Inflasi Bakal Lebih Tinggi Lagi akibat Perang Rusia-Ukraina
Perang telah menyebabkan kenaikan tajam harga energi dan pangan. Perang di Ukraina juga merusak ekspektasi redanya inflasi tinggi selama beberapa dekade.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
AP/ALEXEI ALEXANDROV
Warga berjalan melalui sebuah tank yang rusak akibat pertempuran antara kelompok separatis yang didukung militer Rusia dan militer Ukraina di Mauripol, Ukraina, Selasa (19/4/2022). Mokswa dilaporkan tengah berupaya keras mengambil alih Mauripol.
WASHINGTON, SELASA — Kepala ekonom baru Dana Moneter Internasional (IMF), Pierre-Olivier Gourinchas, khawatir dengan sinyal bahwa tingkat inflasi bakal terus naik dan bertahan di level yang relatif tinggi. Ini terjadi terutama akibat perang Rusia-Ukraina yang hingga saat ini belum terlihat ujung penyelesaiannya. Gourinchas mengingatkan, inflasi tinggi mendorong pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di negara-negara maju.
Gourinchas menjadi penasihat ekonomi IMF pada Januari tahun ini. Dalam wawancara khusus dengan Reuters di Washington, Selasa (19/4/2022), ia menyatakan, perang di Ukraina bisa merusak ekspektasi redanya inflasi tinggi selama beberapa dekade. Perang menyebabkan kenaikan tajam harga energi dan pangan. Pasar tenaga kerja yang sangat ketat di Amerika Serikat (AS) menyebabkan tuntutan kenaikan upah untuk mengejar harga yang lebih tinggi.
Akibatnya, harga akan terus naik karena terdorong ekspektasi antara konsumen dan produsen. Dalam istilah ekonomi, itu disebut spiral harga upah. ”Maka, pasti ada risiko kita mengalami spiral harga upah,” kata Gourinchas. ”Ada risiko pula ketika kita hidup dalam periode inflasi tinggi, lalu kita tahu inflasi naik dari 5 persen menjadi 6, 7, 8 persen, dan kita tidak segera melihat ada penurunan, orang akan mulai menilai inflasi akan terjadi lagi di masa depan. Demikian juga bisnis.”
REUTERS/KEVIN LAMARQUE/FILE PHOTO
Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell berbicara kepada wartawan setelah The Fed memangkas suku bunga dalam langkah darurat yang dirancang untuk melindungi ekonomi terbesar dunia itu dari dampak pandemi Covid-19, di Washington pada 3 Maret 2020. The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga beberapa kali mulai tahun 2022 ini.
Menurut Gourinchas, ini berita buruk bagi bank sentral AS, The Federal Reserved (The Fed), dan bank sentral negara maju lainnya. Secara umum sejumlah bank sentral berpendapat, ekspektasi inflasi di antara konsumen dan bisnis tidak akan setinggi saat ini. Belakangan sejumlah pejabat The Fed mulai resah dan secara terbuka menilai mereka mungkin hanya memiliki pilihan terbatas untuk mengelola situasi itu. Pilihan menaikkan suku bunga secara agresif terbuka untuk dilakukan pada tahun ini.
Gourinchas mengatakan, tanggapan pasar atas kenaikan inflasi terlihat lewat naiknya imbal hasil surat utang AS, US Treasury (UST). Kondisi itu menjadikan bank-bank sentral tidak punya banyak pilihan selain mengetatkan kebijakan moneternya. ”Anda harus melangkah lebih kuat untuk memastikan orang benar-benar mengantisipasi inflasi akan tetap stabil, bahkan jika sekarang inflasi naik,” katanya.
Sinyal kenaikan inflasi berisiko memberikan tekanan bagi AS dan sejumlah negara maju lainnya, terutama dalam pengupahan. ”Jika inflasi tetap tinggi selama lebih dari beberapa bulan, jika terus naik, kita mengalami peningkatan tekanan upah. Kita akan melihat ekspektasi tingginya inflasi ini lebih permanen, khususnya di tingkat perkiraan secara konsensus. Saya pikir kita akan mengalami banyak pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif ke depan.”
AFP/HECTOR RETAMAL
Seorang polisi yang mengenakan alat pelindung diri (APD) disemprot disinfektan saat penguncian di distrik Jing'an, kota Shanghai, China, 7 April 2022.
IMF, Selasa, merevisi turun prospek pertumbuhan ekonomi global hampir satu poin persentase dari proyeksi yang dirilis pada Januari. Penyebab utamanya adalah guncangan perang Rusia-Ukraina. Ekonomi global berisiko akibat penerapan aneka sanksi yang lebih ketat terhadap Rusia. IMF pun menyebut inflasi sebagai tanda bahaya yang jelas bagi banyak negara.
Gourinchas mengatakan, IMF dalam perkiraan dasarnya mengantisipasi inflasi akan memuncak pada triwulan II-2022. Selanjutnya, inflasi diperkirakan mulai menurun karena kemacetan rantai pasokan akibat pandemi Covid-19 mereda. Berakhirnya program stimulus fiskal selama pandemi akan membantu menurunkan permintaan. Ia mengingatkan pula, pengetatan kebijakan moneter AS yang lebih cepat justru memperlambat pertumbuhan AS lebih lanjut. Namun, diperkirakan tidak akan mengakibatkan terjadinya resesi. Ekonomi AS diperkirakan akan tumbuh di basis level yang kuat sebesar 3,7 persen tahun ini.
Ia menyatakan, kemungkinan besar terjadi resesi hanya jika persentase suku bunga melonjak. Selain itu, berlakunya sanksi energi terhadap Rusia akan menaikkan harga lebih lanjut disertai anjloknya harga-harga aset sehingga memicu volatilitas di pasar keuangan. ”Seberapa dekat kita (pada resesi), bukan sesuatu yang bisa kita nilai secara tepat saat ini. Garis dasar kita adalah ekonomi AS akan tumbuh pada 2022 dan 2023,” kata Gourinchas.
Gourinchas menyinggung kondisi terbaru China. Kebijakan penguncian wilayah oleh otoritas China dalam menangani pandemi Covid-19 memang mendorong perlambatan ekonomi China lebih dalam dibandingkan dengan yang diproyeksikan IMF. Namun, IMF menilai Pemerintah China tetap memiliki ruang bagi stimulus moneter dan fiskal yang lebih banyak guna melawan tren tekanan itu. (REUTERS)