PBB dan khususnya peran Dewan Keamanan PBB dianggap tidak mewakili dunia. Badan itu dinilai gagal mencegah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, dan sebelumnya Amerika Serikat ke Irak pada 2003.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·5 menit baca
Dibentuk untuk mengakomodasi beragam upaya damai, perjuangan keadilan dan keadilan, serta ketertiban dan kesejahteraan dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terus bergulat untuk mewujudkannya. Perang Rusia-Ukraina mencuatkan kembali desakan tentang perlunya reformasi PBB khususnya peran Dewan Keamanan atau DK PBB yang dianggap tidak mewakili dunia saat-saat ini.
Terbaru, PBB juga dinilai gagal mencegah invasi Rusia ke Ukraina yang mulai dilakukan pada 24 Februari 2022. Situasi ketidakadilan dan ketidaksetaraan sebagai dampak veto dan dominasi atau hegemoni negara-negara besar membuat PBB disinyalir kurang mampu 'leluasa' bergerak dan bertindak.
Tak heran bila di tengah-tengah gempuran hebar Rusia, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dengan tegas mempertanyakan keberadaan lembaga itu. Apakah Anda siap untuk menutup PBB dan mengabaikan hukum internasional? Pertanyaan bernada gugatan itu disampaikannya agar PBB mengeluarkan Rusia dari DK PBB. "Jika jawaban Anda tidak, maka Anda harus segera bertindak," kata Zelenskyy.
DK PBB sebagaimana publik ketahui gagal mencegah invasi brutal Rusia ke negara Ukraina. Zelenkyy Dia pun mengatakan dalam pidato terpisah kepada anggota parlemen Jepang, "Kita harus mengembangkan sarana baru yang mampu melakukannya," kata Zelenskyy merujuk pada PBB.
Dibuat atau dibentuk pada tahun 1945 dengan visi untuk menjamin perdamaian dunia dan mencegah Perang Dunia III, PBB memberikan kekuasaan yang tidak proporsional kepada lima anggota tetap DK PBB. Lima anggota DK PBB itu memiliki hak veto. Mereka adalah Amerika Serikat (AS), Rusia, China, Inggris, dan Perancis. Hal itu memungkinkan mereka untuk melindungi kepentingan mereka sendiri atau sekutu mereka sambil tetap berperan penting dalam urusan dunia.
Dengan hak itu, sejak 2011, Moskwa misalnya telah menggunakan hak veto di DK PBB sekitar 15 kali dalam pemungutan suara mengenai Suriah yang adalah sekutunya. Melalui hak veto juga, Mokswa dijamin tidak akan pernah bisa disingkirkan dari DK PBB. Sebab Pasal 6 Piagam PBB mengizinkan Majelis Umum PBB untuk mengecualikan satu anggotanya saja atas rekomendasi DK PBB. Invasi AS dan Inggris terhadap Irak pada tahun 2003 juga digelar tanpa persetujuan PBB. Tidak ada konsekuensi apapun terhadap dua negara itu di posisi kursi keanggotaan permanen mereka di DK PBB.
Di luar soal hak veto, posisi DK PBB juga dipertanyakan soal kurangnya keseimbangan dari sisi asal keanggotaannya secara internasional. Tidak ada negara Afrika atau Amerika Latin yang memegang kursi keanggotaan permanen. Hal itu memberikan DK PBB semacam “fasilitas” monopoli untuk sejumlah isu pada Washington, London dan Paris.
Seorang sumber - dari kalangan duta besar 10 anggota tidak tetap DK PBB - mengungkapkan, pembagian peran di antara 15 anggota DK PBB tidak merata. Anggota tidak tetap DK PBB yang dipilih untuk masa jabatan dua tahun, katanya, lebih banyak diberi dan dibebani urusan-urusan birokratis.
"Kami tidak berpikir itu sebagai pembagian kerja yang adil," kata sumber itu.
DK PBB telah dikecam secara luas karena 'kelumpuhannya' saat ini dan sifat kelumpuhannya yang berulang. Bahkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyesalkan kegagalannya untuk membendung invasi Rusia ke Ukraina.
"Ada masalah yang cukup mendasar di sana," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken tentang PBB. Pernyataan itu dikatakannya sehari setelah seruan Zelensky agar Rusia diusir berakhir sia-sia.
"Kolesterol"
Bertrand Badie, seorang spesialis hubungan internasional yang berbasis di Paris, menganalogikan PBB layaknya kolesterol dalam tubuh manusia. "Ada yang baik," terutama dalam bantuan kemanusiaan yang diberikan PBB yang menyelamatkan jutaaa nyawa di seluruh dunia. Namun "ada yang buruk” juga, misalnya merujuk pada keberadaan dan fungsi DK PBB.
Sang sumber dari kalangan duta besar anggota DK PBB mengakui munculnya kritikan keras atas dewan itu. Ia menambahkan, "Di mana kita akan berada jika kita tidak memilikinya?". Namun sejauh ini terlihat tidak ada upaya apapun oleh PBB merespon kritikan itu. Sebagian besar proposal reformasi PBB memang menyerukan perluasan DK PBB. Hal itu dilakukan dengan cara menambahkan anggota tetap dan tidak tetap.
“Namun posisinya sangat terpolarisasi," kata sumber itu, mengenai negara mana yang mungkin ditambahkan dan mana yang akan menikmati hak veto. "Veto harus sedikit lebih disiplin," kata diplomat itu, seraya menambahkan bahwa intinya tidak boleh "menghalangi kemajuan" tapi juga dapat "memaksa lima anggota tetap untuk duduk dan mencapai solusi yang dapat diterima semua orang”.
Pada pertemuan informal tentang reformasi PBB yang mencakup lima anggota tetap DK PBB yang digelar pada Jumat (8/4/2022) pekan lalu, masalah veto DK PBB itu kembali diangkat. Muncul sejumlah usulan diajukan. Misalnya adalah proposal Perancis-Meksiko untuk membatasi penggunaan veto DK PBB dalam kasus-kasus "kejahatan massal". Muncul saran dari Liechtenstein yang mengharuskan negara mana pun yang memberikan hak veto untuk menjelaskannya di hadapan Majelis Umum.
Sehari sebelum pertemuan informal itu digelar, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, mengatakan bahwa "seluruh arsitektur perdamaian dan keamanan PBB perlu dirombak." Afrika Selatan adalah negara yang berharap suatu hari nanti dapat bergabung dalam keanggotaan tetap DK PBB. Dewan itu, kata Ramaphosa, perlu "didemokratisasi" untuk memungkinkan badan dunia "bergerak melampaui kelumpuhan yang disebabkan oleh beberapa negara anggota."
Ada beberapa calon anggota tetap DK PBB potensial lainnya di luar Afrika Selatan. Termasuk di antara mereka adalah “pemain utama” di dunia. Sebut saja India, Jepang, Brasil dan Jerman. Namun sebelum sampai ke sana, sejumlah ahli menyatakan peluang reformasi di PBB akan tetap tipis selama anggota-anggota DK PBB yang ada tetap menolak untuk menerima pengurangan kekuasaan mereka. (AFP)