Parlemen Dunia Suarakan Solusi Damai untuk Konflik Rusia-Ukraina
Forum Parlemen Dunia sepakat untuk membahas konflik Rusia-Ukraina sebagai topik mendesak untuk dibahas dalam sidang Inter-Parliamentary Union 2022.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Forum Parlemen Dunia mendorong resolusi damai untuk menyelesaikan konflik antara Rusia dan Ukraina secara dialog. Parlemen diharapkan bisa aktif melakukan aksi kolektif untuk membangun perdamaian. Terobosan ini diapresiasi karena umumnya perdamaian lebih sering diupayakan oleh lembaga eksekutif, bukan legislatif.
Resolusi damai untuk menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina diusulkan oleh parlemen Indonesia dan Selandia Baru sebagai kondisi darurat (emergency item) yang perlu dibahas dalam sidang ke-144 Inter-Parliamentary Union (IPU) di Bali Convention Center, Kabupaten Badung, Bali. Pada Minggu (20/3/2022), DPR mengajukan proposal berjudul ”Peran Parlemen dalam Mendukung Resolusi Damai untuk Konflik Rusia-Ukraina”. Sehari setelahnya, Selandia Baru juga menyerahkan proposal ”Resolusi Damai terhadap Perang di Ukraina, Penghormatan terhadap Hukum Internasional, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Integritas Teritorial”.
Kedua negara mempresentasikan proposal masing-masing pada Senin (21/3/2022) sore. Presentasi diikuti dengan pemungutan suara untuk memilih proposal yang akan dipilih sebagai dasar pembahasan kondisi darurat dalam sidang IPU 2022. Dari sekitar 1.000 delegasi dari 115 negara, Indonesia meraih sekitar 300 suara, sedangkan Selandia Baru unggul dengan perolehan sekitar 500 suara. Sementara itu, delegasi lainnya memilih untuk abstain.
Seusai pemungutan suara, Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR Fadli Zon mengatakan, perolehan suara bukan masalah berarti. Indonesia tidak menargetkan kemenangan suara, tetapi ingin menyampaikan bahwa jalan dialog dan diplomasi masih terbuka untuk menyelesaikan masalah Rusia-Ukraina. Selain itu, baik proposal Indonesia maupun Selandia Baru memuat gagasan serupa, yakni resolusi damai dengan jalan dialog.
”Kami sudah mencapai target, yakni memoderasi proposal yang sebelumnya sangat keras. Sebagai tuan rumah, Indonesia tidak ingin ini menjadi ajang untuk mengutuk salah satu pihak,” lanjut Fadli.
Sebelumnya, Ukraina telah mengajukan proposal yang berisi usulan kondisi darurat untuk dibahas dalam sidang IPU. Proposal itu berjudul ”Agresi Rusia dan Belarusia terhadap Ukraina”, yang dipenuhi dengan pernyataan mengecam dan mengutuk aksi Rusia. Belakangan, proposal dicabut dari daftar usulan.
Menurut Fadli, hal itu bisa dipahami mengingat posisi Ukraina yang diserang Rusia. Akan tetapi, Indonesia tidak ingin terjebak dalam kecaman terhadap salah satu pihak, tetapi bisa menjadi jembatan dialog antarpihak. Selain terkait perdamaian, hal itu juga penting untuk mempertahankan keanggotaan kedua negara di IPU.
Louisa Wall, anggota parlemen sekaligus pemimpin delegasi Selandia Baru, mengatakan sepakat dengan proposal yang disampaikan Indonesia. Akan tetapi, negaranya juga membuat usulan sendiri yang menekankan bahwa perang di Ukraina berdampak kepada seluruh dunia. Pihaknya percaya, parlemen bisa berperan penting untuk mendekatkan dialog dan resolusi damai. Ajang IPU juga merupakan momentum yang baik untuk mendorong dialog di antara parlemen di dunia serta dua negara yang tengah berkonflik.
Meski sebagian besar menerima, sejumlah delegasi juga menolak usulan tersebut. Salah satunya, Gabriela Morawska-Stanecka, pemimpin delegasi Polandia, mengatakan, pihaknya dan kelompok negara G12+ menolak proposal Indonesia. Sebab, apa yang terjadi di Ukraina tidak bisa disebut sebagai konflik biasa, tetapi perang. Hal itu tidak bisa dibenarkan, bersifat provokatif, dan tidak pernah terbayangkan akan terjadi sejak peristiwa Perang Dunia II.
Menjaga demokrasi
Sementara itu, Ketua DPR Puan Maharani menambahkan, di tengah dinamika politik global, parlemen perlu menunjukkan peran sebagai penjaga demokrasi. Hal itu dilakukan, antara lain, dengan mempromosikan demokrasi yang menjamin kebebasan, hak asasi manusia (HAM), dan pemerintahan. Sebab, di tengah pandemi Covid-19, penerapan demokrasi dunia menghadapi sejumlah tantangan, yakni dengan terjadinya konflik Rusia-Ukraina, krisis demokrasi di Myanmar, serta belum tercapainya kemerdekaan penuh di Palestina.
Menurut Puan, IPU 2022 merupakan kesempatan bagi parlemen dunia untuk menyelesaikan berbagai tantangan tersebut. Kebiasaan untuk berdialog dan berdiplomasi perlu terus dibangun. Semua negara harus mematuhi hukum internasional, Piagam PBB, dan menghormati integritas teritori suatu negara. ”Kita harus melakukan diplomasi preventif untuk menghindari terjadinya perang dan konflik,” ucapnya.
Puan mengatakan, demokrasi juga berperan penting dalam menjaga perdamaian. Mekanisme checks and balances yang diterapkan pada negara demokrasi dapat menghindari adanya kekuasaan absolut dalam pemerintahan. ”Karena itu, akan sulit bagi negara demokrasi untuk memulai perang,” ujar Puan.
Secara terpisah, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengapresiasi usulan Indonesia terkait konflik Rusia-Ukraina. Selain substansi yang tepat, ia juga menilai hal tersebut sebagai terobosan penting yang menandakan Indonesia tidak pernah lelah untuk mengupayakan perdamaian.
”Ini merupakan terobosan karena biasanya perdamaian diupayakan oleh pihak eksekutif. Namun, ini dilakukan oleh legislatif,” lanjutnya.