Ukraina dan Rusia membuka pintu gencatan senjata. Ukraina mau mengadopsi status netral, non-blok, dan non-nuklir. Rusia mau mengurangi drastis aktivitas militernya di Ukraina. Keduanya akan bertemu lagi di lain waktu.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
ISTANBUL, SELASA – Tahap awal menuju kesepakatan gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina sudah dibuka. Proses perundingan Rusia-Ukraina yang pertama di Istanbul, Turki, itu berjalan baik dan "berarti" meski kedua pihak bersikap "dingin" dan tak mau bersalaman. Dalam pertemuan tatap muka itu setidaknya kedua pihak mencapai kompromi dan pemahaman yang sama mengenai isu-isu tertentu. Isu-isu lain yang dianggap "lebih pelik" akan dibahas menteri luar negeri kedua negara di lain waktu.
Hal ini dikemukakan Menteri Luar Turki, Mevlut Cavusoglu, seusai perundingan yang berlangsung selama empat jam itu, Selasa (29/3/2022). Turki bertindak sebagai mediator dalam perundingan Rusia-Ukraina. "Kesepakatan damai harus segera tercapai," ujarnya.
Sebelum perundingan, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menyambut kedua delegasi dan mengingatkan upaya menghentikan tragedi ini ada di tangan tim perunding. "Upaya menghentikan tragedi ini tergantung pada kedua belah pihak. Akan menguntungkan semua pihak jika bisa segera ada gencatan senjata. Proses perundingan ini membawa harapan akan perdamaian," ujarnya.
Dalam pertemuan itu, Ukraina mengusulkan mengadopsi status netral dengan imbalan jaminan keamanan. Artinya, Ukraina tidak akan bergabung dengan aliansi militer atau menjadi tuan rumah pangkalan militer asing. Ukraina membayangkan jaminan keamanan yang sejalan dengan pasal 5 klausal pertahanan kolektif di Pakta Pertahanan Atlantik Utara. Polandia, Israel, Turki, dan Kanada bisa menjadi salah satu penjamin keamanan Ukraina.
"Kalau isu paling penting bagi Ukraina ini bisa dikonsolidasikan, Ukraina akan menjadi negara non-blok dan non-nuklir. Ini bentuk netralitas permanen. Kita tidak akan jadi tuan rumah pangkalan militer asing dan tidak akan masuk ke aliansi militer-politik. Latihan militer di wilayah kami hanya boleh dilakukan jika ada persetujuan dari negara-negara penjamin," kata salah satu perunding Ukraina, Oleksander Chaly.
Proposal yang diajukan Ukraina dinilai sudah cukup kuat untuk bisa membuat Presiden Rusia, Vladimir Putin, mau bertemu dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy. Ukraina sudah menawarkan dan kini tergantung pada Rusia.
Wakil Menteri Pertahanan Rusia, Alexander Fomin, mengatakan untuk menciptakan rasa saling percaya, Rusia berkomitmen mengurangi aktivitas militernya di Kiev dan Chernihiv secara drastis. Keputusan ini diambil karena Ukraina sudah bersedia mengadopsi status netral dan non-nuklir. Ketua tim perunding dari sisi Rusia, Vladimir Medinsky, akan membawa hasil perundingan yang berarti ini Putin.
Ukraina dan Amerika Serikat sebenarnya awalnya tak berharap banyak pada perundingan ini tetapi perundingan tatap muka ini langkah penting menuju gencatan senjata. Serangan Rusia ke Ukraina yang termasuk serangan terbesar pada satu negara di Eropa sejak Perang Dunia II ini sudah berjalan lebih dari sebulan. Lebih dari 3,8 juta warga Ukraina harus mengungsi ke luar negeri. Ribuan tewas dan terluka serta perekonomian Rusia guncang digoyang serentetan sanksi. Bagi Ukraina maupun Rusia, perundingan ini penting, sekecil apapun harapannya.
Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba, menegaskan pihaknya tidak akan mengorbankan rakyat, wilayah maupun kedaulatan negara. Dari pihak Ukraina setidaknya berharap perundingan ini menghasilkan kejelasan dan pengaturan mengenai cara menangani isu kemanusiaan. "Sasaran utamanya mencapai kesepakatan untuk gencatan senjata," ujarnya.
Sebelum perundingan, Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, menyatakan Rusia sudah hampir menyelesaikan tahap pertama serangan militernya. Misi Rusia dinyatakan berhasil karena telah menurunkan kemampuan militer Ukraina. Kini, Rusia akan lebih fokus pada wilayah-wilayah yang dikuasai kelompok separatis. Rusia pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu, pekan lalu, dan ini ditangkap Barat sebagai tanda Rusia mulai menyerah dan mengurungkan niatnya menggulingkan pemerintahan Ukraina setelah gagal menguasai ibukota Kiev.
Seorang pejabat senior di Departemen Luar Negeri AS tidak yakin Putin sudah siap untuk mengakhiri perang di Ukraina. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan sampai sejauh ini perundingan kedua pihak ini belum menghasilkan perkembangan yang berarti. Meski demikian perundingan tetap penting. Milyuner Rusia, Roman Abramovich, ikut hadir di Istanbul tetapi Rusia mengaku ia bukan anggota tim perunding Rusia tetapi hanya menjadi semacam penghubung antara kedua pihak.
Abramovich termasuk orang yang dikenai sanksi oleh Barat karena terlibat dalam serangan Rusia ke Ukraina. Sejak awal perang, Abramovich dilaporkan sibuk mengupayakan perundingan dan sudah bepergian ke Ukraina, Rusia, Turki, dan Israel sejak awal Maret lalu.
Komite Palang Merah Internasional mendesak Ukraina dan Rusia untuk segera menyepakati masalah evakuasi warga sipil yang aman dari kota Mariupol dan daerah lainnya. Pasalnya, warga sipil yang terjebak di tengah konflik membutuhkan bantuan makanan dan obat-obatan. Pasukan Rusia menutup pintu-pintu keluar Mariupol sehingga masih ada sekitar 160.000 orang yang terjebak di dalam kota. "Tidak ada makanan untuk anak-anak, terutama bayi. Ibu-ibu hamil terpaksa melahirkan di ruang bawah tanah karena rumah sakit sudah hancur," kata salah seorang warga, Nataliia. (REUTERS/AFP/AP)