Di Balik Gagalnya Intelijen Israel Deteksi Serangan Individu Palestina
Dinas Intelijen dalam negeri Israel, Shabak, dinilai gagal mendeteksi serangan beruntun hanya dalam satu pekan. Pelaku serangan beruntun itu tidak memiliki latar belakang organisasi tertentu, tetapi individual.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
Pemerintah dan publik Israel dibuat terperangah oleh tiga kali serangan beruntun dalam satu pekan yang mengakibatkan 11 korban tewas. Korban berasal dari kalangan polisi dan warga sipil Israel.
Serangan beruntun tersebut dimulai dari serangan di kota Beersheba di Israel selatan, Selasa (22/3/2022), dengan empat korban warga Israel tewas. Kemudian disusul serangan di kota Hadera, Israel tengah, pada Minggu (27/3/2022) yang mengakibatkan korban dua polisi Israel tewas. Lalu terakhir serangan di kota Bnei Brak, dekat kota Tel Aviv, pada Selasa (29/3/2022) yang menyebabkan lima warga Israel tewas.
Serangan tersebut merupakan yang terburuk di Israel sejak Hamas melancarkan serangan ratusan rudal ke Israel pada Mei 2021 yang kemudian dikenal dengan Perang Gaza. Harian Israel, Haaretz dan Yedioth Ahronoth, edisi Kamis (31/3/2022) menyebutkan, serangan tiga kali secara beruntun di Israel itu merupakan kecolongan besar dari dinas intelijen dan aparat keamanan Israel. Dinas Intelijen dalam negeri Israel, Shabak, dinilai gagal mendeteksi serangan beruntun hanya dalam satu pekan.
Sejauh ini, hasil evaluasi dan analisis aparat keamanan Israel menemukan, pelaku serangan beruntun itu tidak memiliki latar belakang organisasi tertentu, tetapi lebih bersifat inisiatif individu. Hasil analisis seperti dilansir stasiun televisi Israel, Saluran 12, menyebutkan, serangan beruntun itu lebih dilatarbelakangi oleh situasi menjelang bulan Ramadhan dan Hari Bumi Palestina yang jatuh pada 30 Maret setiap tahun.
Kisah Hari Bumi Palestina merujuk pada peristiwa 30 Maret 1976 ketika Pemerintah Israel saat itu menyita ribuan hektar tanah warga Palestina di wilayah Galilea, Israel utara. Rakyat Palestina kemudian memperingatinya Hari Bumi. Sering pula, setiap menjelang 30 Maret, eskalasi ketegangan di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan wilayah Israel meningkat. Tidak jarang meletup bentrokan antara warga Palestina dan Israel.
Dalam upaya mencegah eskalasi serangan Palestina itu, Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz pada Selasa lalu langsung terbang ke Amman, Jordania, untuk menemui Raja Abdullah II. Gantz meminta Raja Abddullah II agar ikut membantu menurunkan ketegangan di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan wilayah Israel menjelang bulan Ramadhan ini.
Sehari setelah itu, Presiden Israel Isaac Herzog juga mengunjungi Amman untuk bertemu Raja Abdullah II. Pemerintah Israel sangat khawatir eskalasi serangan di Israel bisa menumbangkan pemerintahan Israel pimpinan Perdana Menteri Naftali Bennett. Bahkan sejumlah pengamat Israel mencemaskan serangan beruntun Palestina itu merupakan awal menuju meletusnya Intifada ketiga.
Gerakan Intifada pertama meletus pada tahun 1988 dan berakhir pascatercapainya kesepakatan Oslo antara Israel dan Palestina pada tahun 1993. Intifada kedua meletus pada tahun 2000 dan berakhir pada tahun 2005 pascamundurnya Israel secara sepihak dari Jalur Gaza saat itu.
Raja Abdullah II kepada Gantz dan Herzog meminta Israel supaya tidak mempersulit warga muslim Palestina melakukan ibadah selama bulan Ramadhan. Ia juga meminta warga Yahudi agar tidak melakukan provokasi untuk mencegah terjadinya eskalasi kekerasan pada bulan Ramadhan. Raja Abdullah II mengatakan, kunjungan Herzog merupakan kesempatan untuk berdiskusi tentang cara mewujudkan perdamaian yang adil dan abadi.
Pascaserangan beruntun tersebut, mulai terdengar suara di Israel yang menyerukan segera ada solusi politik, bukan hanya pendekatan keamanan, dalam konflik Israel-Palestina saat ini. Pengamat politik Israel pada harian Haaretz, Yossi Verter, mengatakan, tewasnya 11 warga Israel dalam serangan satu pekan itu tidak hanya peristiwa keamanan, tetapi juga ada misi politik.
Menurut Verter, serangan beruntun itu terjadi saat ada peristiwa politik besar yang dimulai dari pertemuan puncak segitiga Israel, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA) di Sharm Al-Sheikh pada 22 Maret lalu. Disusul pertemuan tingkat menteri luar negeri dari Amerika Serikat, Israel, Mesir, Maroko, Bahrain, dan UEA di kota Sde Boker, Gurun Negev, pada 27-28 Maret.
Verter mengatakan, serangan beruntun di Israel adalah pesan politik atas pertemuan Sharm El-Sheikh dan Gurun Negev agar segera dimulai lagi perundingan damai Israel-Palestina untuk mencapai solusi dua negara. Perundingan damai Israel-Palestina macet total sejak tahun 2014 akibat Israel menolak menghentikan pembangunan permukiman Yahudi.