Emmanuel Macron terpilih kembali menjadi presiden untuk periode kedua. Namun, tugas berat menantinya karena ia harus menghadapi rakyat yang terbelah. Kemenangan Macron sebagian karena para pemilih tak mau Le Pen terpilih
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Presiden Perancis, Emmanuel Macron, terpilih kembali untuk periode kedua setelah berhasil meraih 58,6 persen suara dalam putaran kedua pemilihan presiden Perancis. Macron mengalahkan Marine Le Pen yang memperoleh 41,4 persen suara. Kemenangan pemilu kali ini tak disambut dengan sorak-sorai melainkan hanya kelegaan dari kubu Macron. Pasalnya, tugas berat menanti Macron karena rakyat Perancis terbelah. Macron merupakan presiden Perancis pertama dalam dua dekade terakhir yang memenangkan masa jabatan kedua. Kemenangan kubu sayap kanan Macron lebih tipis ketimbang ketika Macron dan Le Pen bertemu pada 2017. Dulu marginnya 66,1 persen tetapi kini hanya 33,9 persen.
Di hadapan para pendukungnya yang berkumpul di Menara Eiffel, Macron (44) berjanji selama lima tahun ke depan akan merangkul dan mendengarkan aspirasi seluruh rakyat Perancis, terutama para pendukung Le Pen yang kecewa dan protes atas kemenangan Macron di kota Paris dan Rennes. Macron menyadari banyak pemilih yang memberikan suaranya untuk kubu Macron hanya supaya Le Pen atau kubu sayap kanan ekstrem tidak berkuasa. Periode kedua Macron ini akan diuji pada saat pemilihan parlemen, Juni mendatang. Pada saat itu, pemerintahan Macron harus mampu mempertahankan kelompok mayoritas agar bisa mewujudkan kebijakan-kebijakannya.
“Penyebab kemarahan dan ketidakpuasan masyarakat yang memilih sayap kanan ekstrem akan kita cari tahu. Ini era baru Perancis yang tidak akan sama dengan periode lalu. Akan ada strategi pemerintahan yang baru. Tidak akan ada satupun rakyat yang ditinggalkan,” janji Macron.
Le Pen (53) menerima kekalahannya dan mengakui kemenangan Macron. Bahkan Le Pen menilai pemilu kali ini pertarungan yang luar biasa. Ia juga menegaskan tidak akan mundur dari politik dan tidak akan meninggalkan rakyat Perancis serta akan bersiap untuk menghadapi pemilihan parlemen. “Hasil pemilu ini menunjukkan kemenangan yang brilian,” ujarnya kepada para pendukungnya.
Bagi Le Pen, kekalahan ketiganya dalam pemilihan presiden ini menjadi pil pahit yang harus ia telan. Selama bertahun-tahun, Le Pen berusaha keras membuat dirinya bisa dipilih dan menjauhkan partainya dari warisan pendirinya, Jean-Marie Le Pen, atau ayah Marine Le Pen. Sejak awal Le Pen dan partainya tidak pernah berhenti menjadi ekstrem kanan dan rasis, sementara Macron berkali-kali menyoroti mengenai rencana kubu Le Pen melarang pemakaian jilbab di depan umum jika Le Pen menang. Kemenangan Macron ini disambut perasaan lega di wilayah Eropa karena sebelumnya ada kekhawatiran jika Le Pen memimpin maka akan membuat Eropa seakan berjalan tanpa arah setelah Brexit dan pensiunnya kanselir Jerman, Angela Merkel.
Perdana Menteri Italia, Mario Draghi, menyambut baik kemenangan Macron dan ini dianggapnya sebagai kabar sangat bagus bagi seluruh Eropa. Sementara Kanselir Jerman, Olaf Scholz, mengingatkan pemilu di Perancis ini menunjukkan hampir separuh rakyat Perancis mengirimkan mosi tidak percaya pada pemerintahan Macron. Presiden Dewan Eropa, Charles Michel, pun berlega hati karena masih bisa mengandalkan Perancis untuk lima tahun ke depan. Kepala Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, juga lega karena masih bisa melanjutkan kerja sama yang sangat baik dengan Perancis.
Macron sebenarnya berharap periode kedua ini tidak akan terlalu rumit sehingga ia bisa mengimplementasikan visinya pada reformasi yang lebih pro-bisnis dan integrasi Uni Eropa yang lebih erat. Ia berharap periode kedua ini lebih baik dibandingkan masa jabatan pertamanya yang dibayangi aksi protes, pandemi Covid-19, dan invasi Rusia ke Ukraina. Masalahnya, Macron harus merangkul sebagian masyarakat yang mendukung lawan-lawannya dan jutaan warga Perancis yang tidak mau repot-repot memberikan suaranya pada pemilu kali ini. Jumlah pemilih pada pemilu kali ini diperkirakan hanya 72 persen, ini angkat terendah dalam putaran kedua pemilihan presiden sejak 1969. Sementara itu, sebanyak 6,35 persen pemilih dalam pemilu tidak memilih salah satu calon dan surat suaranya kosong. Bahkan 2,25 persen pemilih malah merusak surat suara mereka.
Kandidat presiden yang berada di posisi ketiga pada putaran pertama, Jean-Luc Melenchon, meski lega Le Pen kalah tetap tidak mau mendukung Macron dan akan mempersiapkan diri untuk pemilu parlemen, Juni. “Kekalahan Le Pen ini kabar yang sangat baik untuk persatuan rakyat Perancis tetapi tantangan Macron besar karena ia seakan tenggelam dalam lautan abstain dan surat suara yang rusak,” kata Melenchon.
“Suasananya agak muram dibandingkan kemenangan Macron tahun 2017. Sepertinya orang-orang sengaja menahan diri untuk tidak berpesta karena kita terpecah. Sekarang Macron harus memerhatikan semua orang karena di Perancis,” kata Luca Bouvais (20).
Banyak pemilih yang mengaku memilih Macron pada saat putaran kedua pemilu, dua pekan lalu, tetapi ketika putaran pertama mereka memilih Melenchon dari kubu sayap kiri atau Yannick Jadot. Di tahap akhir kampanye, kubu Macron berusaha mendekati para pendukung sayap kiri dan masyarakat yang peduli pada isu-isu lingkungan. Salah seorang warga Paris, Guillaume Ledun (51), yang termasuk pendukung sayap kiri mengatakan banyak temannya yang tidak mau memilih karena merasa mereka sudah memilih Macron pada tahun 2017 hanya demi menghadapi kelompok sayap kanan berkuasa. “Tetapi mereka sekarang sudah tidak mau dan sudah merasa lelah. Mereka merasa tidak ada kandidat yang cocok dan bisa menyuarakan aspirasi mereka,” ujarnya.
Hidup sulit
Setelah dua tahun digoyang pandemi Covid-19 dan harga bahan bakar yang melonjak akibat invasi Rusia ke Ukraina, banyak warga Perancis yang mengeluhkan semakin berat beban hidup sehari-hari. Kenaikan biaya hidup semakin memberatkan bagi mereka yang miskin. “Macron harus lebih mendekati rakyat dan mendengarkan aspirasi rakyat, Macron juga harus memperbaiki reputasinya sebagai pemimpin yang arogan dan memperhalus gaya kepemimpinannya,” kata Virginie (51).
Pada jajak pendapat awal dari Elabe terlihat perolehan suara terbagi tajam berdasarkan usia dan status sosial-ekonomi. Dua pertiga pemilih kelas pekerja mendukung Le Pen, sementara proporsi yang sama dari kalangan eksekutif kerah putih serta pensiunan mendukung Macron. Macron memenangkan sekitar 59 persen suara anak muda berusia 18-24 tahun dengan suara yang hampir terbagi merata dalam kategori usia lainnya. Untuk menjegal Macron, selama kampanye, Le Pen menyoroti kenaikan biaya hidup rakyat dan gaya Macron yang terkadang kasar. Kala itu, Le Pen menjanjikan pemotongan pajak bahan bakar, pajak penjualan nol persen untuk barang-barang penting, pembebasan pendapatan untuk pekerja muda, dan mengutamakan warga Perancis dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan. “Saya bingung mayoritas warga Perancis malah memilih lagi presiden yang merendahkan kita selama lima tahun. Saya menginginkan presiden yang memprioritaskan urusan hidup sehari-hari kita seperti gaji, pajak, dan pensiun,” kata salah satu pendukung Le Pen, Adrien Caligiuri. (REUTERS/AFP/AP)