Ramos-Horta Hadapi Tantangan Guterres di Putaran Kedua Pilpres Timor Leste
Memasuki persaingan di putaran kedua pemilu presiden Timor Leste melawan Jose Ramos-Horta, Francisco Guterres menyatakan akan mencari dukungan dan membentuk aliansi dengan semua partai yang tidak lolos ke putaran kedua.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
DILI, SELASA – Dua kandidat teratas dalam pemilihan umum presiden Timor Leste, Jose Ramos-Horta dan Francisco "Lu Olo" Guterres, bakal berhadapan dalam putaran kedua pemilihan yang akan digelar pada 19 April 2022. Hingga akhir perhitungan hasil perolehan suara putaran pertama pilpres, Ramos-Horta unggul lebih dari dua kali lipat perolehan suara Guterres.
Namun, perolehan suara Ramos-Horta tidak mencapai keunggulan lebih dari 50 persen suara sebagai syarat kemenangan yang ditentukan komisi pemilihan umum (KPU). Karena itu, pemilu dilanjutkan ke putaran kedua.
Ramos-Horta meraih suara mayoritas dengan cakupan 46,58 persen dari total suara. Sedangkan Guteres, yang juga presiden petahana, meraih dukungan 22,16 persen suara pemilih.
Pejabat tinggi KPU setempat, Acilino Manuel Branco, dalam sambutan yang disiarkan televisi di Dili, mengatakan bahwa seluruh suara yang dihitung selanjutnya akan diverifikasi dan divalidasi. Hasil akhir selanjutnya akan diumumkan secara resmi. Jika suara perolehan Ramos-Horta tidak lebih dari 50 persen dari seluruh suara sah, gelaran pilpres akan berlanjut pada putaran kedua. Presiden terpilih Timor Leste akan dilantik pada 20 Mei mendatang.
Berbicara di istana kepresidenan, Selasa (22/3/2022), Guterres mengatakan bahwa dirinya akan mencari dukungan dan membentuk aliansi dengan semua partai yang tidak lolos ke putaran kedua. “Ayo maju ke putaran kedua karena tidak ada calon yang keluar sebagai pemenang dan tidak ada calon yang keluar sebagai pecundang, sekarang kita mulai lagi dari nol,” kata dia, seperti dikutip Australia Associated Press.
Sementara sebelumnya, Ramos-Horta menyatakan dirinya yakin akan menang di pilpres kali ini. Ia menyebut para pemilihnya bakal menyebabkan terjadinya “gempa politik di parlemen nasional”.
Pilpres tahun ini menandai 20 tahun pemisahan Timor Lester dari Indonesia. Para pemilih menuju ke tempat pemungutan suara pada Sabtu (19/3/2022) pekan lalu untuk memilih kandidat pilihan mereka dari total 16 kandidat untuk masa jabatan lima tahun mendatang. Pilpres kali ini disebut menjadi ajang pemilihan yang paling kompetitif dalam sejarah negara itu.
Tanpa insiden
Peristiwa besar politik di Timor Timur seringkali ternoda oleh kekerasan dan konflik. Namun, para pengamat mengatakan, pemungutan suara tahun ini dapat dikatakan berlalu tanpa insiden. "Timor-Leste menyelenggarakan pemilu yang kredibel, transparan, dan damai," kata Domenec Ruiz Devesa, Kepala Pemantau Misi Pengawasan Pemilu Uni Eropa, dalam siaran persnya.
Ramos-Horta dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1996 atas usahanya menuju solusi damai untuk konflik di Timor Timur, nama lama Timor Leste. Ia memimpin negara itu dalam posisinya sebagai presiden dari 2007 hingga 2012. Ia kemudian memutuskan “keluar” dari masa pensiunnya untuk menantang Guterres dalam ajang pilpres.
Ketegangan politik antara dua partai utama negara itu--Front Revolusioner untuk Timor Timur Merdeka (Fretilin), yang mengusung Guterres, dan Kongres Nasional Rekonstruksi Timor-Leste (CNRT), yang mengusung Ramos-Horta--telah meningkat dalam empat tahun terakhir. Ketegangan itu mengakibatkan kebuntuan politik, salah satunya mewujud pada kegagalan pemerintah negara itu meloloskan anggaran selama beberapa tahun. Ekonomi negara berpenduduk 1,3 juta jiwa itu pun terpuruk dan nyaris lumpuh selama pandemi Covid-19.
Pada tahun 2018, Guterres selaku presiden petahana menolak untuk mengangkat tujuh menteri dari CNRT, partai politik yang dipimpin oleh presiden pertama Timor Leste, Xanana Gusmao. Alasannya adalah digelarnya penyelidikan yudisial atas dugaan pelanggaran mereka. Langkah Guterres itulah yang kemudian memicu kebuntuan politik yang berkepanjangan di Timor Leste.
Media Australia, The Age, melaporkan bahwa di tengah perselisihan sengit antara partai-partai besar di mana koalisi pemerintahan Timor Leste telah runtuh, partai CNRT diperkirakan ingin Ramos-Horta membalas budi terhadap CNRT yang telah mencalonkannya. Partai itu saat ini berada di barisan oposisi dan menganggap pemerintah koalisi saat ini yang dipimpin oleh Perdana Menteri Taur Matan Ruak tidak sah.
Ketegangan antara Fretilin dan CNRT juga menyebabkan pengunduran diri Matan Ruak pada Februari 2020 setelah pemerintah berulang kali gagal meloloskan anggaran. Belakangan, Ruak setuju untuk memegang jabatan itu sampai pemerintahan baru terbentuk dan untuk mengawasi penanggulangan melawan pandemi Covid-19 Pemerintahannya telah beroperasi tanpa anggaran tahunan dan mengandalkan suntikan bulanan dari simpanan dana negaranya, yang disebut Dana Perminyakan.
Fretilin mengatakan bahwa Ramos-Horta tidak layak menjadi presiden. Fretilin juga menuduhnya sebagai penyebab krisis saat ia menjabat perdana menteri pada tahun 2006. Kala itu, puluhan orang terbunuh di tengah memanasnya persaingan politik yang berubah menjadi konflik terbuka di jalan-jalan Dili. Bentrokan antara pendukung Fretilin dan CNRT juga pecah pada tahun 2018, menyebabkan puluhan orang terluka dan mobil-mobil dibakar. (AP/AFP/REUTERS)