Dua Srikandi Diplomasi Indonesia di Tengah Krisis Ukraina dan G20
Sukses-tidaknya keketuaan G20 Indonesia dipengaruhi perkembangan krisis di Ukraina. Namun, ketangkasan berdiplomasi dua srikandi, Retno dan Sri Mulyani, sangat krusial bagi suksesnya keketuaan Indonesia di G20.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·3 menit baca
Pada bulan April 2022, awak redaksi di Kompas kedatangan tamu penting—secara langsung maupun virtual—dua menteri yang bekerja keras menangani situasi yang ditimbulkan oleh perang Rusia-Ukraina. Pertama, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang diundang menjadi narasumber diskusi Kompas Collaboration Forum (KCF), dengan peserta para CEO dan pemimpin perusahaan terkemuka di Tanah Air, 7 April 2022. Kedua, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di tengah jadwal padatnya di Washington DC, AS, menyempatkan diri memberikan wawancara khusus secara daring, Jumat (22/4/2022).
Bagi diplomat seperti Retno, situasi krisis seperti di Ukraina saat ini sudah menjadi menu tugas sehari-hari. Di masa ia mulai menjabat menlu tahun 2014, sejumlah konflik dan krisis melanda dunia dan kawasan. Isu terorisme dengan kemunculan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), krisis Rohingya tahun 2017, ketegangan AS-China, perang Gaza 2021, hingga kudeta di Myanmar 2021 dan kini serangan Rusia ke Ukraina, beberapa contohnya.
Sebagai representasi Indonesia di panggung global, Retno harus menjalankan diplomasi menyuarakan sikap dan posisi Indonesia dalam percaturan dunia. Meski seluruh kebijakan luar negeri itu tentu dikonsultasikan kepada dan diputuskan oleh Presiden Joko Widodo, tanggung jawab pelaksanaannya berada di pundak Retno. Di tangan Retno dan jajarannya di Kementerian Luar Negeri, operasional diplomasi—termasuk implementasi kredo politik bebas aktif—dijalankan.
Mendekati tahun-tahun terakhir masa jabatannya, dua tugas utama harus dipikul Retno, yakni menjadi salah satu garda terdepan memastikan keketuaan Indonesia di G20 tahun 2022 ini dan Keketuaan ASEAN tahun 2023 berjalan sukses. Dua momentum spesial itu bakal dijadikan salah satu ukuran untuk menilai seberapa besar kapasitas diplomasi Indonesia di tingkat global dan kawasan.
Sejumlah kritik tak luput menerpa pendekatan diplomasi Indonesia. Ada yang menyebut, dengan titik berat diplomasi ekonomi yang dicanangkan pada era pemerintahan Joko Widodo, Indonesia cenderung menitikberatkan diplomasi yang transaksional. Terkait implementasi politik luar negeri yang bebas aktif, misalnya, beberapa kalangan menyoroti kurang maksimalnya peran ”aktif” Indonesia dalam formula bebas aktif itu.
Begitu pula posisi yang diambil Indonesia dalam menyikapi krisis Ukraina juga tak bebas dari kritik. Pernyataan sikap, seperti diumumkan Kementerian Luar Negeri pada 25 Februari 2022, dinilai kurang tegas meski tercantum kecaman ”serangan militer di Ukraina tidak dapat diterima”.
Seorang diplomat menuturkan, berbeda dari analisis pengamat yang tidak membawa implikasi, sikap resmi pemerintah memiliki dampak serius bagi negeri ini jika salah mengambil posisi. Semuanya—bahkan hingga titik dan koma dalam pernyataan tertulis—mesti ditimbang masak-masak.
Selain Retno, menteri lain yang harus bekerja keras menangani situasi akibat krisis Ukraina adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani. Krisis yang dipicu oleh serangan Rusia pada 24 Februari 2022 secara koinsiden bersamaan dengan posisi Indonesia sebagai ketua G20. Ini yang memaksa Sri Mulyani harus bekerja lebih keras dan lebih taktis, mengingat sektor keuangan yang ditanganinya menjadi salah satu bidang utama dalam kerja sama di forum G20.
Meski bukan diplomat, Sri Mulyani tak kalah tangkas berdiplomasi. Dalam wawancara khusus, Jumat lalu, ia menceritakan bagaimana ia meyakinkan mitranya di G20, termasuk negara Barat yang mendesak agar Rusia didepak dari G20. ”Apakah presidensi bisa melakukan hal itu (mendepak Rusia)? Kewenangannya ada, enggak?” ujar Sri Mulyani.
Ia kemudian mengingatkan para koleganya: andai Indonesia tahun ini memulai pengucilan satu anggota G20, hal itu akan menjadi preseden terpecahnya G20. Diawali dari G19, lalu G18, bisa berlanjut G17, G16, dan lama-lama bisa menjadi G10 atau G7 plus-plus. ”Kalau kembali ke G7, ya Amerika, Eropa, Jepang, Anda sudah punya G7. Ya sudah, itu forum Anda. (Jika seperti itu), Anda tidak perlu lagi untuk bertemu dan ngomong (dalam forum G20),” tutur Sri Mulyani.
Bayangan perpecahan di G20 sejauh ini cukup ampuh meredam kuatnya tekanan pada Indonesia. Pada Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) G20 di Washington DC, AS, pekan lalu, G20 masih utuh meski ada boikot simbolis dari AS dan sekutunya.
Perjalanan keketuaan Indonesia G20 masih panjang, sekitar tujuh bulan. Perkembangan krisis di Ukraina besar pengaruhnya. Namun, ketangkasan berdiplomasi, seperti diperlihatkan dua srikandi, Retno dan Sri Mulyani, sangat krusial bagi suksesnya keketuaan Indonesia di G20.