Posisi Macron yang pro-Uni Eropa cenderung naik di tengah sentimen negatif terhadap Le Pen. Namun, Le Pen tetap bisa memberikan kejutan.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
PARIS, MINGGU — Pemilihan presiden putaran kedua digelar di seluruh Perancis, Minggu (24/4/2022), untuk menentukan Emmanuel Macron akan kembali terpilih atau digantikan penantangnya, Marine Le Pen, dari Partai Barisan Nasional. Jajak pendapat dalam beberapa hari terakhir sebelum pemilihan menunjukkan Macron lebih unggul.
Analis menilai, posisi Macron yang pro-Uni Eropa cenderung naik di tengah sentimen negatif terhadap Le Pen. Terlepas dari upaya untuk melunakkan citra dan mengurangi beberapa kebijakan partainya, Le Pen yang mewakili kelompok sayap kanan tetap tidak menarik simpati publik. Namun, Le Pen tetap bisa memberikan kejutan. Sebab, jumlah pemilih yang tidak yakin akan memilih dalam pemilu putaran kedua tinggi.
Jika Le Pen menang, Perancis diperkirakan akan mengalami pergolakan politik. Kondisinya mirip kala Inggris memilih untuk meninggalkan Uni Eropa atau saat pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) yang memenangkan Donald Trump pada 2016. Sejumlah jajak pendapat di Perancis menunjukkan tidak ada kandidat presiden yang mendapatkan suara yang benar-benar solid. Para kandidat di luar sayap kanan semata bergantung pada pemilih yang cemas tentang implikasi terpilihnya presiden sayap kanan. Namun, mereka juga memiliki banyak catatan kritis terhadap Macron sejak masa pemerintahannya pada 2017.
Pemilihan presiden putaran kedua dimulai pukul 08.00 dan ditutup pukul 20.00. Proyeksi awal sejumlah lembaga survei mulai dirilis setelah pemungutan suara ditutup. ”Masing-masing kandidat memiliki kelemahan besar,” kata Bernard Sananes dari lembaga survei Elabe. ”Emmanuel Macron dianggap arogan oleh satu dari dua pemilih dan Marine Le Pen tetap menakutkan bagi setengah pemilih lainnya.”
Macron (44) memenangi pertarungan yang sama lima tahun lalu. Ia memperingatkan kemungkinan terjadinya ”perang saudara” jika Le Pen terpilih kali ini. Salah satu kebijakan yang bakal diusung Le Pen adalah larangan mengenakan atribut keagamaan di ruang publik. Macron pun menyerukan para demokrat dari semua lapisan di Perancis untuk mendukungnya melawan sosok ekstrem kanan seperti Le Pen.
Le Pen (53) memilih memfokuskan kampanye pada kenaikan biaya hidup di Perancis. Sebagai negara dengan perekonomian terbesar ketujuh di dunia, ekonomi negara itu menurut sebagian warganya memburuk. Lonjakan harga energi global sebagai akibat perang Rusia-Ukraina melatarbelakangi kondisi itu. Le Pen juga memusatkan perhatian pada gaya kepemimpinan Macron yang abrasif dan menurut dia menunjukkan penghinaan elitis terhadap orang-orang biasa.
”Pertanyaan pada Minggu ini sederhana: Macron atau Perancis,” kata Le Pen dalam kampanye di hadapan pendukungnya di kota Arras, Perancis bagian utara, Kamis (21/4). Pesan Le Pen itu pun disambut dengan gegap gempita oleh pendukungnya. Pesan itu juga menggema di kalangan banyak pemilih. ”Dia dekat dengan rakyat. Dia benar-benar bisa memberikan daya beli kepada rakyat, membuat rakyat tersenyum, memberi oksigen kepada rakyat,” kata Erika Herbin (43), sipir penjara, seusai rapat umum itu.
Para pendukung setia Macron pun menyatakan dukungan kepada Macron dan menolak tawaran Le Pen. Ghislaine Madalie, penata rambut di Auxerre, Perancis tengah, sangat tidak setuju dengan Le Pen. Madalie mengatakan akan memilih Macron setelah mendukung kandidat dari sayap kiri, Jean-Luc Melenchon, di putaran pertama pada 10 April.
Madalie mengaku takut akan wajah kepresidenan Le Pen jika terpilih. Namun, Madalie mengakui banyak kliennya akan memilih kandidat sayap kanan itu karena mereka tidak menyukai Macron. ”Saya menganggap (jika Le Pen terpilih) bencana karena dia rasis,” kata Madalie (36), yang keluarganya berakar di Maroko. ”Saya cemas, untuk saya dan untuk anak-anak saya.”
Le Pen, yang dikritik Macron karena kekagumannya di masa lalu terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin, menolak tuduhan soal rasisme. Dia berencana memberikan prioritas kepada warga Perancis lewat program perumahan sosial dan lapangan kerja. Ia pun siap menghapus sejumlah tunjangan kesejahteraan bagi orang asing. Ia menilai kebijakan itu bakal menguntungkan semua warga Perancis, terlepas dari agama atau asal mereka.
Jean-Daniel Levy, dari lembaga jajak pendapat Harris Interactive, mengatakan, survei opini publik menunjukkan Le Pen tidak mungkin menang. Kemenangan Le Pen hanya mungkin terjadi jika para pemilih di seluruh Perancis menggunakan hak mereka dan mayoritas memilih Le Pen. Namun, dia pun mengingatkan kemungkinan masa jabatan yang relatif sulit bagi Macron jika kembali terpilih. Macron akan langsung menjabat tanpa masa tenggang yang dinikmati setelah kemenangan pertama. Macron juga kemungkinan akan menghadapi protes atas rencananya melanjutkan reformasi yang dinilai lebih probisnis, termasuk menaikkan usia pensiun dari 62 tahun menjadi 65 tahun.
Jika Le Pen menang, ia bakal berusaha membuat perubahan radikal pada kebijakan domestik dan internasional Perancis. Langkah itu dinilai akan menimbulkan protes jalanan. Gelombang kejut pun akan terasa di seluruh Eropa dan sekitarnya. Siapa pun yang menang, tantangan besar pertama presiden terpilih Perancis adalah memenangi pemilihan parlemen pada Juni. Kemenangan akan mengamankan suara mayoritas demi mengimplementasikan program-programnya. (AFP/REUTERS)