Dunia kehilangan momentum pemulihan karena lonjakan infeksi, inflasi, dan gangguan rantai pasok global. Diperlukan kerja sama, bukan tekanan dan paksaan, untuk mengatasi masalah itu.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Amat penting menghentikan perang Rusia-Ukraina segera. Tidak kalah penting, tetap fokus memulihkan perekonomian global serta mengendalikan inflasi. Penduduk di berbagai negara menghadapi kesulitan karena kenaikan harga pangan, energi, dan aneka kebutuhan lainnya. Kerja sama, bukan tekanan dan paksaan, dibutuhkan untuk kebaikan semua penghuni Bumi.
Pertemuan di Washington DC, Amerika Serikat, mulai Senin (18/4/2022) menyediakan kesempatan kerja sama untuk kebaikan bersama. Perwakilan berbagai negara dan organisasi internasional akan berkumpul dalam kegiatan tahunan: Pertemuan Musim Semi Bank Dunia. Di sela pertemuan itu, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral (FMCBG) G20 juga akan berunding. Pertemuan akan dikuti pula sejumlah delegasi negara yang diundang Indonesia sebagai ketua bergilir G20 periode 2022.
Presiden Bank Dunia David Malpass mengingatkan bahwa 39 dari 189 negara anggota Bank Dunia kini sedang dilanda perang. Ada jutaan orang Suriah, Afghanistan, dan Myanmar terpaksa berada di pengungsian selama bertahun-tahun. “Paling tidak satu dari lima orang Afrika dan Timur Tengah terdampak konflik,” ujarnya di Warsawa, Polandia, sebagaimana disiarkan di laman Bank Dunia.
Sebelum perang Rusia-Ukraina meletus, menurut Malpas, dunia kehilangan momentum pemulihan karena lonjakan infeksi, inflasi, dan gangguan rantai pasok global. Pendapat itu disepakati Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva. “Kita menghadapi krisis di atas krisis. Pertama, pandemi. Kehidupan dan perekonomian kita terbalik. Kedua, perang. Serangan Rusia ke Ukraina, menghancurkan perekonomian Ukraina dan dampaknya terasa di berbagai penjuru bumi,” ujar Georgieva.
Ia mengatakan, prioritas dunia saat ini adalah menghentikan perang Ukraina, melawan pandemi, serta mengatasi dampak inflasi dan utang. “Satu-satunya cara untuk mengatasi risiko-risiko ini adalah kerja sama internasional,” kata ekonom Bulgaria itu.
Menurut kajian IMF, perang Rusia-Ukraina akan memaksa perekonomian di setidaknya 143 negara tumbuh lebih sedikit dibandingkan taksiran awal. Ratusan negara itu setara 86 persen produk domestik bruto (PDB) global. Importir pangan dan energi di Asia, Afrika, dan Eropa termasuk dalam 143 negara itu.
Dalam laporan Kementerian Ekonomi Jerman bersama lima lembaga kajian negara itu disimpulkan, perekonomian Jerman batal tumbuh 4,4 persen pada 2022. Berlin hanya akan tumbuh paling banyak 2,7 persen. Dampaknya, Jerman akan kehilangan PBD setara 220 miliar euro pada 2022-2023. Kondisi itu antara lain dipicu terjadi karena keterbatasan gas.
Bruegel, lembaga kajian yang berpusat di Brussels, menaksir Uni Eropa akan membutuhkan 70 miliar euro untuk menyediakan gas tahun ini. Tahun lalu, UE hanya butuh total 12 miliar euro. Lonjakan terjadi karena pasokan dari Rusia terganggu sejak perang Rusia-Ukraina meletus.
Georgieva mengatakan, akan butuh waktu lebih lama bagi banyak negara untuk pulih seperti sebelum pandemi. Mayoritas negara berkembang akan bergulat dengan dampak ekonomi gara-gara pandemi dan perang Rusia-Ukraina. “Pemulihan akan sangat berbeda di antara (negara) kaya dan miskin,” ujarnya.
Semua di luar kondisi normal. Perang dan sanksi bisa meningkat. Galur baru (virus) Covid bisa muncul. Panen bisa gagal
Keadaan bakal sangat tidak menentu. “Semua di luar kondisi normal. Perang dan sanksi bisa meningkat. Galur baru (virus) Covid bisa muncul. Panen bisa gagal,” kata dia.
Ia menyebut, dunia sudah berusaha pulih sebelum galur Omicron datang. Kehadiran Omicron dan kemudian perang Rusia-Ukraina menghancurkan hampir semua upaya pemulihan.
Geopolitik
Georgieva resah karena upaya mengatasi berbagai masalah global terkendala fakta perpecahan ekonomi global karena pembentukan aneka blok geopolitik. Setiap blok punya standar perdagangan, sistem pembayaran, teknologi, hingga cadangan devisa.
Peneliti senior RAND, Derek Grossman, mengatakan bahwa China-India kompak memanfaatkan perang Rusia-Ukraina untuk mendorong tatanan dunia berubah dari kutub tunggal di bawah kendali AS menjadi banyak kutub. Ajakan AS dan sekutunya untuk mengucilkan Rusia tidak ditanggapi mayoritas komunitas internasional. “Banyak negara sudah repot oleh persaingan AS-China. Mereka tidak mau semakin kesulitan,” tulis peneliti lembaga yang dekat dengan Departemen Pertahanan AS itu di Foreign Affairs, 6 April 2022.
Banyak negara tidak melihat keuntungan jika berpihak pada AS dan sekutunya dalam perang Rusia-Ukraina. Selain itu, banyak negara juga tidak percaya pada AS dan sekutunya.
Ada pun Presiden Council on Foreign Relations, Richard Haass, mengingatkan bahwa di berbagai negara ada fenomena penolakan atas dominasi AS. “Orang-orang mendorong identitas nasional terhadap kekuatan yang mereka rasa mengancam secara ekonomi, budaya, atau politik,” ujarnya.
Direktur Kajian Asia Tenggara pada Lowy Institute, Benjamin Bland, mengatakan bahwa ketidakpercayaan pada kekuatan global tecermin dalam jajak pendapat lembaga itu terhadap 3.000 responden Indonesia. Orang Indonesia sama-sama tidak percaya pada AS, China, Rusia, Uni Eropa. Negara-negara itu sama-sama tercatat kerap mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. “Pesan dari Indonesia amat jelas. Mereka khawatir pada semua kekuatan besar dan sangat berkomitmen pada posisi tidak memihak yang dipertahankan sejak kemerdekaan,” tulisnya di Nikkei Asia, 15 April 2022.
Indonesia juga menyokong dunia dengan banyak kutub, bukan dunia dengan kutub AS-China semata. Sebagai negara terbesar di ASEAN dan negara berpenduduk muslim terbanyak di Bumi, temuan di Indonesia disebut Bland sebagai fenomena yang cenderung ditemui di banyak negara lain.
Diplomat senior AS, Henry Kissinger, pernah mengingatkan bahwa tatanan dunia tidak bisa dicapai bila hanya satu negara bertindak sendirian. Seluruh komponen global perlu bekerja sama mencapai keseimbangan dan mengendalikan nafsu berperang.
Seperti banyak negara lain, Indonesia menolak ajakan AS dan sekutunya menjauhi Rusia selepas perang meletus. Menurut Grossman, banyak negara tidak yakin motif Washington dan sekutunya menghukum Moskwa karena alasan moral. Sebab, AS dan sekutunya berulang kali menyerbu negara lain tanpa restu Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Apalagi, terungkap bahwa Washington mendapatkan miliaran dollar AS dari hasil berdagang senjata dan aneka komoditas di tengah perang Kiev-Moskwa.
Dalam perang Rusia-Ukraina pun, AS dan sekutunya tidak benar-benar memutus hubungan dengan Rusia. Washington dan sekutunya ternyata tetap membeli aneka komoditas bernilai miliaran dollar AS dari Moskwa.
Grossman mengingatkan, AS dan sekutunya harus senantiasa mengingat fakta-fakta itu untuk merumuskan kebijakan di masa depan. “Banyak negara tidak mau memihak dalam konflik kekuatan besar karena tidak mau mendapat pembalasan dari salah satu kekuatan itu,” kata dia. (AFP/REUTERS)