Sri Lanka di Ambang Kolaps, Rajapaksa Menolak Mundur
Krisis ekonomi politik di Sri Lanka kian memburuk. Situas ini dikhawatirkan berujung pada kolapsnya negara. Walau begitu, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa menolak mundur.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD, PASCAL S BIN SAJU
·3 menit baca
KOLOMBO, RABU – Rakyat Sri Lanka yang gerah dengan situasi politik dan ekonomi negara menuntut perubahan. Namun Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa bergeming. Dia menolak mundur sekali pun banyak pihak mengingatkan bahwa jika krisis politik tidak segera berakhir, situasi akan semakin memburuk.
Rajapaksa menolak seruan agar dia mengundurkan diri setelah sejumlah menteri yang merupakan bagian dari partai koalisinya mundur. ”Dia tidak akan mengundurkan diri. Kami akan menghadapi ini. Kami memiliki kekuatan untuk menghadapi ini. Kami tidak takut,” kata Johnston Fernando, menteri yang menangani soal pembangunan jalan raya pada kabinet Rajapaksa, Rabu (6/4/2022).
Juru bicara parlemen, Mahinda Yapa Abeywardana, mengatakan, krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa waktu berisiko menyebabkan kelaparan di seluruh negara kepulauan yang berpenduduk lebih kurang 22 juta jiwa itu. Pada saat yang sama, terjadi kelangkaan pasokan bahan bakar, inflasi yang meroket mencapai rekor, dan pemadaman listrik, yang menyengsarakan rakyat.
”Kami diberi tahu, ini adalah krisis terburuk. Akan tetapi, saya pikir, ini baru permulaan. Kekurangan makanan, gas, dan listrik akan semakin parah. Akan terjadi kekurangan pangan dan kelaparan yang sangat akut,” kata Abeywardana.
Sistem kesehatan Sri Lanka juga terancam kolaps. Asosiasi Petugas Medis Pemerintah (GMOA), yang mewakili lebih dari 16.000 dokter dari seluruh negeri, menyatakan ada kekurangan obat-obatan yang akut, termasuk obat-obatan yang bisa menyelamatkan jiwa pasien kritis.
Jika situasi ini dibiarkan terus terjadi, GMOA khawatir sistem kesehatan di seluruh negeri akan runtuh. Padahal, pandemi masih berlangsung. ”Ini akan menciptakan situasi yang mengancam jiwa warga kita yang sudah menghadapi situasi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata GMOA dalam sebuah pernyataan.
Demonstrasi di Colombo, ibu kota Sri Lanka, telah menyebar ke sejumlah pelosok negeri pada Minggu malam. Sampai Selasa (5/4/2022), gelombang unjuk rasa masih berlangsung di sejumlah tempat dengan penjagaan ketat aparat.
Ribuan pria dan wanita muda, kebanyakan berpakaian hitam, melakukan demonstrasi damai di Colombo, Senin kemarin. Mereka membawa poster dan plakat dengan tulisan tangan. ”Turunkan (klan) Rajapaksa,” bunyi sebuah plakat. Plakat lain lainnya berbunyi, ”Kembalikan dana yang dicuri dari republik”.
”Gota gila, pergi Gota,” teriak massa di tempat lain di kota itu, merujuk pada Presiden Gotabaya Rajapaksa, yang memberlakukan keadaan darurat pekan lalu. Kebijakan itu diterapkan sehari setelah massa berusaha menyerbu kediamannya.
Sri Lanka berkali-kali mengalami krisis ekonomi. Namun, krisis kali ini merupakan yang terburuk dalam tujuh dekade terakhir. Selama berbulan-bulan negara itu mengalami krisis listrik dan bahan bakar serta kekurangan pangan dan obat-obatan.
Salah satu instrumen pemerintah untuk mengatasinya adalah fiskal. Namun, pengunduran diri Ali Sabry, Menteri Keuangan yang baru menjabat satu hari, membuat buyar segalanya. Padahal, Sabry dan tim ekonomi akan bertemu dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada beberapa hari mendatang untuk mendiskusikan paket perbaikan ekonomi, termasuk program pinjaman baru.
Situasi di Sri Lanka saat ini terus dimonitor Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang sebelumnya sudah mendapat kecaman dunia internasional atas catatan pelanggaran HAM.
“Pergeseran menuju militerisasi dan melemahnya pengawasan dan keseimbangan kelembagaan di Sri Lanka telah mempengaruhi kemampuan negara untuk secara efektif mengatasi krisis ekonomi,” kata UNHRC.
Sajith Premadasa, pemimpin Samagi Jana Balawegaya, aliansi oposisi utama, menilai, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Rajapaksa untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. ”Seharusnya tidak ada suara yang bertentangan dengan suara rakyat kecil yang ada di jalanan. Suara itu menginginkan perubahan. Apa yang rakyat inginkan saat ini adalah mundurnya presiden dan seluruh pemerintahannya,” kata Premadasa. (AP/AFP/Reuters)