Ramos-Horta Pimpin Perolehan Suara Pilpres Timor Leste
Ramos-Horta pernah menjadi Presiden Timor Leste pada periode 2007-2012. Pekan lalu ia mengaku terdorong untuk mencalonkan diri lagi setelah dia menganggap tindakan presiden petahana telah melanggar konstitusi.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·3 menit baca
DILI, SENIN – Mantan Presiden Timor Leste yang juga peraih Nobel Perdamaian, Jose Ramos-Horta, untuk sementara unggul dalam pemilihan presiden Timor Leste. Horta memimpin dengan perolehan suara sebesar 45,7 persen dari 64 persen suara yang telah dihitung. Pilpres akan dilanjutkan ke periode kedua pada 19 April 2022 jika tidak ada kandidat yang meraih mayoritas suara.
Merujuk pada Badan Administrasi Pemilihan Timor Leste, Ramos-Horta unggul atas Fransisco "Lu Olo" Guterres yang meraih 22,5 persen suara. Guterres adalah presiden petahana dan mantan gerilyawan Fretilin. Hasil resmi pilpres diperkirakan akan diketahui pada Kamis (24/3/2022). Selain Horta dan Guterres, terdapat 14 kandidat presiden lainnya. Empat di antara para kandidat adalah kandidat perempuan. Pemenang pilpres akan dilantik pada 20 Mei. Sejauh ini perolehan suara para kandidat itu di bawah 10 persen.
Berbicara di ibu kota Timor Leste, Dili, pada Minggu (20/1), Ramos-Horta mengatakan dia yakin akan meraih kemenangan awal. Seperti dikutip media Timor Leste, Dili Post, dirinya berterima kasih kepada semua individu dan pihak yang telah berkontribusi dalam dukungan terhadap dirinya. “Keunggulan di putaran pertama ini akan menyebabkan ‘gempa politik’ di parlemen nasional yang menyebabkan perpecahan di koalisi saat ini,” kata Ramos-Horta.
Ramos-Horta tahun ini menginjak usia 72 tahun. Ia pernah menjadi Presiden Timor Leste pada periode 2007-2012. Pekan lalu ia mengaku terdorong untuk mencalonkan diri lagi setelah dia menganggap tindakan presiden petahana telah melanggar konstitusi. Di Timor Leste, presiden bertanggung jawab untuk menunjuk pemerintah dan juga memiliki kekuasaan untuk memveto menteri dan membubarkan parlemen.
Pada tahun 2018, Guterres selaku presiden petahana menolak untuk mengangkat tujuh menteri dari Kongres Nasional Rekonstruksi Timor (CNRT), partai politik yang dipimpin oleh presiden pertama Timor Leste, Xanana Gusmao. Alasannya adalah digelarnya penyelidikan yudisial atas dugaan pelanggaran mereka. Langkah Guterres itu telah memicu kebuntuan politik yang berkepanjangan hingga saat-saat ini. Timor Leste yang berpenduduk 1,3 juta terus berupaya mewujudkan stabilitas politik dan pembangunan.
Ramos-Horta telah berkampanye dengan platform untuk memulihkan stabilitas politik di Dili setelah gejolak bertahun-tahun itu. Menurut media Australia, The Age, di tengah perselisihan sengit antara partai-partai besar di mana koalisi pemerintahan Timor Leste telah runtuh, partai CNRT mungkin ingin Ramos-Horta membalas budi karena mendukung pencalonannya sebagai presiden. Partai itu saat ini berada di barisan oposisi dan menganggap pemerintah koalisi saat ini yang dipimpin oleh Perdana Menteri Taur Matan Ruak tidak sah.
Pakar politik Timor Leste di Universitas Teknologi Swinburne, Australia, Profesor Michael Leach menilai siapa pun presiden Timor Leste yang terpilih akan menghadapi tantangan awal untuk menyatukan partai-partai politik di negara itu yang terpecah-pecah. Ramos-Horta dinilainya mendapat tekanan dari para mendukungnya untuk membubarkan parlemen. Pemilihan yang sebenarnya dijadwalkan pada tahun 2023 didesak oleh CNRT untuk digelar tahun ini. “Tekanan penyeimbang yang akan dia hadapi adalah bahwa presiden adalah kepala negara dan perlu membawa seluruh negara bersamanya dan menyatukan negara. Pembubaran parlemen akan menjadi kontroversial secara politik, jadi itu adalah sesuatu yang perlu diatur oleh presiden melalui pembentukan pemerintahan,” kata Leach.
Leach yakin dukungan Xanana terhadap Ramos-Horta menunjukkan bahwa dia bercita-cita untuk merebut kembali jabatan perdana menteri. Kembalinya dia ke jabatan itu akan memungkinkan Xanana melanjutkan dorongan untuk mengembangkan ladang minyak dan gas Greater Sunrise dengan proyek Tasi Mane. Proyek senilai 18 juta dollar AS itu mandek sejak dua tahun lalu.
Dalam sistem semi-presidensial Timor Leste, presiden tidak memiliki kekuatan dalam hal kebijakan. Namun presiden dapat membubarkan parlemen, memveto undang-undang dan pengangkatan menteri. Hal itu seperti yang dilakukan Guterres setelah pemilihan parlemen terakhir pada tahun 2018, dengan menolak beberapa nama yang diajukan oleh kubu CNRT. (REUTERS)