Bersolek Jadi Modern, Jeddah Gusur Permukiman Padat
Pangeran Mohammad bin Salman memimpikan Arab Saudi yang modern. Dalam pandangannya, itu berarti Saudi yang berisi gedung-gedung megah.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Modernisasi Arab Saudi terus berlanjut. Putra Mahkota Mohammad bin Salman menetapkan visi Saudi 2030. Ia mendambakan negara yang bisa mandiri dengan berbagai potensi di luar jual beli minyak. Arab Saudi hendak menguatkan sektor pariwisata dan investasi bisnis. Wilayah prioritas untuk dipermak menjadi magnet wisatawan dan penanam modal ini adalah Jeddah.
Kota Jeddah tidak seperti kota-kota besar lain di Timur Tengah, misalnya Abu Dhabi, Dubai, dan Doha. Kota kedua terbesar di Arab Saudi ini dikenal sebagai gerbang menuju Mekkah. Selain sebagai salah satu pusat bisnis, Jeddah juga memiliki berbagai kawasan tua yang dianggap menarik dengan caranya sendiri.
Akan tetapi, wilayah-wilayah tua atau yang dikenal dengan istilah ashwa’iyat ini dianggap sebagai kampung kumuh dan tidak sesuai dengan visi Saudi 2030 yang modern dan mentereng. Oleh sebab itu, Pangeran MBS pada bulan Oktober 2021 mengucurkan dana sebesar 20 miliar dollar Amerika Serikat untuk mempercantik Jeddah.
Caranya bukan dengan membenahi sarana dan prasarana yang sudah ada, melainkan dengan menggusur 30 ashwa’iyat ini. Menurut rencana, di lahan gusuran itu akan dibangun stadion olahraga, gedung opera, dan taman wisata maritim untuk menunjukkan kekayaan bahari Jeddah.
Wilayah yang akan diratakan dengan tanah ini antara lain Ghulail, Pertomin, Kandara, Qurayat, dan Nuzla Yamaniya. Setiap wilayah memiliki penduduk sebanyak 10.000-50.000 jiwa. ”Saya masih memiliki cicilan hipotek hingga 15 tahun ke depan,” kata seorang dokter yang tidak mau disebut namanya.
Dokter itu dan keluarganya terpaksa mengubur mimpi memiliki rumah sendiri. Sekarang, mereka harus mengontrak apartemen seharga 400 dollar AS (sekitar Rp 5,7 juta) per bulan. Ia belum mengetahui tanggapan bank atas rumah yang sudah dibuldoser itu.
Dilansir dari kantor berita Middle East Eye, tidak semua warga yang digusur bisa cepat menemukan tempat tinggal baru. Sejumlah warga ada yang membawa harta benda mereka dan bertahan di bawah jembatan ataupun trotoar. Ada di antara mereka yang terlalu miskin untuk mencari rumah atau apartemen baru.
Survei lembaga swadaya masyarakat ALQST menemukan, sebagian besar masyarakat di 30 ashwa’iyat itu tahu mereka akan digusur. Sisanya mengaku tidak ada pemberitahuan. Permasalahan berikutnya ialah tidak ada kejelasan mengenai nasib warga. Informasi mengenai adanya uang ganti rugi tidak beredar di kalangan warga. Ini membuat warga khawatir mereka tidak akan memperoleh tempat tinggal yang layak.
Pangeran MBS mengatakan, di lahan gusuran itu juga akan dibangun 17.000 unit perumahan. Lokasi ashwa’iyat ini berada di selatan dan timur Balad, kota tua Jeddah yang masuk dalam daftar warisan budaya dunia Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan , dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Akan tetapi, warga yakin hunian baru ini akan mewah dan mahal sehingga tidak bisa dijangkau oleh rakyat jelata.
”Saya hanya diberi waktu 24 jam untuk mengosongkan rumah. Setelah itu, tidak ada informasi jika kami akan diberi ganti rugi atau tempat tinggal baru,” kata Khulud al-Harthi, warga Ghulail, kepada media Qantara.
Bahkan, ada warga yang mengaku tidak diberi kabar apa pun. Tahu-tahu aparat keamanan mendatangi rumah mereka dan mengusir penghuninya. Terdapat pula warga yang diintimidasi dan tiba-tiba diputus saluran listrik dan air agar segera pergi dari rumah.
Media sosial Facebook, Tiktok, dan Instagram mulai dibanjiri foto dan video penggusuran yang diambil oleh warga melalui telepon genggam. Tagar hadad_jeddah yang berarti penggusuran Jeddah menjadi populer di dunia maya.
Arsitek Atef Alshehri ketika diwawancara Qantara mengungkapkan bahwa ia tidak setuju dengan istilah ashwa’iyat. Wilayah itu memang padat, tetapi tidak kumuh. Justru, ini wilayah yang berkembang secara organik sejak Arab Saudi belum menemukan sumur minyak pada tahun 1938.
Seiring dengan industrialisasi minyak pada tahun 1947, mulai banyak pekerja asing berdatangan ke Jeddah. Mereka tinggal di kampung-kampung yang kemudian berkembang menjadi ashwa’iyat ini. Semakin menuju abad ke-19 dan abad ke-20, banyak pekerja dari negara-negara lain di Asia dan Afrika juga membeli rumah di wilayah tersebut.
”Ini adalah kantong-kantong tempat pertemuan berbagai budaya dan suku bangsa terjadi. Sejarah perkembangan ashwa’iyat ini adalah sejarah Jeddah. Justru inilah keunikan dan kekayaan budaya Jeddah serta Arab Saudi secara umum,” papar Alshehri.
Alshehri mengakui bahwa ashwa’iyat tidak lepas dari permasalahan sosial. Tindak kejahatan cukup tinggi di permukiman padat. Ia juga mendukung visi Saudi yang modern tahun 2030. Akan tetapi, definisi modern tidak hanya berarti gedung-gedung megah yang steril dan generik seperti yang terjadi di Uni Emirat Arab dan Singapura.
”Kita harus membenahi isu sosial seperti kesejahteraan masyarakat. Modernisasi juga bisa melalui merawat dan melestarikan kekayaan budaya serta keunikan yang ada di suatu tempat dan menjadikannya aset untuk menarik pihak luar agar datang ke Jeddah,” katanya. (AFP)