Berkarya di negeri orang tentu tak mudah, terutama bagi perempuan diaspora dari Indonesia yang ada di industri yang selama ini dianggap "dunia laki-laki" seperti industri penerbangan dan teknologi informasi.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Bekerja dan berkarya di negeri orang tidak mudah karena banyak tantangan yang dihadapi, apalagi bagi perempuan. Terlebih lagi bagi perempuan yang bekerja di lingkup pekerjaan yang notabene dominan laki-laki seperti di bidang pengembangan teknologi dan industri penerbangan.
Belajar lebih banyak, bekerja lebih keras, dan berjejaring lebih luas menjadi kunci kesuksesan tiga perempuan diaspora Indonesia, yakni Veronica Andrews, Moorissa Tjokro, dan Ake Pangestuti dalam bekerja dan berkarya di Amerika Serikat. Ketiganya berbagi cerita dan pengalamannya selama berkiprah di AS dalam webinar terkait perayaan Hari Kartini 2022, "Transformasi Kartini Baru, Perempuan Hebat, Indonesia Semakin Bermartabat", yang diselenggarakan oleh Konsulat Jenderal RI di San Francisco, AS, Senin malam waktu San Francisco atau Selasa (19/4/2022) pagi waktu Indonesia Barat.
“Kepeloporan RA Kartini wajib diteruskan di masa sekarang sehingga semakin banyak perempuan yang berprestasi. Perempuan Indonesia banyak yang sudah ambil peran penting dalam pembangunan nasional. Kartini-kartini yang baru, tangguh, mandiri, dan profesional sudah tampil dengan karyanya di seluruh dunia,” kata Konsul Jenderal RI di San Francisco, Prasetyo Hadi, ketika membuka webinar.
Jalan menuju kesuksesan tentu tak selamanya mulus, seperti yang diceritakan Veronica. Sekitar 15 tahun yang lalu, belum banyak perempuan yang bekerja di Boeing, perusahaan multinasional yang merancang, memroduksi, dan menjual pesawat terbang, pesawat rotor, roket, dan satelit itu. Pada waktu itu, Veronica sempat mengalami perlakuan diskriminatif, seperti dipanggil oleh rekan pekerja laki-laki dengan sebutan "manis" atau dipandang sebelah mata dan tidak dilayani ketika sedang berbelanja di sebuah toko.
"Pernah ada pengalaman saya masuk ke ruang rapat yang isinya laki-laki semua. Pas masuk, salah satu dari mereka bilang 'sepertinya kamu salah masuk ruangan, manis'. Padahal saya yang memimpin rapat itu," cerita Veronica yang sejak tahun 2017 menjabat sebagai Manajer Proyek Avionic 777X Common Core System dan pernah meraih penghargaan Boeing Global Diversity Inclusion 2018 dan penghargaan Society of Asian Science and Engineers Advance Awards 2019 itu.
Setelah rapat itu, Veronica mulai “dipandang” dan dihargai oleh rekan-rekan kerja laki-laki. Seharusnya, kata Veronica, perempuan dihargai dan diperlakukan setara dan tidak dinilai dari penampilannya saja. Kini hampir tak ada lagi diskriminasi di lingkup Boeing karena semakin banyak diadakan pelatihan mengenai isu keragaman dan peluang bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya kian luas.
Tetapi memang awalnya tak mudah. Karena kondisinya susah, perempuan harus berani menghadapi tantangan, bermental positif, berani menerima risiko, dan menunjukkan pada dunia bahwa perempuan pun bisa sukses di industri penerbangan. "Harus berani mencoba dan jangan pernah takut bersaing dengan laki-laki. Kalau takut, kita bisa digencet," kata Veronica yang lulus dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, itu.
Selama 14 tahun berkarya di Boeing, Veronica telah memimpin banyak proyek bernilai miliaran dollar AS dengan anggota tim yang mayoritas laki-laki. Kini, ia menjadi Duta Keragaman dan Inklusi Keadilan Global, Duta untuk Konsumen Boeing Indonesia, Presiden Asosiasi Boeing dan Pasifik, serta Wakil Presiden dan Pendiri Asosiasi Boeing Indonesia. Sampai sejauh ini, hanya ada 87 karyawan Boeing yang berasal dari Indonesia dari 160.000 karyawan Boeing di seluruh dunia. Jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan karyawan dari Vietnam, China, Jepang, dan India.
"Saya mendorong lebih banyak orang Indonesia yang bekerja di sini, terutama perempuan. Bisa datang dari bidang apa saja, tidak harus berlatarbelakang teknik atau seorang insinyur. Kesuksesan harus diperjuangkan dengan kerja keras dan komitmen tinggi dan perempuan Indonesia juga bisa unggul di dunia ini,” kata Veronica yang datang ke Indonesia setiap tiga bulan sekali untuk mengajar dan berjejaring dengan kampus-kampus di Indonesia.
Untuk bisa berhasil di bidang apapun, Veronica mengingatkan akan pentingnya berjejaring dengan siapa saja karena akan membuka peluang kemana saja. Selain berjejaring, setiap orang juga sebaiknya memiliki mentor yang bisa membantu mengarahkan dan memberikan saran. Dari mentor itulah, seseorang bisa banyak belajar karena mereka mempunyai banyak pengalaman.
Kecerdasan buatan
Pentingnya peran mentor itu juga ditekankan Moorissa yang kini menjadi ahli pengembang kecerdasan buatan robotik di perusahaan mobil menyetir mandiri (self-driving car), Cruise LLC, di San Francisco, California. Sebelumnya, ia bekerja di perusahaan Tesla dan menjadi satu-satunya perempuan Indonesia di divisi autopilot. Di Tesla itu pula, ia ikut membantu meluncurkan fitur menyetir mandiri sepenuhnya.
“Mau tidak mau kita sekarang berada di revolusi digital. Banyak hal di hidup sehari-hari yang bergantung pada teknologi. Dalam waktu dekat, kita juga bisa jadi akan bergantung pada mobil yang bisa menyetir sendiri sebagai moda transportasi,” kata lulusan Teknik dan Sistem Industri dan Statistik di Georgia Tech (2014) serta Ilmu Data di Columbia University (2018) yang lahir dan besar di Malang, Jawa Timur, itu.
Era revolusi digital ini, menurut Moorissa, menjadi peluang besar untuk mengangkat derajat dan kesetaraan perempuan dan generasi muda, terutama di Indonesia. Dengan perkembangan teknologi informasi, terutama internet, semua orang bisa mengakses informasi dan pengetahuan apapun yang dibutuhkan. Berbekal pengetahuan itu, perempuan juga bisa mengembangkan potensi diri. Harapannya, kesenjangan gender akan bisa dipersempit.
“Tetapi ini juga tergantung pada cara orangtua membesarkan anak. Saya dulu tidak membayangkan akan bisa menjadi insinyur karena tidak ada role modeldi sekitar saya. Semua yang kuliah teknik pasti laki-laki. Di kelas pengayaan Matematika ketika sekolah dulu, saya sendirian diantara teman-teman laki-laki. Penting bagi orangtua untuk mengajarkan kesetaraan pada anaknya,” kata Moorissa yang menekankan pentingnya untuk menyenangi bidang yang ditekuni dan memiliki kebebasan mengembangkan potensi diri.
Membantu mengembangkan potensi diri bukan hanya untuk anak muda tetapi juga orang tua atau lanjut usia juga dilakukan Ketua Alzheimer Indonesia di San Francisco, Ake Pangestuti. Ake selama ini memperjuangkan kampanye global Alzheimer dengan mengadvokasi dan mengedukasi masyarakat sebagai langkah preventif dan melakukan kunjungan ke rumah-rumah orang dengan demensia.
Isu demensia ini genting karena diperkirakan pada tahun 2050 di Indonesia akan ada 4 juta orang dengan demensia. Biaya perawatannya pun mahal, sekitar Rp 12-120 juta per tahun. Oleh karena itu, butuh dukungan pemerintah untuk menangani lansia dan demensia. “Sehat di hari tua itu penting agar tetap bisa produktif. Menjaga kualitas hidup yang baik bagi generasi muda juga penting untuk mencegah demensia. Caranya, dengan hidup aktif dan berolahraga rutin setiap hari serta mengonsumsi makanan yang sehat,” ujarnya.