Perang di Ukraina akibat invasi Rusia, memosisikan TikTok, platform video digital anyar, sebagai urutan teratas sumber informasi yang salah. Penyaringan konten yang minim menjadi penyebabnya.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Shayan Sardarizadeh, jurnalis anggota tim disinformasi kantor berita Inggris, BBC, menelusuri ratusan konten video yang diduga menyesatkan dan tersebar di platform TikTok. Tidak sekadar informasi yang salah dan menyesatkan, Sardarizadeh menilai, ada konten yang merupakan halusinasi, ciptaan, atau rekaan semata tentang perang di Ukraina.
“Saya belum pernah melihat platform lain dengan begitu banyak konten palsu,” katanya.
Menurut Sardarizadeh , dia dan timnya telah melihat berbagai video yang diklaim berasal dari medan konflik di Ukraina yang ada di TikTok. Akan tetapi, sejatinya, Sardarizadeh menemukan video-video yang beredar di platform itu adalah video daur ulang dari konflik masa lalu. Ada pula rekaman asli dari lapangan yang disajikan dengan cara-cara yang menyesatkan.
“Hal-hal itu jelas-jelas salah, tetapi video itu tetap dilihat puluhan juta kali,” ujar Sardarizadeh.
Temuan yang paling mengganggu dirinya dan tim adalah streaming atau siaran langsung palsu. Seorang pemilik akun atau pengguna TikTok berpura-pura berada di medan pertempuran untuk meminta donasi atau bantuan dana “proyek liputan” mereka. Namun, sejatinya mereka menggunakan latar belakang atau rekaman dari konflik yang terjadi di wilayah lain. Bahkan, mereka menemukan para live streamer ini menggunakan latar belakang yang mereka ambil dari gim video.
“Jutaan orang mendengarkan dan menonton. Bahkan, mereka menambahkan suara tembakan dan ledakan palsu,” katanya.
Anastasiya Zhyrmont, analis dari kelompok advokasi Access Now, menilai, perang informasi dan propaganda dari para pihak bertikai telah terjadi sejak 2014, ketika Rusia mencaplok Crimea. Informasi palsu dan propaganda, menurut dia, telah disebar melalui platform TikTok sejak sebelum invasi terjadi, 24 Februari lalu.
Mereka telah berjanji untuk menggandakan upaya dan bermitra dengan pemeriksa konten. Akan tetapi, saya tidak yakin mereka menganggap serius kewajiban ini.(Anastasiya Zhyrmont)
TikTok, yang dikembangkan oleh perusahaan teknologi digital China, ByteDance, dinilai tidak serius untuk menjaga konten-konten yang diunggah di platform mereka dari informasi yang salah. "Mereka telah berjanji untuk menggandakan upaya dan bermitra dengan pemeriksa konten. Akan tetapi, saya tidak yakin mereka menganggap serius kewajiban ini," tambah Zhyrmont.
Zhyrmont mengatakan, masalahnya mungkin terletak pada kurangnya moderator konten berbahasa Ukraina sehingga lebih sulit bagi TikTok untuk menemukan informasi palsu.
Ringan dan sederhana
Ada yang mengatakan, sifat dasar TikTok sebenarnya membuat segala sesuatu mudah dimengerti melalui bahasa yang dituturkan via video. TikTok dikenal sebagai platform yang menyediakan video-video unik, ringan, dan segar. Akan tetapi, ada juga yang menilai, video yang seharusnya digarap dengan ringan malah menjadi bermasalah ketika substansi materinya tentang mata pelajaran tertentu. Hasilnya, video yang diunggah menjadi lebih serius dibanding sandiwara lucu atau rutinitas harian yang banyak diunggah di platform ini.
Chine Labbe, analis NewsGuard, yang melacak misinformasi di dunia maya atau daring, mengatakan, cara seseorang mengonsumsi informasi di TikTiok sangat cepat. Bahkan, sebenarnya tidak perlu konteks untuk menjelaskan sesuatu hal, dalam konten apa pun.
Labbe dan NewsGuard mencoba menjalankan sebuah eksperimen untuk melihat berapa waktu yang dibutuhkan pengguna baru untuk mulai menerima (dalam pikirannya) informasi palsu jika mereka secara terus menerus menonton video tentang perang. Hasilnya, tidak butuh waktu lama. Hanya 40 menit.
Labbe mengatakan, temuan ini menambah bukti kurangnya aktivitas labelisasi dan moderasi konten yang efektif dari pengembang TikTok. Meski dinilai mampu membuat seseorang bertahan lama menggunakan aplikasi, tanpa moderasi konten yang apik dalam situasi konflik yang penuh propaganda, platform ini berubah menjadi ladang subur untuk penyebaran informasi yang salah.
Temuan itu juga menekankan bahwa pengguna yang disasar sebagai target informasi palsu berusia 19 tahun atau lebih muda dan berdomisili di AS. “Bagi orang dewasa, cukup sulit untuk menguraikan propaganda ini. Sementara bagi pengguna muda, yang terus disuapi dengan semua informasi palsu, ini hal yang meresahkan,” kata Labbe.
Semua yang diwawancarai menekankan bahwa informasi yang salah merajalela di semua media sosial. Namun, dibanding Facebook yang memiliki Oversight Committee, atau Instagram dan Twitter yang punya “pasukan” untuk memerangi informasi palsu, TikTok dinilai tak memiliki kekuatan dan kemauan yang cukup. Menurut Sardarizadeh, pengembang Twitter dan Instagram melibatkan komunitas dan mengembangkannya untuk membantu mereka memerangi informasi palsu.
TikTok menyadari masalahnya. Dalam unggahan di blog mereka, pengembang TikTok menyatakan, mereka menggunakan kombinasi teknologi dan manusia untuk melindung platform tersebut. Mereka juga menyatakan telah bermitra dengan pemeriksa fakta independen untuk memberikan lebih banyak konteks dalam video-video yang diunggah pada platform itu.
“TikTok memang memulai melakukan pengecekan fakta dan mendidik orang-orangnya. Tetapi dibandingkan dengan ratusan orang di Twitter, TikTok baru berjumlah beberapa lusin orang,” katanya. (AFP)