Pascaserangan yang ”Memerahkan” Jeddah, Houthi Umumkan Gencatan Senjata
Kelompok Houthi mengumumkan gencatan senjata sepihak selama tiga hari, bersamaan peringatan menandai tujuh tahun serangan koalisi Arab Saudi ke Yaman. Gencatan senjata diumumkan sehari setelah mereka menyerang Jeddah.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
SANA’A, MINGGU — Kelompok pemberontak Houthi dari Yaman, Sabtu (26/3/2022) waktu setempat, mengumumkan gencatan senjata dengan koalisi pimpinan Arab Saudi dan melontarkan prospek gencatan senjata permanen. Pengumuman gencatan senjata itu disampaikan sehari setelah kelompok tersebut melancarkan gelombang serangan rudal dan pesawat nirawak yang ”memerahkan” kota Jeddah, Arab Saudi.
Pada Sabtu, ribuan warga di Yaman turun ke jalan-jalan di kota Sana’a, ibu kota Yaman, yang dikuasai kelompok Houthi guna memperingati tujuh tahun konflik yang melanda negeri mereka. Pada kesempatan tersebut, pemimpin politik Houthi, Mahdi al-Mashat, berpidato melalui televisi.
Dalam pidatonya, Mashat menyatakan ”penangguhan serangan-serangan rudal dan pesawat nirawak serta seluruh aksi militer selama tiga hari”. ”Kami siap menjadikan deklarasi ini sebagai komitmen terakhir dan permanen dengan syarat Arab Saudi berkomitmen mengakhiri pengepungan dan menghentikan serangan ke Yaman mulai saat ini dan selamanya,” kata Mashat.
Hingga berita ini dilaporkan, belum ada tanggapan langsung dari Arab Saudi. Riyadh membalas gelombang serangan Houthi pada Jumat lalu dengan menggempur Sana’a dan Hodeida, dua kota kota yang dikuasai Houthi, dengan serangan udara. Arab Saudi juga menghancurkan empat kapal penuh dengan muatan bahan peledak.
Mashat mengatakan, Houthi siap ”melepas seluruh tahanan perang dari pasukan koalisi, termasuk saudara Hadi (Presiden Yaman Abd-Rabbu Mansour Hadi), para tahanan milisi, dan tahanan dari negara-negara lain sebagai pertukaran dengan seluruh anggota pasukan kami yang ditahan”. ”Rezim Saudi harus menunjukkan keseriusannya... dengan merespons lewat gencatan senjata, menghentikan pengepungan, dan menarik pasukan asing dari negeri kami,” ujarnya.
”Dan kemudian, perdamaian akan datang, dan lalu ada waktu untuk membahas solusi politik dalam atmosfer yang tenang, jauh dari tekanan militer ataupun kemanusiaan,” tutur Mashat.
Arab Saudi diperkirakan keberatan menyetujui syarat-syarat yang diumumkan Houthi. Riyadh tengah mengupayakan gencatan senjata secara inklusif, bersamaan dengan pembukaan kembali pelabuhan-pelabuhan dan bandara Sana’a.
Pada tahun lalu, koalisi pimpinan Arab Saudi pernah juga menawarkan gencatan sepihak. Namun, waktu itu Houthi menolak tawaran gencatan senjata tersebut dengan alasan situasi kemanusiaan dan pembukaan kembali pelabuhan-pelabuhan harus dibahas terlebih dahulu sebelum pembicaraan apa pun terkait perundingan damai.
Yaman, negara termiskin di Arab saat perang belum meletus, berada di tubir kehancuran selama beberapa tahun akibat konflik berskala luas dan kompleks di sejumlah front. Ratusan ribu orang tewas, secara langsung ataupun tidak langsung, akibat konflik tersebut. Jutaan warga terusir dan tercerai berai dari kampung halaman dan keluarga mereka. PBB menyebut situasi di Yaman sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Tujuh tahun perang
Langkah Houthi mengumumkan gencatan senjata sepihak ini bersamaan dengan tujuh tahun serangan militer koalisi pimpinan Arab Saudi untuk mendukung Pemerintahan Yaman di bawah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi. Serangan koalisi Arab Saudi ke Yaman dilancarkan setelah Houthi, milisi dukungan Iran, menguasai Sana’a pada 2014.
Iran, setelah berbulan-bulan berunding, saat ini semakin dekat untuk kembali mencapai kesepakatan nuklir dengan sejumlah negara kekuatan utama dunia. Kesepakatan nuklir itu dimaksudkan untuk mengendalikan program nuklir Iran dengan imbalan Iran dilepaskan dari sanksi-sanksi ekonomi.
Ketika pertama kali melancarkan serangan militer ke Yaman pada 26 Maret 2015, koalisi pimpinan Arab Saudi terdiri atas sembilan negara. Kini, koalisi itu tinggal berkekuatan Arab Saudi dan, hingga batas tertentu, juga Uni Emirat Arab (UEA). UEA mengatakan telah menarik tentaranya dari Yaman, tetapi masih menjadi mitra berpengaruh Arab Saudi dalam operasi militer ke Yaman.
Jeddah ”memerah”
Serangan Houthi ke Arab Saudi terakhir dilancarkan pada Jumat (25/3). Serangan itu berlangsung menjelang seri balap mobil Formula Satu di Jeddah, Minggu. Dalam serangan tersebut, Houthi menarget kilang minyak yang sama dengan target serangan mereka beberapa hari lalu di Jeddah utara.
Jeddah merupakan salah satu gerbang utama bagi para jemaah umrah atau haji di Mekkah. Lokasi serangan hanya berjarak sekitar 11 kilometer dari arena balap mobil Formula Satu, yang berlangsung pada Sabtu-Minggu ini.
Foto citra satelit dari Planet Labs PBC, yang dianalisis oleh kantor berita Associated Press (AP), memperlihatkan dua tangki minyak hancur menjadi sasaran serangan Houthi. Hingga Sabtu pagi, api yang melahap dua tangki minyak di tempat itu masih menyala. Asap tebal membubung ke angkasa, dari kobaran api yang membuat Jeddah seolah ”memerah”.
Serangan pada Jumat tersebut membuat beberapa penerbangan menuju Jeddah dihentikan. Ratusan penumpang yang akan terbang ke Jeddah tertahan di Bandar Udara Internasional Kairo. Maskapai Saudia Airlines mengumumkan pembatalan dua penerbangan, dengan total penumpang 456 orang, dari Kairo ke Jeddah. Flynas, maskapai berbiaya rendah Saudia Airlines, berpenumpang 146 orang juga membatalkan penerbangan ke Jeddah pada hari itu.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Sabtu (26/3), mengecam keras serangan Houthi ataupun serangan balasan koalisi pimpinan Arab Saudi. Ia menyerukan agar ”semua pihak benar-benar menahan diri secara maksimal” dan ”segera berunding untuk mengakhiri konflik”.
Israel, yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Arab Saudi, menyampaikan duka atas serangan Houthi. ”Serangan itu menjadi bukti lanjutan bahwa agresi Iran di kawasan tidak mengenal batas,” ujar Perdana Menteri Israel Naftali Bennets melalui cuitan di Twitter dalam pesan yang jarang disampaikan kepada Kerajaan Arab Saudi.
Adapun Presiden Perancis Emmanuel Macron juga mengecam keras serangan Houthi dan menyatakan solidaritas dengan Arab Saudi.
Peter Salisbury, pakar tentang Yaman dari lembaga International Crisis Group, ragu bahwa upaya-upaya yang berlangsung saat ini akan mampu menghasilkan kesepakatan damai yang bisa menghentikan perang dalam waktu dekat. Apalagi, perhatian internasional saat ini tengah terfokus pada krisis-krisis lain, termasuk perang di Ukraina.
”Saya benar-benar tidak terlalu optimistis bahwa kita akan melihat kemajuan diplomatik pada tahun 2022,” kata Salisbury. ”Cukup jelas bahwa semua pihak masih mencari jalan untuk meraup kemenangan sekaligus atau menimbulkan kerugian besar pada pihak lawan.” (AP/AFP/REUTERS)