Kanada Tawarkan Kerja Sama Indo-Pasifik yang Inklusif demi Stabilitas Kawasan
Melalui kerja sama Indo-Pasifik, Kanada berharap tidak ada kekosongan dan ketidakstabilan di Indo-Pasifik. Disebutkan, Kanada mengutamakan pendekatan yang bebas, terbuka, dan inklusif untuk Indo-Pasifik.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Luar Negeri Kanada Melanie Joly berkunjung ke Indonesia untuk membicarakan kerja sama kedua negara dalam menjaga kestabilan kawasan Indo-Pasifik. Selain itu, ia juga datang untuk menunjukkan dukungan terhadap keketuaan Indonesia dalam Kelompok 20 (G20) yang beranggotakan 19 negara dengan perekonomian terbesar dunia plus Uni Eropa.
Joly berbicara dalam diskusi daring yang diadakan Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) pada Senin (11/4/2022). Sebelumnya, ia bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi.
Joly mengungkapkan bahwa Kanada memiliki agenda strategis Indo-Pasifik sendiri. Mereka melihat kawasan ini sebagai pusat perdagangan, investasi, dan rantai pasok yang penting.
Sebagai balasan, Kanada bisa membantu Indo-Pasifik dalam berbagai hal, antara lain, penguatan ekonomi, energi, dan mitigasi perubahan iklim. Bentuknya berupa perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia maupun Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Joly mengatakan, Kanada mengutamakan pendekatan yang bebas, terbuka, dan inklusif untuk Indo-Pasifik. Inklusif berarti semua pihak, termasuk kalangan minoritas di suatu kawasan maupun bangsa, akan diikutsertakan dan didengar pendapatnya.
”Ini juga untuk memperkuat ASEAN agar tidak ada kekosongan dan ketidakstabilan di Indo-Pasifik. Peristiwa penyerangan Rusia ke Ukraina memerlukan sikap tegas dari organisasi-organisasi besar dunia, seperti ASEAN, yang juga memiliki kemampuan mendorong percepatan perundingan perdamaian,” tuturnya.
Posisi Kanada di G20
Terkait dengan Konferensi Tingkat Tinggi G20, Joly mengatakan bahwa Kanada tetap pada pendirian untuk mengucilkan Rusia dari segala jenis jalur diplomasi. Kanada akan terus membantu Ukraina yang diinvasi oleh Rusia sejak 24 Februari lalu. Bantuannya berupa persenjataan, obat-obatan dan kebutuhan pokok, serta mediasi damai.
Joly kembali menekankan pernyataan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau yang tidak mau menghadiri KTT G20 di Bali, November nanti, jika Presiden Rusia Vladimir Putin datang. Joly sendiri mengutarakan tidak sudi duduk satu meja dengan Menlu Rusia Sergey Lavrov.
”Kami menyadari Indonesia sebagai Ketua G20 berada dalam posisi yang sulit karena invasi Rusia ke Ukraina ini membajak seluruh agenda global. Akan tetapi, saat ini, kita tidak bisa beraktivitas seperti biasa seolah tidak ada yang terjadi. Kanada menghormati prinsip politik luar negeri Indonesia dan di saat yang sama juga menerapkan prinsip politik kami,” tutur Joly.
Meski demikian, Joly mengatakan, Kanada bersedia mengubah pendirian apabila Ukraina dilibatkan serta di G20.
Usulan tersebut ditanggapi secara positif oleh pendiri sekaligus Ketua FPCI Dino Patti Djalal. Ia menerangkan, Indonesia sebagai Ketua G20 berhak untuk mengundang negara ataupun organisasi internasional untuk turut serta menghadiri KTT meskipun bukan sebagai peserta.
Dalam kesempatan yang lain, pakar hubungan internasional dari Universitas Binus, Dinna Prapto Hardjo, menuturkan, mengundang Ukraina bisa menjadi solusi bagi masalah polarisasi kekuatan antara negara-negara adidaya di G20. Konflik Rusia-Ukraina sarat dengan narasi antara negara adidaya. Jangan sampai hal itu menutupi kepentingan negara-negara lain.
”G20 ini forum yang mempertemukan negara maju dengan negara berkembang. Target kita semua saat ini adalah pemulihan ekonomi makro yang terganggu akibat pandemi Covid-19 dan diperparah dengan perang Rusia-Ukraina. Jangan sampai kepentingan negara berkembang tergerus narasi negara-negara adidaya,” ucapnya.
Dinna menjelaskan, mengundang Ukraina ke G20 bukan karena Indonesia didesak oleh negara-negara Barat. Justru, hal itu untuk menyelamatkan KTT G20 dan memastikannya terlaksana demi kepentingan semua anggota yang rakyatnya berhak pulih dari hantaman krisis ekonomi.
Selain itu, Indonesia sebagai penggagas gerakan nonblok juga bisa menunjukkan bahwa sikap bebas aktif bukan berarti tidak peduli. Dinna mengatakan, Indonesia bisa turut menunjukkan ke dunia bahwa krisis di Ukraina tidak hanya dibahas di satu forum, seperti G20 saja, tetapi juga dibicarakan di berbagai forum ASEAN maupun kerja sama multilateral lain yang diikuti Indonesia guna mengupayakan perdamaian di Eropa Timur.