Sejarah Berulang, Macron-Le Pen Kembali Berhadapan di Putaran Kedua
Sama seperti pemilu presiden Perancis tahun 2017, Emmanuel Macron akan berhadapan dengan Marine Le Pen. Jumlah warga yang tidak memberikan suara pada pilpres tahun ini tergolong tinggi.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
PARIS, SENIN — Pemilu presiden Perancis harus melalui putaran kedua yang dijadwalkan pada 24 April. Pilpres putaran pertama pada Minggu (11/4/2022) tidak menghasilkan satu kandidat pun dengan perolehan suara mencapai 50 persen. Di putaran kedua nanti, musuh bebuyutan, Emmanuel Macron dan Marine Le Pen, akan kembali beradu.
Berdasarkan hasil penghitungan suara putaran pertama, calon petahana, Macron, mendapat 27,6 persen suara. Tempat kedua diduduki kandidat dari sayap kanan, Le Pen, dengan 23 persen suara. Kandidat sayap kiri, Jean-Luc Melenchon, gagal ke putaran kedua karena hanya memperoleh suara 22,2 persen.
Pertarungan Macron melawan Le Pen ini bagaikan sejarah berulang. Pada pilpres 2017, Macron yang berhaluan tengah juga melawan Le Pen, politisi konservatif sayap kanan yang populis. Kala itu, Macron menang telak dengan 66 persen suara. Lembaga survei Ipsos-Sopra Steria memperkirakan pada pilpres kali ini Macron bisa memperoleh 54 persen suara.
Pada pilpres Perancis 2022 putaran pertama, terdapat 26 persen pemilih terdaftar yang sengaja tidak mau memberikan suara. Ada 48,7 juta rakyat Perancis yang terdaftar layak memberi suara. Jumlah ini belum mencakup rakyat di wilayah kekuasaan Perancis, seperti di Pasifik, Karibia, dan lepas pantai Kanada.
Jumlah golput kali ini tergolong tinggi. Pada pilpres 2012, ada 28,4 persen pemilih yang golput. Adapun pada pilpres 2017 jumlah golput 22,2 persen. Padahal, pada pilpres kali ini ada 12 calon yang berlaga. Rakyat ternyata menganggap tidak memiliki kedekatan dengan mereka.
Jennings Tangly (21) kecewa karena jagoannya, Melenchon, kalah. Akan tetapi, untuk putaran kedua, ia akan memberikan suara untuk Macron. ”Kedua capres tersisa sama-sama seperti penyakit, tetapi saya tidak mau kelompok ekstrem sayap kanan berkuasa,” katanya.
Melenchon, ketika berbicara kepada pendukungnya, mengatakan agar mereka tidak memilih Le Pen. Demikian pula Anne Hidalgo, Wali Kota Paris yang menjadi calon presiden dari Partai Sosialis. ”Kita harus mempertahankan perikemanusiaan Perancis. Jangan sampai orang-orang yang tidak sesuai dengan asas bangsa kita yang memerintah,” ujarnya.
Le Pen terkenal dengan pandangan anti-imigrasi. Ia mengatakan, jika jadi presiden, semua imigran yang menganggur selama satu tahun akan dideportasi. Ia juga akan melarang pemakaian jilbab ataupun atribut keagamaan apa pun di ruang publik, termasuk keberadaan tukang jagal halal ataupun kosher.
Dalam wawancara dengan France24, Jerome Sainte-Marie, Kepala PollingVox, sebuah lembaga survei politik, menjelaskan bahwa taktik Le Pen sama dengan tahun 2017. Ia mendekati rakyat dari kalangan pekerja dengan isu-isu seputar kehidupan sehari-hari mereka.
Macron, yang pada pilpres 2022 minim kampanye, mengatakan bahwa rakyat bisa melihat kinerjanya sebagai presiden melalui pengupayaan perdamaian antara Rusia dan Ukraina. Ini menampakkan posisi Perancis yang penting di Uni Eropa, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Isu-isu ini, menurut Sainte-Marie, tidak terkoneksi dengan masyarakat Perancis karena bagi mereka yang terpenting ialah harga komoditas.
”Pendukung setia Le Pen mengutamakan isu ekonomi. Sejak pandemi Covid-19, rakyat kecil kian mengalami tekanan ekonomi dan banyak yang beralih mendukung Le Pen,” ujar Sainte-Marie.
Sementara itu, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk NATO Ivo Daalder kepada MSNBC menjelaskan bahwa masa depan NATO serta perundingan damai Rusia-Ukraina terpengaruh pilpres Perancis. Le Pen sejak awal mengatakan tidak berminat dengan NATO. Selain itu, meskipun Le Pen mengecam Presiden Rusia Vladimir Putin, partai politiknya didanai oleh Rusia. Fakta ini dikhawatirkan memengaruhi persepsinya terhadap konflik Rusia-Ukraina jika menang pilpres. (AP)