IPCC: Kebutuhan akan Energi Fosil Masih Sukar Dihilangkan
Laporan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) ditunggu-tunggu. Akan tetapi, tampak sejauh ini masih tersandung isu kerumitan peralihan dari minyak bumi ke energi ramah lingkungan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
AFP / OLI SCARFF
Aksi yang menyuarakan dampak perubahan iklim berlangsung juga di Manchester, Inggris, Selasa (1/9/2020).
Dialog mengenai laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC masih terus berlangsung. Laporan ini dijadwalkan terbit pada Senin (4/4/2022) atau Selasa (5/4/2022) waktu Indonesia Barat. Perdebatan masih berkisar soal transisi energi fosil ke energi terbarukan.
Dunia mengalami krisis iklim yang membahayakan apabila tidak segera ditangani. Apabila suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius, akan terjadi pelelehan katup-katup es maupun kekeringan ekstrem yang menghasilkan bencana alam terbesar secara global. Suhu Bumi sudah naik 1,1 derajat celsius dibandingkan dengan masa sebelum Revolusi Industri pada abad ke-19.
Sepanjang pertemuan membahas perubahan iklim, IPCC selalu menekankan pentingnya mengurangi emisi karbon dan peralihan ke energi baru dan terbarukan. Negara-negara kaya pada awalnya dimintai komitmen tegas untuk menghentikan pemakaian bahan bakar fosil, yaitu minyak bumi, batubara, dan gas.
Namun, situasi global sekarang menunjukkan standar itu sukar dicapai. Dalam rapat IPCC, India mengajukan keberatan apabila diminta mengurangi emisi karbon secara besar-besaran. Negara ini berargumen bahwa penghasil karbon terbesar di dunia adalah negara-negara maju yang bergantung pada industri.
Dalam file foto yang diambil pada 3 Februari 2020 ini, sejumlah wanita mengambil air dari pompa air tangan di pinggiran Jalalabad. Kelaparan, kekeringan, dan penyakit akan menimpa puluhan juta orang lagi dalam beberapa dekade, berdasarkan rancangan penilaian PBB yang memaparkan konsekuensi kesehatan manusia yang mengerikan dari planet yang memanas.
Negara-negara berkembang, apalagi negara miskin, sejatinya masih sedikit sekali menggunakan bahan bakar fosil. Emisi yang dihasilkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara maju, sehingga semestinya target pengurangan karbon untuk negara berkembang jangan disamakan dengan negara maju.
Sementara itu, Arab Saudi yang merupakan kartel minyak terbesar sekaligus anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) meminta agar masa peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan diperpanjang. Alasannya agar tidak ada krisis energi global.
Kenyataan sekarang menunjukkan perubahan tidak bisa dalam waktu dekat. Harga minyak akan melambung dan jutaan orang dirugikan. Dunia akan menghadapi krisis energi parah. (Suhail al-Mazrouei)
Meletusnya perang antara Rusia dan Ukraina telah membuktikan krisis energi tersebut. Harga minyak melambung. Patokan harga minyak global, Brent, menunjukkan angka 105 dollar AS per barel. Ini harga termahal sepanjang sejarah.
Aktivis kelompok Extinction Rebellion berkumpul di Lapangan Parlemen pusat kota London dalam aksi krisis iklim, Selasa (1/9/2020).
Negara-negara berkembang dan miskin belum bisa lepas dari bahan bakar fosil. Teknologi energi terbarukan masih sangat mahal dan belum banyak dikembangkan. Penghitungan OPEC menunjukkan bahwa hingga tahun 2040, negara-negara miskin dan berkembang masih membutuhkan energi fosil.
Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail al-Mazrouei dalam kesempatan yang berbeda juga mengutarakan pendapat serupa. ”Bukannya kami, negara penghasil minyak, tidak ingin berubah ke energi bersih. Tapi, kenyataan sekarang menunjukkan perubahan tidak bisa dalam waktu dekat. Harga minyak akan melambung dan jutaan orang dirugikan. Dunia akan menghadapi krisis energi parah,” ujarnya.
Kepala organisasi lingkungan Greenpeace Inggris, Charlie Kronick, dalam pernyataan pers mengatakan, setidaknya di negara-negara maju tidak ada alasan untuk bergantung pada energi fosil. Justru, ketergantungan Eropa kepada minyak dan gas Rusia mengisi dompet Presiden Vladimir Putin untuk membiayai perang.
”Banyak sekali teknologi yang bisa kita terapkan. Bagi masyarakat awam, teknologi insulasi rumah bisa melepas ketergantungan kita dari penghangat gas selama musim dingin,” katanya.
Dana Moneter Internasional (IMF) melalui Direktur Pengelola Kristalina Georgieva mengusulkan agar negara-negara kaya menghimpun dana 100 miliar dollar AS per tahun untuk biaya mitigasi perubahan iklim. Dana ini juga dipakai untuk menerapkan teknologi ramah lingkungan.
AP PHOTO/NOAH BERGER
Foto pada 19 September 2021 ini menunjukkan petugas pemadam kebakaran menyemprot air saat Windy Fire melanda Hutan Taman Nasional Sequoia, California, Amerika Serikat.
Khusus di AS, Badan Pengelola Anggaran (OMB) atas perintah Presiden Joe Biden mengeluarkan hasil kajian perubahan iklim dalam negeri. Terungkap, AS merugi 2 triliun dollar per tahun atau setara dengan 7,1 persen dari total kerugian nasional akibat krisis iklim.
Cuaca ekstrem terus melanda AS. Contohnya kekeringan yang mengakibatkan gelombang panas serta kebakaran hutan dan lahan. Ada pula hujan badai yang mengakibatkan banjir.
Tidak hanya properti sipil yang terdampak, fasilitas negara seperti Pangkalan Udara Offutt di Nebraska dan Pangkalan Udara Tyndall di Florida juga rusak akibat banjir. Peralatan-peralatan militer menjadi tidak bisa dipakai lagi. (REUTERS/AP/AFP)