Wajib belajar merupakan program global demi mewujudkan impian setiap negara memiliki sumber daya manusia bermutu. Gara-gara pandemi, impian itu pupus.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
Kenaikan biaya hidup sejak pandemi Covid-19 terjadi pada Maret 2020 membuat banyak orang terlilit utang, baik di negara maju maupun negara berkembang. Imbas dari kontraksi ekonomi ini semakin banyak keluarga yang jatuh miskin. Artinya, makin banyak pula anak yang putus sekolah.
Kebijakan sekolah gratis di Uganda yang diharapkan menjadi jalan keluar bagi tingginya angka putus sekolah, misalnya, ternyata hanya di atas kertas. Pada kenyataannya, buruknya pengelolaan anggaran pendidikan oleh pemerintah mengakibatkan sekolah-sekolah negeri tetap memungut biaya.
Laporan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menyebutkan, angka putus sekolah pada jenjang SMP di Uganda pada tahun 2013 mencapai 18,2 persen. Jumlah ini meningkat menjadi 37,2 persen semasa pandemi.
Dilansir dari surat kabar Uganda, Monitor, negara ini belum memiliki data mengenai dampak pandemi terhadap pendidikan. Pemerintah Uganda masih dalam proses melakukan survei nasional penyebab tingginya putus sekolah yang mayoritas terjadi pada anak perempuan.
Salah satu alasannya ialah tingginya biaya sekolah. Sekolah-sekolah negeri yang semestinya gratis mengaku sudah bertahun-tahun tidak menerima bantuan operasional dari pemerintah. Akibatnya, mereka melakukan pungutan.
”Boleh-boleh saja sekolah negeri meminta dana dari wali murid, tapi harus melalui proposal resmi ke pemerintah,” kata Juru Bicara Kementerian Pendidikan Uganda Mugimba Dennis.
Kenyataannya, pungutan dari sekolah negeri bermacam-macam jumlahnya. Rata-rata, mereka memungut 200.000 shilling per semester atau setara dengan 56 dollar AS (sekitar Rp 804.000). Pungutan di sekolah swasta berkisar 500.000 shilling-1 juta shilling per semester.
”Saya terus menabung setiap hari, tapi biaya sekolah mahal sekali. Saya tidak tahu kapan anak saya bisa kembali bersekolah,” kata Agnes Nangabi, penjaja makanan di pasar di ibu kota Uganda, Kampala.
Putri sulung Agnes, Bridget (7), putus sekolah sejak pandemi terjadi. Ia kini membantu ibunya berjualan. Biaya sekolah Bridget sebesar 170.000 shilling per semester, naik 20 persen dari biaya sebelum tahun 2020.
Padahal, Agnes hanya memperoleh 15.000-30.000 shilling per hari dari berjualan di pasar. Pendapatan ini harus dipakai juga untuk menafkahi keluarga karena Agnes adalah orangtua tunggal dan ia memiliki dua anak yang lebih muda daripada Bridget.
Hal ini membuat Kementerian Pendidikan Uganda menghadapi gugatan masyarakat agar menentukan tarif pasti pungutan di sekolah negeri. Pendidikan sejatinya harus bisa diakses semua lapisan masyarakat dan merupakan sarana untuk mencerdaskan bangsa. Krisis putus sekolah semakin mengecilkan kesempatan Uganda untuk memiliki sumber daya manusia berkualitas.
Penghapusan utang mahasiswa
Di Amerika Serikat, krisis akibat menumpuknya utang pinjaman mahasiswa masih berlanjut. Total ada 43 juta warga AS yang memiliki utang karena mereka meminjam uang untuk biaya kuliah. Nilai agregat utang tersebut mencapai 1,6 triliun dollar AS. Apabila tidak segera ditangani, hal itu akan menyebabkan inflasi.
Kongres AS tengah membahas penghapusan sebagian utang ini. Sementara itu, Pemerintah Federal AS mengumumkan perpanjangan masa penangguhan pembayaran utang dari tenggat 1 Mei menjadi 31 Agustus 2022. Ini adalah perpanjangan keenam yang dilakukan sejak tahun 2020.
Ketika berkampanye untuk pemilihan umum presiden AS, Joe Biden berjanji akan menghapus 10.000 dollar AS utang mahasiswa dari setiap penduduk. Kongres saat ini merapatkan kemungkinan penghapusan hingga 50.000 dollar AS per orang.
Dilansir dari Forbes, penangguhan utang mahasiswa selama pandemi membawa sisi positif. Masyarakat AS bisa lebih banyak menabung dan ini akan membantu membangkitkan ekonomi negara pascapandemi.
Departemen Pendidikan AS telah mengegolkan 100.000 orang yang dinilai layak agar seluruh utang mahasiswanya dihapus. Mereka adalah orang-orang dengan rekam jejak keuangan baik. Setelah 100.000 orang ini dibebaskan dari utang, kuota berikutnya ditambah 100.000 orang lagi. (AP)