Taliban Kembali Tutup Pintu Sekolah bagi Remaja Putri Afghanistan
Baru dibuka, langsung ditutup. Demikianlah nasib sekolah untuk remaja putri Afghanistan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
KABUL, RABU — Anak-anak perempuan Afghanistan harus kembali menelan kekecewaan. Baru beberapa jam kembali bersekolah di SMP dan SMA, mereka terpaksa harus pulang ke rumah. Sebab, sekolah harus ditutup lagi karena Taliban mengeluarkan kembali larangan remaja perempuan remaja bersekolah.
”Betul. Kami mengeluarkan larangan tersebut,” kata Juru Bicara Taliban Imanullah Samangani ketika dimintai keterangan di Kabul, Rabu (23/3/2022). Akan tetapi, dia tidak memberi penjelasan lebih lanjut alasan Taliban menarik kembali keputusan mengizinkan remaja perempuan bersekolah.
Taliban mengambil alih pemerintahan Afghanistan pada Agustus 2021. Peristiwa ini menambah beban masyarakat negara itu. Pejabat Komunikasi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) Afghanistan, Salam Al Janabi, dalam wawancara khusus dengan Kompas pada Oktober 2021 mengungkapkan bahwa sesungguhnya mayoritas sekolah di Afghanistan sudah tutup sejak 2019.
”Kemarau berkepanjangan mengakibatkan munculnya konflik-konflik horizontal. Keluarga-keluarga miskin banyak yang terpaksa meninggalkan kampung halaman demi mencari penghidupan baru. Anak-anak banyak yang putus sekolah demi bekerja mencari nafkah. Akibatnya, sekolah-sekolah di pedesaan dan kota-kota kecil banyak yang tutup karena tidak ada murid,” paparnya.
Ketika Taliban merebut pemerintahan, sekolah-sekolah ditutup dengan alasan masih pandemi Covid-19. Taliban juga mengumumkan bahwa akan ada aturan baru mengenai posisi perempuan di masyarakat. Pegawai-pegawai perempuan disuruh berhenti kerja untuk sementara waktu hingga ada pengumuman lebih lanjut. Demikian pula anak-anak perempuan.
Taliban kemudian mengatakan bahwa anak perempuan tetap harus mengenyam pendidikan. Akan tetapi, khusus untuk SMP ke atas, proses pendidikannya dipisah dari laki-laki. Di perguruan tinggi telah dilakukan pemisahan ruang-ruang kelas. Ada pula kelas mahasiswi yang diajar oleh dosen laki-laki melalui metode daring. Di jenjang SD, sekolah untuk anak laki-laki dan perempuan telah berlangsung seperti biasa. Tinggal anak-anak perempuan usia SMP dan SMA menunggu giliran diperbolehkan melanjutkan pendidikan mereka.
”Kita negara yang masih membangun, pasti membutuhkan banyak dokter dan insinyur. Saya ingin menjadi dokter supaya bisa bermanfaat di masyarakat,” kata Alina Nazari (14), siswi kelas IX, di Kabul. Ayahnya adalah pengemudi taksi. Alina tidak mempermasalahkan ia tidak memiliki buku-buku dan perlengkapan sekolah terbaru. Hal paling penting adalah ia bisa kembali bersekolah.
Harapan serupa diutarakan Marwa Ayubi (18), siswi kelas XII di Kandahar. Ia tidak ingin berakhir seperti ibunya yang putus sekolah ketika Taliban berkuasa di Afghanistan pada 1990-an. Marwa menginginkan kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan dirinya. ”Saya paham, jika lulus sekolah pun, perempuan belum tentu boleh bekerja. Tapi, saya harus berusaha. Pokoknya, sekolah dulu biarpun harus memakai cadar,” ujarnya.
Berbagai komunitas internasional meminta Taliban benar-benar memperhatikan kesejahteraan penduduk dan pentingnya peran perempuan di masyarakat. Hal ini tidak cukup dengan pernyataan-pernyataan di dalam jumpa pers. Taliban harus menunjukkan tindakan nyata jika tetap menginginkan bantuan dana dari negara lain maupun organisasi internasional.
Kementerian Pendidikan Taliban pekan lalu mengumumkan, sekolah-sekolah akan dibuka di Kabul dan provinsi di bagian utara Afghanistan. Wilayah bagian selatan Afghanistan, termasuk Kandahar, baru akan membuka sekolah-sekolah untuk perempuan pada April. Tidak ada keterangan lebih lanjut yang menyertai pengumuman itu.
Juru Bicara Kementerian Pendidikan Taliban Aziz Ahmad Rayan menuturkan, pembukaan kembali SMP dan SMA untuk siswa perempuan bukan demi menuruti kemauan internasional ataupun demi memperoleh sumbangan. Sejak awal, Taliban memperhatikan perkembangan pendidikan kaum perempuan dengan syarat pemisahan murid laki-laki dan perempuan berusia 12-19 tahun.
Kebijakan mutakhir itu membuat sebagian masyarakat Afghanistan pesimistis dengan masa depan perempuan di negara itu. Menurut mereka, janji-janji Taliban paradoks. Anak perempuan diminta bersekolah. Namun di dunia profesional, perempuan justru diminta berhenti bekerja.
Lembaga internasional hak asasi manusia, Human Rights Watch, mengeluarkan tanggapan atas situasi ini. Menurut lembaga itu, memaksa perempuan terdidik untuk terus di rumah tidak akan memperbaiki ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. (AFP)