Bank Dunia Kepras Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia 2022
Krisis ekonomi dunia memburuk. Setelah dihantam pandemi Covid-19, dunia menghadapi tambahan beban ekonomi sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina dan sanksi Barat kepada Rusia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
WASHINGTON, KOMPAS – Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2022, dari 4,1 persen menjadi 3,2 persen. Koreksi ini dilakukan menyusul pecahnya pertempuran Rusia dan Ukraina yang diikuti sanksi Barat terhadap Rusia yang memperberat krisis ekonomi pascapandemi Covid-19. Bank Dunia menyiapkan dana talangan sebesar 170 miliar dollar Amerika Serikat untuk membantu negara-negara yang terdampak serius krisis ekonomi ini.
Hal tersebut disampaikan oleh Presiden Bank Dunia David Malpass dalam jumpa pers di Washington, Amerika Serikat (AS), Senin (18/4/2022) waktu setempat atau Selasa (19/4/2022) Waktu Indonesia Barat. ”Dana talangan ini berlaku selama 15 bulan, yaitu sejak April 2022 hingga Juni 2023,” ujarnya.
Menurut Malpass, dalam tiga bulan ke depan, Bank Dunia berniat menghimpun dana minimal 50 miliar dollar AS. Alokasinya diprioritaskan kepada negara-negara yang menampung para pengungsi dari Ukraina. Berdasarkan perhitungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, terdapat 4,8 juta warga Ukraina yang meninggalkan tanah air mereka setelah perang yang pecah sejak 24 Februari 2022.
Selain itu, dana talangan juga dikucurkan kepada negara-negara berkembang yang perekonomiannya terdampak putusnya rantai pasok dari Rusia dan Ukraina. Contohnya ialah negara-negara di Benua Afrika dan Timur Tengah yang mengimpor gandum untuk makanan pokok dari Rusia dan Ukraina. Juga negara-negara di Asia yang mengimpor bahan baku pupuk ataupun minyak bumi dari Rusia.
”Dari segi wilayah, Eropa dan Asia Tengah merupakan kawasan yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi terbesar karena bertetangga langsung dengan Rusia dan Ukraina,” kata Malpass. Perhitungan Bank Dunia menyebutkan, kawasan ini akan mengalami kontraksi hingga 4,1 persen.
Kekhawatiran utama Malpass ialah semakin terpaparnya negara-negara miskin pada utang. Sejauh ini, 60 persen negara miskin sudah memiliki beban utang yang besar dan berisiko kesulitan melunasinya. Pada pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 pada 2021, Bank Dunia mengusulkan skema restrukturisasi utang global. Akan tetapi, praktiknya masih jauh dari ideal karena minimnya keterbukaan data utang yang dikucurkan China dan lembaga-lembaga swasta.
Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 akan bertemu di Washington pada Rabu (20/4/2022). Menteri Keuangan AS Janet Yellen berencana mengumumkan penambahan sanksi yang baru terhadap Rusia. Ia juga akan meminta negara-negara sahabat AS untuk melakukan hal serupa.
Presiden AS Joe Biden masih terus berusaha agar Rusia didepak dari G20. Hal ini meniru keputusan organisasi delapan negara terkaya dunia atau G8 yang mendepak Rusia pada 2014 akibat mencaplok Semenanjung Crimea. Sejak saat itu, G8 berubah menjadi G7.
Menanggapi aspirasi tersebut, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov seperti dikutip oleh CNN edisi Maret 2014 mengatakan bahwa hal tersebut tidak berpengaruh pada perekonomian Rusia. Alasannya, G8 merupakan organisasi nonformal dan tidak memiliki struktur keanggotaan yang jelas sehingga sebenarnya tidak ada yang bisa didepak.
Selain itu, menurut Lavrov, keputusan-keputusan ekonomi global yang berarti dirapatkan di G20. Ini adalah forum dengan skema keanggotaan yang jelas. G20 mempertemukan negara-negara kaya anggota G7, plus Rusia, dengan negara-negara berkembang. Jika Rusia dikeluarkan dari G20, baru ada kemungkinan munculnya masalah serius.
Rusia saat ini berusaha bertahan menghadapi berbagai sanksi yang dijatuhkan negara-negara G7. Sekolah Manajemen Universitas Yale di AS mengeluarkan data bahwa ada 750 perusahaan global yang hengkang dari Rusia karena tidak menyetujui invasi ke Ukraina.
Perusahaan-perusahaan ini masih menggaji karyawan mereka di Rusia, tetapi tidak diketahui tenggat pemberian gaji itu. Waralaba makanan cepat saji asal AS, McDonald’s, adalah salah satu contohnya. Mereka menutup semua gerai di Rusia dan merugi 50 juta dollar AS. Pada saat yang sama, mereka dikabarkan tetap menggaji 62.000 karyawan mereka di Rusia walaupun tidak bekerja.
Wali Kota Moskwa Sergei Sobyanin dalam blog pribadinya yang dikutip oleh Business Insider mengungkapkan, ada 200.000 warganya yang tidak memiliki pekerjaan akibat perginya perusahaan-perusahaan internasional. Oleh sebab itu, Pemerintah Kota Moskwa menyiapkan dana sebesar 41 juta dollar AS untuk menunjang kehidupan orang-orang yang kehilangan pekerjaan ini. (REUTERS/AFP)