Diplomasi di Luar Orbit Diplomatik
Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taiwan bukan perwakilan diplomatik. Akan tetapi, mereka menangani segudang masalah perlindungan pekerja migran Indonesia di wilayah itu.

Kepala Bidang Ketenagakerjaan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taiwan, Purwanti Uta Djara (keempat dari kiri), berfoto bersama para pekerja migran Indonesia dan rekan dari Taiwan seusai acara layanan bergerak KDEI untuk PMI di kota Hualien, Taiwan.
Indonesia dan Taiwan memang tidak memiliki hubungan diplomatik. Sebab, Indonesia pada dasarnya mengakui prinsip Satu China, yakni bahwa Taiwan merupakan wilayah otonomi dari China. Akan tetapi, dari segi hubungan ekonomi, intensitas Indonesia-Taiwan termasuk tinggi.
Taiwan adalah salah satu wilayah yang menyerap banyak tenaga kerja asal Indonesia. Oleh sebab itu, Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei mengemban tugas memastikan warga negara Indonesia di Taiwan terlindungi dan diperlakukan dengan adil.
”Meskipun KDEI sebagai lembaga ekonomi non-pemerintah, bukan perwakilan diplomatik Pemerintah Indonesia, tugas-tugasnya mencakup perlindungan warga negara,” kata Kepala Bidang Ketenagakerjaan KDEI Taipei Purwanti Uta Djara pada wawancara khusus dengan Kompas, Senin (21/3/2022).
Baca juga: Tak Seindah yang Tertulis di atas Kertas
Berdasarkan data Imigrasi Taiwan, saat ini ada 230.000 pekerja migran Indonesia di Taiwan. Terdapat 23.000 anak buah kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal berbendera Taiwan. Ada pula 26.000 pekerja migran dengan status kabur dari pihak pemberi kerja.
Uta menuturkan, visi dan misi KDEI disesuaikan dengan Nawacita Presiden Joko Widodo. Khusus untuk pekerja migran, targetnya ialah memperluas kesempatan kerja di sektor formal. Sekarang ini, 171.280 pekerja migran Indonesia bekerja di sektor nonformal. Umumnya mereka bekerja sebagai perawat lansia ataupun pengasuh anak.
”Indonesia menginginkan agar tenaga kerja yang memutuskan ke luar negeri benar-benar memiliki kompetensi dan keterampilan. Sektor formal, selain gaji lebih besar, jam kerja dan hak-hak kerjanya diatur dengan undang-undang. Di sektor nonformal, meskipun Taiwan termasuk wilayah dengan perlindungan pekerja terbaik secara global, masih didominasi oleh kesepakatan antara pekerja dan majikan,” papar Uta.

Para buruh migran asal Pulau Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, biasanya mengisi waktu luang kerja hari Sabtu dan Minggu di Taman Victoria Park, Hongkong.
Sejak 2018, KDEI Taipei dan Dinas Ketenagakerjaan Taiwan sudah bertemu dan membahas soal pembukaan perekrutan pekerja Indonesia untuk pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pembahasan berlangsung alot karena Indonesia mengusulkan adanya rancangan kontrak kerja yang baru.
Kontrak baru ini lebih ketat dan mengikat dibandingkan dengan kontrak kerja yang lama dan masih berlaku saat ini. Misalnya, kontrak lama hanya menyebutkan pekerja migran Indonesia harus diberi tempat tinggal. Dalam kontrak baru dijabarkan, tempat tinggal itu harus layak dan ditambah dengan jaminan pekerja migran Indonesia memperoleh konsumsi layak tiga kali sehari.
”Kejadian pandemi Covid-19 pada 2020 membuat semua pembahasan tertunda. Pihak Taiwan dan Indoensia sama-sama fokus menangani pandemi terlebih dulu. KDEI sendiri tetap rajin mencolek berbagai organisasi PMI dan juga asosiasi agen perekrutan PMI agar mereka ingat ada isu ini yang harus terus digaungkan.,” kata Uta.
Baca juga: Mempertahankan Manfaat Remitansi Pekerja Migran Indonesia
Uta membagi permasalahan PMI di Taiwan menjadi dua pokok, yaitu tugas di lapangan dan gaji. Terdapat kasus PMI yang bekerja di sektor nonformal, contohnya sebagai perawat lansia, ternyata juga disuruh mengerjakan tugas yang tidak masuk di dalam kontrak kerja. Ada PMI yang harus menjadi pembantu rumah tangga bagi anak-anak lansia yang ia urus, ada pula bekerja di perkebunan atau tempat-tempat usaha milik keluarga lansia tersebut.
“Dari tinjauan kami ke lapangan, ada PMI yang memang dipaksa oleh majikan menjalankan beban pekerjaan yang semestinya bukan tugas mereka. Akan tetapi, ternyata juga ada PMI yang bernegosiasi dengan majikan bahwa mereka mau diberi tugas tambahan asal ada upah yang sepadan. Jumlahnya tergantung kesepakatan kedua belah pihak,” ucapnya.
Meskipun demikian, Uta menekankan bahwa ini tetap pelanggaran kontrak kerja. Pasalnya, pengawasan terhadap kesejahteraan PMI menjadi sukar, baik oleh KDEI maupun Disnaker Taiwan. Jalan keluar dari masalah ini ialah agar Taiwan membuka lapangan pekerjaan untuk PMI khusus di sektor-sektor tersebut. PMI yang berminat bisa melamar langsung dari Indonesia ataupun mengajukan pindah sektor ketika sudah bekerja di Taiwan.

Kepala Bidang Ketenagakerjaan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesiadi Taiwan, Purwanti Uta Djara (barisan depan, kedua dari kiri), berfoto bersama para pekerja migran Indonesia di kota Taichung.
Pembukaan sektor-sektor baru ini, lanjut Uta, juga dianggap bisa membantu penyelesaian kasus PMI yang kabur dari majikan. Kasus kabur ini memiliki beberapa penyebab, pertama ialah karena mengalami penganiayaan di tempat kerja. Akan tetapi, menurut Uta, untuk tindak kriminal semacam ini, PMI sudah pandai melapor ke saluran 1955 yang disediakan oleh Disnaker Taiwan ataupun melalui berbagai organisasi PMI.
“Namun, ada juga PMI yang kabur dari majikan lama karena mereka bertemu dengan orang yang menawarkan pekerjaan lain dengan upah lebih tinggi dan beban kerja lebih ringan. Kasus seperti ini apabila ada perekrutan resmi PMI sebagai pegawai toko atau pelayan restoran akan mencegah peristiwa kabur-kaburan ini karena PMI bisa melamar melalui jalur yang benar,” tutur Uta.
Baca juga: Perlindungan Pekerja Migran di Masa Pandemi
KDEI Taipei melakukan perhitungan perkiraan kebutuhan PMI di Taiwan untuk lima tahun ke depan. Setidaknya, butuh 30.000 PMI baru. Sektor-sektor potensial dirambah ialah konstruksi infrastruktur , industri manufaktur, nelayan beserta ABK profesional, dan perawat di panti jompo.
Khusus sektor nonformal seperti perawat lansia di rumah dan pengasuh anak juga tampak ada penambahan kebutuhan mengingat Taiwan adalah masyarakat yang menua. Akan tetapi, di sektor nonformal pun juga harus diiringi peningkatan kompetensi kerja yang akan berguna sebagai landasan penetapan upah minimal.
Upah
Menurut Uta, diskusi mengenai upah minimal PMI di sektor domestik belum menemukan titik terang sejak 2018. Aturan di Taiwan mengatakan bahwa gaji minimal sektor domestik adalah 17.000 dollar Taiwan. Gaji ini semestinya naik seiring dengan lama kerja dan peningkatan keterampilan PMI.
Kenyataannya, banyak sekali PMI yang tetap tersangkut di jumlah gaji itu walaupun sudah bekerja selama lima tahun, bahkan lebih. Fajar Susmiati, Koordinator Gabungan Pekerja Bersolidaritas –sebuah organisasi PMI di Taiwan—ketika berbicara kepada Kompas pada awal Maret mengatakan, hanya PMI yang percaya diri dan memiliki kemampuan tawar menawar dengan majikan yang mendapat kenaikan gaji. Padahal, hendaknya kenaikan gaji bertahap ini menjadi hak pekerja dan kewajiban majikan.

Menanggapi pernyataan itu, Uta mengakui bahwa perundingan soal gaji ini berjalan tersendat-sendat. Pembicaraan dengan Taiwan sudah pada level teknis. Kendalanya adalah Taiwan harus melakukan kajian mengenai kemampuan para majikan untuk mengupah PMI di sektor nonformal.
Apalagi, mayoritas majikan yang mempekerjakan perawat lansia dan pengasuh anak di Taiwan bukan dari kalangan menengah ke atas. Mereka adalah orang-orang yang harus bekerja dan tidak bisa menjaga lansia yang membutuhkan perhatian khusus. Mereka diizinkan mempekerjakan PMI karena upahnya lebih murah dibandingkan menyewa jasa perawat profesional bersertifikat dari dalam negeri.
Baca juga: Jerat Utang dan Tipu Daya Empaskan Pekerja Migran ke Jalur Ilegal
“Sejauh ini, yang bisa KDEI tawarkan ialah membantu PMI menegosiasikan kenaikan gaji dengan majikan. Itu pun atas permintaan PMI,” tuturnya.
Uta menyadari kinerja mereka tidak bebas dari kritik. Organisasi PMI mengeluhkan birokrasi yang berbelit-belit dan memakan waktu lama. Juga ada keluhan tidak semua organisasi migran dilibatkan KDEI dalam dialog dengan pihak Taiwan.

Batu sandungan lain dalam peningkatan kesejahteraan agen adalah biaya layanan agen yang membawahkan PMI di Taiwan. PMI harus melunasi biaya pelatihan, tiket, dan visa mereka ke Taiwan yang ditanggung oleh agen. Setelah itu, mereka harus membayar 1.800 dollar Taiwan per bulan di tahun pertama sebagai semacam iuran kepada agen. Biaya turun menjadi 1.700 dollar per bulan di tahun kedua dan 1.500 dollar per bulan untuk tahun ketiga dan seterusnya.
PMI mengeluhkan bahwa iuran jasa agen ini tidak sepadan dengan pelayanan yang diberikan. Hampir setiap kali PMI membutuhkan bantuan agen mereka harus membayar biaya tambahan seperti uang bensin, uang berobat ke dokter, dan upah penerjemah. Permasalahannya, pungutan-pungutan ini dibenarkan di dalam peraturan Taiwan.
Baca juga: Perlindungan Hukum jadi Problem Utama
“Memang ada juga agen yang keterlaluan. Mereka menerapkan pungutan liar. Contohnya, biaya asli untuk mengurus suatu masalah 1.000 dollar Taiwan, tapi mereka meminta ke PMI hingga 3.000 dollar. Agen-agen seperti ini pastinya KDEI masukkan ke daftar hitam yang terintegrasi dengan Disnaker Taiwan. Agen ini bisa diskors atau bahkan dicabut izin operasionalnya,” kata Uta.
Data KDEI menyebutkan, di tahun 2020 mereka bisa menyelesaikan 1.093 kasus atau 94 persen dari kasus yang masuk. Sisanya diselesaikan di tahun 2021. Khusus tahun 2021, KDEI menyelesaikan 835 kasus atau 86 persen kasus yang dilaporkan ke mereka. Sisanya masih dalam proses di tahun 2022.
Baca juga: Memandang Revolusi Peradaban Masyarakat 5.0 dari Perspektif Indonesia
Kasus-kasus itu tergolong berat yang membutuhkan penanganan berbagai pihak seperti aparat penegak hukum. Kasus-kasus ringan, yaitu yang bisa diselesaikan secara langsung tidak didata oleh KDEI.
KDEI menargetkan di pertengahan tahun 2022 kembali bisa melakukan berbagai diskusi serius dengan pihak Taiwan mengenai jumlah upah dan pembukaan lapangan kerja di sektor-sektor baru. (DNE)
Catatan: terdapat perubahan pada kutipan paragraf ketiga, menjadi "KDEI sebagai lembaga ekonomi non-pemerintah"