Sejumlah isu membayangi kemeriahan perayaan 70 tahun Ratu Elizabeth naik takhta. Sentimen terhadap keluarga kerajaan berubah mengingat sejarah perbudakan semasa kolonial.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·4 menit baca
Perjalanan Pangeran William dan istrinya, Kate Middleton, ke wilayah Karibia seharusnya penuh keceriaan. Lawatan digelar sebagai rangkaian perayaan 70 tahun Ratu Elizabeth II naik takhta Kerajaan Inggris. Namun, tak semua berjalan sesuai rencana. Kesalahan ”kehumasan” membuat citra kunjungan itu kurang menguntungkan.
Alih-alih sambutan menyenangkan, William menghadapi seruan untuk meminta maaf atas perdagangan budak dan dosa-dosa masa lalu nenek moyangnya terhadap rakyat di wilayah tersebut. Warga di sejumlah tempat menggelar protes, bahkan menyatakan negaranya akan lebih baik tanpa Kerajaan Inggris.
Sebelum William dan Kate memulai kunjungan yang berlangsung pada 19-25 Maret 2022, warga sebuah desa di Belize yang hendak mereka kunjungi berunjuk rasa. Kunjungan pun terpaksa dialihkan ke tempat lain.
Kami bermaksud memenuhi ambisi dan takdir sejati kami sebagai negara yang merdeka, berkembang, dan makmur. (Perdana Menteri Andrew Holness)
Komite Ganti Rugi Nasional Bahama menyebut para bangsawan Inggris mendapat kekayaan dari darah, keringat, dan air mata para budak. Tanah koloni beserta warganya telah dijarah dan dirampas oleh monarki Inggris selama berabad-abad, menyebabkan mereka tertinggal pada era modern. ”Mereka dan keluarga kerajaan beserta pemerintah mereka harus mengakui bahwa aneka rupa perekonomian mereka dibangun di atas punggung leluhur kami. Mereka harus membayar,” sebut Komite dalam sebuah surat.
Di Jamaika, Perdana Menteri Andrew Holness menunjuk William saat berpidato di televisi dan mengatakan bahwa negaranya telah melangkah sebagai negara merdeka. ”Kami bermaksud memenuhi ambisi dan takdir sejati kami sebagai negara yang merdeka, berkembang, dan makmur,” katanya, seperti dikutip The New York Times.
Ungkapan PM Holness diamini rakyatnya. Di jalanan ibu kota Jamaika, Kingston, penyair Mutabaruka mengatakan, melepaskan Ratu Inggris akan membuat sedikit perbedaan bagi warga kebanyakan. ”Menjadikan Jamaika republik tidak akan mengubah harga bahan pangan, tetapi ada implikasi psikologis pada pikiran dan kesadaran orang. Ada signifikansi pada bagaimana kami memandang diri kami,” katanya.
Pemilik toko di Kingston, Tameka Thomas, malah lebih blak-blakan. ”Sudah waktunya berubah. Ratu Elizabeth adalah ratu di Inggris, bukan Jamaika. Dia seharusnya tetap di Inggris,” ujarnya.
Sebenarnya warga menyambut hangat William dan Kate dalam sejumlah perhentian kunjungan. Namun, sambutan itu dibayangi kesalahan dalam penampilan mereka. Misalnya saat parade militer, William dalam seragam kebesaran berkendara bersama Kate di atas mobil Land Rover beratap terbuka. Kendaraan itu sama dengan mobil yang membawa Ratu Elizabeth dan Pangeran Philip tahun 1962. Bagi warga lokal, ini gambaran pembesar kolonial menginspeksi pasukannya.
Di Trench Town, lingkungan yang terkenal sebagai tempat tinggal penyanyi Bob Marley, keduanya juga mencoba memainkan musik reggae dan berbaur dengan warga. Akan tetapi, gambaran itu tertutupi kejadian mereka bersalaman dengan anak-anak yang berdiri di balik pagar besi.
Walaupun William dalam pidato menggaungkan kembali kata-kata sang ayah, Pangeran Charles, tentang kesedihan mendalam, sejauh ini tidak ada permintaan maaf secara formal dari Kerajaan Inggris.
Sentimen
Sejumlah isu membayangi kemeriahan perayaan 70 tahun Ratu Elizabeth naik takhta. Gerakan Black Lives Matter yang bermula di Amerika Serikat bergema keras di wilayah Karibia. Sentimen terhadap keluarga kerajaan sejak itu berubah mengingat sejarah perbudakan semasa kolonial.
Kerajaan Inggris berperan penting dalam perdagangan budak pada abad ke-16. Raja Charles II pada tahun 1600-an mendorong ekspansi perdagangan. Ia bersama saudaranya, yang kelak menjadi Raja James II, berinvestasi di Royal African Company. Perusahaan itu mengirim ratusan ribu perempuan, laki-laki, dan anak-anak dari berbagai penjuru Benua Afrika menyeberangi Atlantik. Putra Raja George III, yakni Raja William IV, menentang penghapusan perbudakan, tetapi gagal. Inggris kemudian melarang perdagangan budak trans-Atlantik tahun 1807 dan di seluruh wilayah koloninya tahun 1833.
Keputusan Barbados untuk memisahkan diri dari Kerajaan Inggris menjadi puncaknya. ”Barbados dilihat sebagai negara konservatif di Karibia. Maka, ketika Barbados mengambil langkah itu, tercipta ruang bagi negara lain di Karibia untuk melangkah ke arah yang sama,” kata Richard Drayton, profesor sejarah kerajaan di Kings College London, dilansir The New York Times.
Memori penderitaan masa lalu inilah yang mendorong perubahan sikap negara-negara di Karibia terhadap Kerajaan Inggris, seperti diungkapkan Olivette Otele, profesor sejarah perbudakan pada University of Bristol. Tak hanya gerakan Black Lives Matter, kemarahan akibat perlakuan terhadap migran asal Karibia yang tiba di Inggris setelah Perang Dunia II turut mencuat. Ribuan orang yang disebut generasi Windrush ditangkap atau dideportasi kendati tiba di Inggris secara legal.
”Permintaan maaf tidak akan cukup. Orang ingin melihat lebih. Mereka ingin melihat perubahan. Mereka tahu ada kaitan antara masa lalu dan masa kini,” ujar Otele.
Ratu Elizabeth menjadi kepala negara resmi bagi bekas koloni Inggris, seperti Kanada, Australia, Belize, Bahama, dan Jamaika. Dia hanya simbol pemimpin, bukan pengambil keputusan politis. Organisasi terpisah disebut Negara-negara Persemakmuran, terdiri dari 54 negara, hampir semuanya bekas koloni Kerajaan Inggris. Fokus utama organisasi ini adalah mempromosikan demokrasi dan pembangunan. (AFP/REUTERS)