Le Pen Jadi Ancaman bagi Macron untuk Masa Jabatan Kedua Presiden Perancis
Presiden Perancis Emmanuel Macron menghadapi pemilu yang hasilnya bisa membawanya pada masa jabatan kedua atau sebaliknya menjatuhkan Perancis ke politisi sayap kanan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
PARIS, MINGGU – Rakyat Perancis mendatangi berbagai tempat pemungutan suara untuk mencoblos dalam pemilihan umum presiden putaran pertama, Minggu (10/4/2022). Pilpres ini penting dalam persepsi Eropa untuk melihat masa depan Perancis. Apakah negara itu tetap berada pada jalur yang moderat atau akan jatuh ke tangan kelompok ekstrem kanan?
Tempat-tempat pemungutan suara (TPS) dibuka pukul 06.00 waktu setempat dan ditutup pukul 18.00. Akan tetapi, di wilayah-wilayah kekuasaan Perancis, seperti di Pasifik, Karibia, dan Pulau Saint Pierre et Miquelon di lepas pantai Kanada, pencoblosan dilakukan pada Sabtu (9/4/2022).
Apabila pada pilpres putaran pertama ini tidak ada kandidat yang memperoleh 50 persen suara, diadakan pemungutan suara putaran kedua pada 24 April. Pilpres kali ini diikuti 12 kandidat presiden. Tiga calon terkuat adalah Presiden Perancis petahana Emmanuel Macron, politisi sayap kanan Marine Le Pen, dan politisi sayap kiri Jean-Luc Menchelon. Wali Kota Paris Anne Hidalgo juga ikut mencalonkan diri sebagai perwakilan partai sosialis. Ada pula perwakilan dari partai komunis.
Sejumlah jajak pendapat, yang dipublikasikan sebelum masa kampanye berakhir, memperkirakan bahwa hasil pemungutan suara putaran pertama ini akan mempertemukan Macron dan Le Pen pada pertarungan putaran kedua. Dalam jajak pendapat-jajak pendapat itu, Macron diperkirakan akan mengungguli Le Pen di putaran pertama.
Perancis memiliki 47,8 juta rakyat yang terdaftar untuk memilih. Akan tetapi, pantauan Kementerian Dalam Negeri menunjukkan hingga tengah hari baru 25,48 persen pemilih yang datang mencoblos. Hingga pukul 15.00 atau tiga jam sebelum TPS-TPS ditutup, partisipasi pemilih tercatat 65 persen. Angka ini menurun 4,4 persen dari posisi serupa pada pemilu tahun 2017.
Para pengamat politik mengkhawatirkan akan ada peningkatan jumlah pemilih golongan putih (golput) yang menolak mencoblos. Sebelumnya, pada Pilpres 2002 sebanyak 28,4 persen pemilih golput. Ini angka golput terbesar sepanjang sejarah pemilu Perancis. Di Pilpres 2017, tren golput kembali naik menjadi 22,2 persen.
”Saya harus memilih karena baik atau buruknya hasil pemilu ditentukan oleh rakyat,” kata Annette Teheriki (57), warga Polinesia Perancis.
Isu keamanan, imigran, dan ekonomi adalah isu-isu terhangat yang dibahas selama kampanye. Melihat rekam jejak Macron selama lima tahun terakhir, jajak pendapat lembaga Ipsos-Sopra Steria memperkirakan petahana ini bisa unggul hingga 54 persen dibandingkan dengan saingan terberatnya, Marine Le Pen.
Macron mengalahkan Le Pen dengan 66 suara pada Pilpres 2017. Ketika itu, kemenangan presiden berusia 39 tahun saat dilantik itu membawa angin segar setelah di Amerika Serikat Donald Trump tampil sebagai pemenang pemilu tahun 2016. Pada tahun yang sama, Inggris mengumumkan mereka akan keluar dari Uni Eropa.
Situasi di Eropa saat ini tampak kian mengarah pada populisme. Atmosfer politik di Polandia dan Hongaria, misalnya, semakin menunjukkan persepsi sayap kanan. Di Hongaria, Victor Orban—yang memenangi pemilihan perdana menteri pekan lalu—memiliki kedekatan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Demikian pula dengan Presiden Serbia Aleksandar Vucic.
Perancis memiliki posisi penting di Uni Eropa. Selain sebagai perekonomian terbesar kedua setelah Jerman, Perancis adalah satu-satunya anggota UE yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Macron menunjukkan keaktifan Perancis di lembaga tersebut, selain juga menambah dana pertahanan dan keamanan UE.
Ia juga sangat mendukung Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Ini juga salah satu alasan Macron aktif memediasi Rusia dan Ukraina yang tengah berperang. Sebaliknya, Jean-Luc Melenchon justru mengatakan bahwa NATO lebih banyak merepotkan Perancis. Sebaiknya Perancis keluar dari aliansi tersebut, kata Melenchon.
Kepemimpinan Macron terganggu oleh unjuk rasa ”Rompi Kuning” tahun 2018. Ketika itu, harga bahan bakar minyak sudah naik 20 persen. Macron lalu membuat kebijakan menambah pajak BBM agar masyarakat beralih ke energi hijau. Hal ini dinilai arogan dan elitis oleh masyarakat kelas pekerja yang kemudian melakukan demonstrasi besar-besaran sambil memakai rompi kuning.
Namun, selama kampanye, ia menjanjikan menaikkan usia pensiun dari 62 tahun ke 65 tahun serta menaikkan pula dana pensiun. Le Pen dan Melenchon tidak menyinggung soal ini. Le Pen tetap pada agenda konservatif populis, seperti mendeportasi imigran yang selama satu tahun tidak mendapat pekerjaan dan melarang pemakaian jilbab di tempat umum. (AFP)