Bukit Bait Suci atau kompleks Masjidil Aqsa itu (Kompas.id, 16/4/2022).
Jika berkaca pada pernyataan itu, publik boleh berharap pemerintahan Bennett benar-benar dapat menegakkan komitmennya. Sejumlah pihak, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Raja Jordania Abdullah, dan Liga Arab, sebelumnya menyuarakan keprihatinan mereka atas insiden-insiden terbaru di Al-Aqsa.
Baca juga : Korban Berjatuhan, Israel-Palestina Kembali Memanas
Juru bicara Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Urusan HAM, Ravina Shamdasani, menuntut penyelidikan independen dan transparan atas tindakan aparat Israel. Sementara itu, Raja Abdullah mengatakan, tindakan ”sepihak” Israel terhadap kaum Muslim di kompleks Masjidil Aqsa merusak prospek perdamaian di kawasan itu. Dia menuding Israel atas tindakan provokatif yang melanggar status quo hukum dan sejarah Al-Aqsa.
Beberapa pemerintahan negara Muslim memperingatkan Israel agar benar-benar bisa menegakkan status quo Masjidil Aqsa. Daniel Seidemann, pengacara Israel yang mengkhususkan diri dalam geopolitik Jerusalem, baru-baru ini mengatakan kepada Al Jazeera tentang naiknya faksi-faksi agama yang mempersenjatai agama dalam merespons konflik di sekitar Al-Aqsa.
Dalam beberapa tahun terakhir, menurut Times of Israel, 24 April 2022, beberapa garis keras Yahudi telah mendorong untuk mengizinkan orang Yahudi berdoa di kompleks Al-Aqsa dalam gerakan yang semakin meningkat. Polisi Israel di masa lalu mengusir setiap orang yang dicurigai berdoa, tetapi kadang menutup mata. Orang-orang Yahudi juga semakin banyak mengunjungi situs tersebut, dengan liburan Paskah minggu lalu (15-23 April) membawa rekor 4.600 pengunjung Yahudi.
Baca juga : Kekerasan di Jerusalem Berulang, Liga Arab Kecam Provokasi Israel
Uni Emirat Arab telah meminta Israel untuk lebih bisa mengendalikan ketegangan dan memberikan perlindungan penuh bagi warga Palestina untuk berdoa di kompleks Al-Aqsa. Penghormatan terhadap hak orang-orang Palestina untuk menjalankan ritual keagamaan di sana akan menurunkan eskalasi ketegangan dan menjamin stabilitas serta keamanan kawasan itu.
Jika status quo sulit ditegakkan, nasib kompleks Masjidil Aqsa telah dan mungkin akan terus menjadi titik perdebatan utama dalam semua negosiasi perdamaian Israel-Palestina (Yahudi-Arab). Signifikansi religius situs tersebut telah membuatnya sering menjadi titik konflik paling berdarah dan pusat emosional konflik Israel-Palestina. Dengan kedua belah pihak yang begitu emosional, kesepakatan mungkin akan sulit dibayangkan.(AFP/AP/REUTERS)