Jajaki Peluang untuk Redakan Perang Rusia-Ukraina
Perang Rusia-Ukraina menimbulkan dampak global. Perlu upaya keras agar perang segera berhenti. Meski sulit, G20 diharapkan jadi forum informal meredakan ketegangan akibat perang tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Selain Rusia-Ukraina, banyak negara terdampak oleh perang kedua negara itu. Semua pihak perlu terus mendorong untuk menjajaki dan memanfaatkan semua potensi penyelesaian perang tersebut. Kesediaan Kiev-Moskwa berunding perlu didukung dengan menyediakan situasi yang memungkinkan dialog berlanjut.
Isu perang di Eropa timur, yang meletus sejak serangan Rusia ke Ukraina pada 24 Februari lalu, menjadi bahasan diskusi Kompas Collaboration Forum (KCF) di Jakarta, Kamis (7/4/2022). Diskusi ini menghadirkan narasumber Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha PT Pertamina (Persero) Iman Rachman, serta peneliti senior Litbang Kompas, Bestian Nainggolan.
Seperti dialami banyak negara, Indonesia terdampak oleh perang di Ukraina. Perang ini menghambat rantai pasok komoditas global. Tekanan pada rantai pasok global ini menimbulkan gejolak harga dan mendorong laju inflasi global.
Harga komoditas di pasar dunia yang sebelumnya sudah meningkat karena kenaikan permintaan pada pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19 kembali mendapat tekanan akibat konflik geopolitik ini. Di Indonesia, rembetan problem rantai pasok dan tren kenaikan inflasi global itu mewujud pada kenaikan harga komoditas di dalam negeri, terutama pangan dan energi.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengungkapkan, Indonesia tak luput terdampak kenaikan harga komoditas yang mendorong inflasi ini. Berdasarkan kajian BKF, tingkat inflasi global tahun ini bisa berpotensi melonjak dari semula 3,8 persen menjadi 4,6 persen. Bank Indonesia memproyeksikan, inflasi di dalam negeri berada di kisaran 2 persen hingga 4 persen.
Jalan tengah di G20
Karena itu, Indonesia sangat berkepentingan dengan penghentian perang Rusia-Ukraina, terlebih terkait dengan posisi keketuaan Indonesia di G20 tahun ini. Rusia adalah salah satu negara anggota G20. AS dan sekutunya berupaya mengucilkan Rusia, termasuk di forum G20.
Sejauh ini, tersirat ada jalan tengah, yakni Rusia-Ukraina sama-sama diundang dalam rangkaian pertemuan G20. Wacana mengundang Ukraina di forum G20 pertama kali dilontarkan Presiden AS Joe Biden.
Pengajar Ilmu Hubungan Internasional pada Universitas Gadjah Mada, Muhadi Sugiono, mengingatkan bahwa penyelesaian perang Rusia-Ukraina adalah tanggung jawab Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. ”G20 tidak bisa menyelesaikan masalah itu,” ujarnya, Minggu, di Yogyakarta.
Karena itu, ia tidak sepakat dengan permintaan Presiden AS Joe Biden agar Indonesia mengundang Ukraina di rangkaian agenda G20. Biden meminta itu jika Rusia tetap diundang. ”Tidak ada alasan mengundang Ukraina,” katanya.
Baca juga: Dianalogikan ”Kolesterol”, PBB Perlu Direformasi
Meski demikian, G20 bisa menjadi forum informal menyelesaikan permusuhan Rusia dengan AS dan sekutunya. Permusuhan itu telah memicu sejumlah perang, seperti di Yugoslavia, beberapa dekade lalu.
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi dilaporkan telah berkomunikasi dengan Menlu AS Antony Blinken soal sikap AS atas kehadiran Rusia di G20. Blinken memastikan, AS bisa menerima kondisi itu. Sejumlah diplomat Indonesia menyebut, sikap Biden menunjukkan AS bersedia berkompromi soal penyelenggaraan G20 pada masa keketuaan Indonesia.
Indonesia masih terus melobi AS dan sekutunya yang hingga kini secara terbuka menolak hadir di G20 jika Rusia datang. Terakhir, Menteri Keuangan AS Janet Yellen, pekan lalu, menyampaikan bahwa AS akan memboikot beberapa pertemuan G20 jika perwakilan Pemerintah Rusia hadir. Pada 20 April mendatang akan digelar pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral di Washington DC, AS.
Sejumlah diplomat senior Indonesia diutus ke Washington DC untuk melobi anggota G20 menjelang pertemuan tersebut. Selain dari Kemenlu, lobi juga dilakukan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Baca juga: Polarisasi G20 Masih Tajam, Risalah Rapat Jadi Skenario Realistis
Retno juga telah berkomunikasi dengan sejawatnya di G20. Sebagian ditemui langsung, sebagian dihubungi melalui telepon. Ia antara menemui Menlu Arab Saudi Faisal bin Farhan, Menlu Meksiko Marcelo Erbrad, dan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell di Doha, Qatar. Sementara Menlu China Wang Yi, Menlu Rusia Sergey Lavrov, dan Wakil Menlu Ukraina Emine Dzhaparova ditemui di China. Selain Dzhaparova, semua yang ditemui Retno merupakan pejabat anggota G20.
Koordinator Agenda Pelaksanaan Keketuaan Indonesia, Dian Triansyah Djani, menyatakan, Indonesia akan melibatkan semua anggota 20 di semua rangkaian kegiatan forum itu, termasuk pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral di Washington DC, April ini. ”Kami, Indonesia, sebagai Presiden G20 akan bertindak imparsial dan berupaya mencari solusi terhadap semua persoalan. Hal ini telah dan selalu dilakukan pada masa keketuaan RI di sejumlah forum dan lembaga,” ujarnya.
Sikap imparsial itu, antara lain, diterjemahkan dengan mengundang semua anggota G20 dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral di Washington DC. Triansyah menyebutkan, kegiatan di ibu kota AS itu sudah lama dijadwalkan.
Dampak
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, Indonesia salah satu yang terimbas perang Rusia-Ukraina. Imbasnya terlihat pada perekonomian nasional dan upaya Indonesia menyukseskan keketuaannya di G20.
Karena itu, Indonesia amat berkepentingan dengan penghentian perang Rusia-Ukraina. Meski volume perdagangan langsung Indonesia dengan keduanya rendah, Indonesia tetap terdampak oleh hambatan pasokan global yang terimbas perang itu.
Status dua negara yang sedang berperang tersebut sebagai pemasok utama aneka komoditas energi, pangan, dan mineral, hambatan pasokan dari Rusia-Ukraina membuat harga aneka hal naik. Sejumlah negara maju mencatat inflasi di atas 5 persen. Berbagai negara maju itu lazimnya terus mencatat inflasi di bawah 1 persen selama puluhan tahun.
Direktur Penghubung PBB pada International Crisis Group Richard Gowan menyebut bahwa Asia-Afrika paling terdampak kenaikan aneka harga komoditas. Protes mereka kepada AS dan sekutunya diwujudkan, antara lain, dengan penurunan dukungan resolusi Majelis Umum PBB soal Rusia. Dalam tiga kali sidang MU PBB soal Rusia sejak perang meletus, jumlah pendukung resolusi terus merosot.
Sidang MU PBB pada Kamis (7/4/2022) pagi waktu New York atau Kamis malam WIB itu dihadiri perwakilan 175 negara. Hanya 93 negara, yang dihuni 2,4 miliar dari 7,9 miliar penduduk Bumi, setuju menyokong resolusi itu. Sebanyak 24 negara berpenduduk total 2,19 miliar jiwa menolak resolusi itu. Sementara 58 negara berpenduduk total 3,21 miliar jiwa memilih abstain.
Gowan menyebut, sejumlah negara khawatir manuver Barat kepada Rusia akan diterapkan ke negara lain. Sejumlah negara juga dipaksa menanggung dampak sanksi AS dan sekutunya kepada Rusia. Kini, harga aneka komoditas sudah melonjak dan mengancam kestabilan di beberapa negara.
Baca juga: Perang Sebulan, Harga Pangan Meroket 12 Persen
Sejumlah diplomat senior Asia membenarkan dugaan Gowan. Diplomat yang menolak identitasnya diungkap itu menyatakan, jika perlakuan sepihak terhadap Rusia dibiarkan, hanya soal waktu negara-negara lain diperlakukan seperti itu juga. Selain itu, semakin banyak negara tidak merasa kepentingan nasionalnya tercapai dengan mengikuti manuver Barat.
Perundingan
Di Kiev, sembari tetap meminta kiriman senjata, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy kembali menegaskan siap mendorong perdamaian. Ia memahami sejumlah pihak sulit menerima perundingan Kiev-Moskwa. ”Walakin, jangan sampai kesempatan jika memang ada pada solusi diplomatik. Kita harus berjuang untuk hidup. Tidak boleh berjuang hanya berujung jadi abu di mana tidak ada lagi yang tersisa. Perang ini harus berhenti,” katanya, Minggu (10/4/2022).
Berbagai putaran perundingan Rusia-Ukraina terus berlangsung melalui berbagai kanal. Selain pertemuan langsung di Belarus dan Turki, perwakilan Kiev-Moskwa juga berkomunikasi melalui telekonferensi video.
Duet negara terkaya Uni Eropa, Jerman dan Perancis, juga terus mendorong penghentian perang. Presiden Perancis Emmanuel Macron berkali-kali menelepon Presiden Rusia Vladimir Putin.
Sementara Berlin, meski dicurigai lebih berlandaskan kepentingan nasionalnya, terus menolak upaya peningkatan sanksi kepada Moskwa. Bersama Hongaria, Jerman paling kencang menolak larangan impor energi Rusia. Setiap tahun, Eropa memberikan rata-rata 90 miliar euro ke Rusia untuk membayar impor minyak, gas, dan batubara saja. Pekan lalu, Uni Eropa mengusulkan larangan impor batubara. Tidak ada pembahasan soal gas.
Josep Borrel secara terbuka mengkritik keputusan UE tetap mengimpor energi dari Rusia. UE telah mengeluarkan 35 miliar euro untuk membayar impor energi dari hanya dalam 2 bulan terakhir saja. Sebaliknya, Brussels baru mengucurkan 1 miliar dollar AS untuk membantu Ukraina.
Sementara Menteri Pertahanan Jerman Christine Lambrecht mengisyaratkan Berlin akan berhenti memasok persenjataan Ukraina. Kepada media Jerman, Augsburger Allgemeine, ia mengatakan bahwa cadangan persenjataan tentara Jerman atau Bundeswehr sudah tidak bisa dibagikan lagi ke Ukraina.
Baca juga: Indonesia Abstain dalam Voting Pembekuan Rusia dari Dewan HAM PBB
Sebelumnya, Kanselir Jerman Olaf Scholz dilaporkan menghambat upaya pengiriman 100 tank Jerman ke Rusia. Manuver Scholz dan pernyataan Lambrecht melambatkan pasokan senjata Jerman ke Ukraina. Sebelum perang meletus pada 24 Februari 2022, Berlin terus menolak memberi senjata ke Kiev.
Setelah perang meletus, bersama sejumlah negara Eropa, Jerman-Perancis melarang warganya terlibat perang Ukraina. Sejumlah negara Eropa memutuskan akan tetap memberlakukan hukuman bagi warganya yang ke Ukraina dan berperang di sana. Keputusan itu membendung laju milisi asing ke Ukraina.
Sejumlah diplomat senior Asia menyebut, pasokan senjata dan milisi asing ke Ukraina dalam situasi dilematis. Di satu sisi, pasokan itu dibutuhkan untuk mencegah pasukan Rusia terus melaju tanpa perlawan. Di sisi lain, pasokan itu membuat perang semakin berkobar. ”Sulit berunding kalau baku tembak terus berlanjut,” kata diplomat yang enggan identitasnya diungkap itu. (AFP/AP/REUTERS)