Perempuan Tanpa Kewarganegaraan di Tengah Perang Rusia-Ukraina
Invasi Rusia ke Ukraina membawa derita bagi warga sipil di Ukraina. Namun, ribuan orang tanpa kewarganegaraan yang selama ini hidup dalam diskriminasi di negara itu menjadi kian menderita dan tak punya jalan keluar.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Ketika sirene tanda serangan udara meraung-raung di malam hari, Svitlana Honcharova (31) segera membawa kedua anaknya yang masih kecil berlindung di ruang bawah tanah apartemen mereka di kota Sumy, Ukraina. Dalam ketakutan, doa terucap agar hidup selamat.
Sedikitnya 4,2 juta warga Ukraina mengungsi ke luar negeri sejak Rusia menyerang negera itu per 24 Februari 2022. Mereka semua mencari selamat. Namun, Honcharova tidak berani mengikuti jejak yang sama. Ia tidak berani meninggalkan Ukraina karena tidak memiliki status kewarganegaraan. Artinya, ia tidak diakui sebagai warga negara oleh negara mana pun di dunia ini.
”Saya khawatir jika pergi, kami tidak akan bisa melintasi pos pemeriksaan atau perbatasan karena saya tidak mempunyai dokumen apa pun. Saya juga takut mereka akan memisahkan saya dari anak-anak karena saya tidak punya bukti mereka anak-anak saya,” kata Honcharova kepada Thomson Reuters Foundation melalui telepon video, Senin (4/4/2022).
Honcharova selama ini tidak memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan formal atau perawatan kesehatan di Ukraina. Meski sudah tinggal di Ukraina hampir sepanjang hidupnya, ia tidak memperoleh pengakuan dan identitas sebagai warga negara Ukraina. Ia juga tidak bisa membuka rekening bank, mempunyai properti, bahkan menikah.
Konflik Rusia-Ukraina, Honcharova menambahkan, telah memperparah perilaku diskriminasi dan kesulitan yang dialami orang-orang tanpa kewarganegaraan di Ukraina. ”Saya tidak bisa mendapatkan perawatan medis atau bantuan sosial untuk anak-anak. Saya tidak bisa bekerja secara resmi jadi tidak bisa mendapat uang,” ujarnya.
Semua persoalan yang dialami Honcharova tersebut juga dirasakan oleh semua orang di Ukraina yang tak memiliki kewarganegaraan. Selama ini Ukraina menjadi rumah bagi puluhan ribu orang tanpa kewarganegaraan. Banyak dari mereka yang tidak memiliki bukti identitas itu terjebak di tengah perang. Mereka tidak bisa keluar meskipun jalur-jalur pengungsian tersedia. Sebab, pos pemeriksaan di setiap jalur akan mengecek identitas setiap orang yang akan keluar dari Ukraina.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan sedikitnya 36.000 orang tanpa kewarganegaraan tinggal di Ukraina. Mereka kehilangan hak-hak dasar dan layanan dari pemerintah. Diduga jumlah sebenarnya lebih banyak dari itu. Orang-orang seperti Honcharova menjadi tidak berkewarganegaraan setelah Uni Soviet tumbang pada 1991. Mayoritas mereka termasuk kelompok minoritas etnis Roma di Ukraina.
Ada juga orang yang tidak berkewarganegaraan karena mengungsi dari daerah konflik antara pasukan Ukraina dan kelompok separatis di Donetsk and Luhansk. Termasuk di dalamnya sekitar 60.000 anak yang lahir di dua wilayah itu dan Semenanjung Crimea yang dicaplok Rusia pada 2014.
”Perang Rusia-Ukraina ini semakin membuat hidup orang yang tak berkewarganegaraan rumit dan genting. Banyak yang terperangkap di tengah konflik. Yang paling sulit bagi mereka adalah kalaupun mereka berhasil melarikan diri dari Ukraina, belum tentu mereka bisa masuk lagi setelah perang berakhir,” kata Direktur Jaringan Eropa untuk Orang Tanpa Kewarganegaraan Aliansi Masyarakat Sipil Chris Nash.
Invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari lalu membuat seperempat dari 44 juta jiwa penduduk Ukraina mengungsi, termasuk sekitar 4 juta jiwa yang mengungsi ke luar negeri. Mayoritas mengungsi ke negara-negara tetangga Ukraina di Eropa.
Uni Eropa (UE) sudah memberikan para pengungsi Ukraina hak untuk hidup, bekerja, dan mengakses kesejahteraan sosial di 27 negara anggota UE. Namun, menurut Nash, kebijakan darurat itu mengecualikan banyak orang tanpa kewarganegaraan. ”Kami mendesak semua negara anggota UE untuk memberikan perlindungan yang sama pada semua pengungsi dari Ukraina tanpa melihat statusnya,” ujarnya.
Manajer Proyek Hak untuk Perlindungan Sofiia Kordonets menyatakan, banyak orang tanpa kewarganegaraan yang hidupnya sangat bergantung pada sumbangan dari badan amal dan sukarelawan. Sebab, mereka tidak bisa mengakses pekerjaan formal. Orang-orang tanpa kewarganegaraan cenderung tidak mempunyai tabungan untuk hidup. Jika mengungsi, mereka pasti tidak akan mudah mendapatkan akomodasi dan bantuan.
Pemerintah Ukraina sudah menyediakan bantuan uang satu kali sebesar 220 dollar AS bagi warga Ukraina yang masih berada di dalam zona perang. Namun, orang-orang tanpa kewarganegaraan tidak bisa mengakses bantuan uang tunai khusus untuk warga pembayar pajak itu. Sementara orang tanpa kewarganegaraan tidak membayar pajak.
Meski banyak negara tetangga yang sudah membuka perbatasan mereka, kata Kordonets, hanya segelintir orang tanpa kewarganegaraan yang sudah keluar dari Ukraina. Beberapa di antaranya membawa paspor Soviet yang sudah kedaluwarsa. ”Mereka sangat takut tidak bisa kembali ke Ukraina. Banyak yang bertanya apakah mereka bisa kembali ke Ukraina,” ujarnya.
Pada 2014, PBB meluncurkan kampanye #IBelong untuk mengakhiri penderitaan jutaan orang tanpa kewarganegaraan di seluruh dunia dalam satu dekade terakhir. Tahun lalu, Ukraina menerapkan prosedur untuk mengidentifikasi dan melindungi orang tanpa kewarganegaraan di wilayahnya. Namun, sampai sejauh ini baru 55 orang yang sudah diberikan status kewarganegaraan. Ratusan orang yang lain, termasuk Honcharova, prosesnya masih tertunda. Apalagi dengan adanya perang, proses pengurusannya menjadi semakin tidak jelas.
Honcharova lahir di wilayah yang sekarang masuk wilayah Rusia. Ia lahir pada era 1990-an saat Uni Soviet hendak tumbang. Ia kemudian dibesarkan di Ukraina oleh seorang perempuan yang dianggapnya nenek meski tidak memiliki hubungan keluarga. Ia tidak pernah mengenal ayahnya dan kehilangan kontak dengan ibunya sejak kecil.
Ia pertama kali mengajukan kewarganegaraan Ukraina ketika berusia 16 tahun. Namun, otoritas setempat menolaknya. Saat masih remaja, ia dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan tidak mempunyai dokumen. Akibatnya, ia harus mengubur impiannya menjadi perawat. Kini ia bekerja di toko kosmetik dan upahnya jauh lebih rendah ketimbang teman-temannya yang warga negara sah Ukraina.
Ia merasa hidupnya selalu dihina orang. Saat hamil pun, ada dokter yang menyarankannya aborsi ketimbang anaknya tak memiliki kewarganegaraan. ”Saya merasa seperti saya tidak ada di dunia ini. Saya hanya menginginkan punya kartu identitas agar saya bisa hidup seperti orang lain. Saya mencintai Ukraina. Ini negara saya. Kalau saya laki-laki, saya juga akan angkat senjata dan melawan Rusia,” kata Honcharova. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)