Menhan AS Kumpulkan 40 Negara, Rusia Peringatkan Ancaman Perang Dunia III
Menlu Rusia Sergey Lavrov memperingatkan bahwa ancaman pecahnya Perang Dunia III adalah serius. ”Semua orang kini merapal mantra-mantra agar kita bisa mencegah pecahnya Perang Dunia III,” ujarnya.
KIEV, SELASA — Rusia memperingatkan ancaman soal pecahnya Perang Dunia III menjelang pertemuan antara Amerika Serikat dan 40 negara, termasuk para sekutunya, di Jerman, Selasa (26/4/2022). Sejak Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari lalu, negara-negara Barat enggan terlibat langsung dalam pertempuran di Ukraina. Meski demikian, mereka memasok senjata ke Ukraina.
Berbicara kepada kantor-kantor berita Rusia, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov memperingatkan bahwa ancaman pecahnya Perang Dunia III adalah serius. Ia juga mengkritik pendekatan Kiev dalam menyikapi perundingan damai. ”(Ancaman pecahnya Perang Dunia III) itu nyata. Anda tidak bisa meremehkannya,” ujarnya.
Lavrov menuding para pemimpin Ukraina memprovokasi dengan permintaan agar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mau terlibat dalam konflik Rusia-Ukraina. Menurut Lavrov, NATO secara efektif ”telah memasuki perang melawan Rusia bersama proksi-proksinya”. NATO, lanjut Lavrov, kini mempersenjatai proksi-proksi tersebut.
”Semua orang kini merapal mantra-mantra agar kita bisa mencegah pecahnya Perang Dunia III,” ujar Lavrov dalam wawancara dengan televisi Rusia. Dengan memasok senjata, kata Lavrov, pasukan NATO telah menyiramkan ”bensin di atas api”.
Baca juga : Memasuki Bulan Ketiga, Perang Rusia-Ukraina Cenderung Bereskalasi
Selain mengupayakan perundingan, Kiev terus meminta tambahan pasokan senjata dari NATO. Menlu Ukraina Dmytro Kuleba menyangkal anggapan bahwa dengan permintaan itu Kiev rakus dan memanfaatkan keadaan. ”Harus dilakukan karena hanya ini cara memenangi perang,” ujarnya.
Amerika Serikat paling gencar mempersenjatai Ukraina. Setelah bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Kiev, Menteri Pertahanan Lloyd Austin akan bertemu menhan dan panglima tentara sedikitnya 40 negara di Pangkalan Udara Ramstein, Jerman, pada Selasa ini. Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg akan bergabung dalam pertemuan itu.
Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Mark Milley mengatakan, pertemuan itu untuk mengoordinasikan dan menyelaraskan bantuan pertahanan untuk Ukraina. Pembahasannya termasuk menjaga pasokan amunisi ke Ukraina.
Lawatan sekjen PBB
Pada Selasa ini, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres memulai lawatan ke Rusia-Ukraina. Dalam lawatan itu, Guiterre diharapkan fokus mengurus evakuasi. Di sejumlah kota Ukraina, ada ratusan ribu orang terjebak dan tidak bisa keluar dari zona perang.
Guterres meninggalkan kantornya di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat pada Senin (25/4/2022) malam waktu setempat atau Selasa dini hari WIB. Ia memilih pergi ke Moskwa, Rusia, sebelum bertandang ke Kiev, Ukraina.
”Dia (Guterres) harus fokus pada satu isu, evakuasi warga di Mariupol. Ini sesuatu yang PBB benar-benar bisa lakukan,” ujar Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba.
Paling tidak 100.000 warga Ukraina masih terjebak di kota pelabuhan di Ukraina tenggara itu. Dengan demikian, paling tidak 75 persen penduduk kota itu sudah mengungsi sejak perang meletus pada 24 Februari 2022. Rusia kini memusatkan pengepungan pada kubu pertahanan terakhir milisi dan tentara Ukraina di Mariupol. Kubu itu terletak di pabrik baja Azovstal.
Dari 44 juta warga Ukraina, sebanyak 12 juta warga sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan. Sebanyak 4 juta di antara orang yang membutuhkan bantuan itu berada di Mariupol, Kherson, Donetsk, dan Luhanks. PBB khawatir jumlah warga yang butuh bantuan itu bisa mendekati 16 juta orang karena perang masih terus terjadi.
Baca juga : Memasuki Bulan Ketiga, Perang Rusia-Ukraina Cenderung Bereskalasi
Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) menyebutkan bahwa 5,1 juta penduduk Ukraina kini mengungsi ke luar negeri. Hampir separuh pengungsi Ukraina berada di Polandia, negara yang paling gigih mendesak Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengirimkan pasukan ke Ukraina.
Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, 132 ton bantuan medis sudah tiba di Ukraina Timur dan Ukraina Utara. WHO masih memproses pengiriman 86 juta ton bantuan medis.
Prihatin
Terkait lawatan Guterres, Kuleba mengaku prihatin karena Guterres terlebih dulu ke Moskwa dibandingkan ke Kiev. Ia menuding Guterres bisa terperangkap jebakan Kremlin. ”Banyak pejabat asing terjebak mengunjungi Moskwa serta bermain-main hanya untuk menunjukkan supremasi diplomasi Rusia dan hebatnya mereka (Rusia) mendikte cara dunia berperilaku,” tuturnya.
Kepala Kajian Risiko Global pada Geneva Centre for Security Policy Jean-Marc Rickli juga menuding Guterres salah memilih awal lawatan. ”Dalam kondisi sangat terpolarisasi dan disinformasi menyebar luas, semua yang disampaikan Guterres akan dimanfaatkan salah satu pihak dalam konflik,” ujarnya sebagaimana dikutip media Jerman, Deutsche Welle.
Rickli setuju bahwa tugas Guterres amat sulit. ”Guterres akan mencoba menghadirkan momentum baru bagi PBB untuk berperan dalam menyediakan jalur kemanusiaan,” ujarnya.
Sejak perang Rusia-Ukraina meletus, PBB dan Guterres dipandang lemah. Berkali-kali imbauan gencatan senjata diminta PBB serta Guterres dan berkali-kali pula imbauan itu diabaikan. ”Kelemahan PBB dihasilkan strukturnya, khususnya veto anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang telah melumpuhkan organisasi itu di tengah polarisasi saat ini,” kata Rickli.
Baca juga : Tangkas Bersiasat Mendorong Mufakat
Tidak kalah menantang bagi Guterres adalah Kiev-Moskwa, menurut Rickli, sama-sama tidak mau berdamai. Mereka sama-sama lebih gigih meningkatkan dibandingkan meredakan ketegangan.
Dalam pernyataan pada Senin, Menlu Rusia Sergey Lavrov menuding Kiev sengaja mengabaikan perundingan di Turki. Indikasinya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy tidak kunjung menanggapi hasil perundingan.
”Kami sudah hampir sepekan menanti jawaban dan dia (Zelenskyy) malah menyatakan belum menerima perkembangan apa pun. Kami sudah bertanya ke perunding Ukraina, mengapa mereka tidak melapor ke dia (Zelenskyy)? Mereka mengaku sudah lapor. Walakin, sepertinya dia (Zelenskyy) tidak punya waktu mengurus hasil perundingan. Hal ini menunjukkan perilaku sebenarnya walau dia berkata lebih menyukai perdamaian,” tutur Lavrov, sebagaimana dikutip RIA Novosti dan TASS.
Sementara Wakil Perdana Menteri Ukraina Iryna Vereshchuk justru menuding Rusia yang berulang kali melanggar kesepakatan. Kegagalan evakuasi warga dari sejumlah kota Ukraina adalah bukti utama kegagalan itu. Setiap kali evakuasi akan dilakukan, Kiev-Moskwa terlebih dulu bersepakat. Jika ada kesepahaman, baru evakuasi dilakukan.
Amunisi Ukraina
Sejumlah pihak di AS khawatir Ukraina segera kehabisan amunisi walau punya banyak persenjataan. Kekhawatiran itu dipicu dua hal. Pertama, banyak gudang senjata Ukraina dihancurkan rudal Rusia. Kedua, AS tidak mengetahui keberadaan lebih dari separuh persenjataan dan amunisi yang dikirim ke Ukraina. Sebab, tidak ada cara melacaknya.
Baca juga : Ukraina Harapkan Suntikan Senjata AS untuk Hadapi Rusia
Padahal, Washington telah memberikan persenjataan dan amunisi senilai 3,4 miliar dollar AS kepada Kiev dalam 60 hari terakhir saja. Sebelum itu, Washington telah mengucurkan bantuan pertahanan senilai 2,4 miliar dollar AS ke Kiev dalam periode 2014-2021.
Sejumlah sekutu AS juga memberikan bantuan. Walakin, Uni Eropa belum kunjung menyepakati pasokan senjata berat untuk Ukraina. Wakil Menteri Luar Negeri Slowakia Martin Klus mengatakan, Brastislava siap memberikan sebagian persenjataan buatan era Perang Dingin kepada Kiev. ”Kami (Slowakia dan Ukraina) punya dan berpengalaman menggunakan senjata yang sama,” ujarnya.
Kesamaan jenis senjata dan pengalaman penggunaan akan memudahkan pengoperasian persenjataan itu. Masalahnya, Slowakia dan sejumlah negara Eropa Timur belum kunjung mendapatkan kepastian cara mendapat persenjataan pengganti. ”Jika kami memberikan pesawat tempur (warisan era Perang Dingin) ke Kiev, bagaimana melindungi wilayah udara kami? Semua itu masih didiskusikan,” ujarnya.
Sejak sebelum perang Rusia-Ukraina meletus, sejumlah anggota Uni Eropa sudah mendesak pengiriman senjata berat untuk membantu Kiev menghadapi Moskwa. Sampai sekarang, keinginan itu belum sepenuhnya terwujud.
Anggota UE terkaya sekali pun, Jerman, mengaku tidak punya cukup persenjataan untuk dibagikan kepada Ukraina. Berlin siap memberikan uang untuk membeli persenjataan yang akan dipasok ke Kiev. (AFP/AP/REUTERS)