Lebih dari tiga pekan, kota Mariupol dikepung militer Rusia. Bangunan rumah tinggal dan bangunan bersejarah hancur, luluh lantak diterjang timah panas dan rudal Rusia. Jenazah, termasuk anak-anak, dimakamkan seadanya.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Setelah beberapa pekan berusaha mengumpulkan ekspatriat Yunani, Manolis Androulakis akhirnya bisa bernapas lega. Konsul Jenderal Yunani di Mariupol, Ukraina, itu bisa menjejakkan kaki di Athena, Minggu (20/3/2022), dalam kondisi selamat.
Meski begitu, invasi Rusia ke Ukraina telah merenggut nyawa setidaknya 10 warga Yunani yang tinggal di kota pelabuhan di tenggara Ukraina itu, dari sekitar total 100.000 jiwa. Seperti halnya warga Ukraina lain yang berjuang untuk keluar dari negaranya, mengungsi demi keselamatan diri mereka, tidak mudah bagi Androulakis untuk keluar. Butuh waktu setidaknya sepekan baginya untuk bisa terbang ke Athena.
Bersama 10 warga Yunani lainnya, Androulakis keluar dari Mariupol pada Selasa (15/3). Mereka keluar dari Mariupol dengan berjalan ke arah barat, keluar melalui Moldova dan kemudian ke Romania. Dari sana, dia terbang ke Athena.
Menurut kantor Kementerian Luar Negeri Yunani, Androulakis adalah diplomat terakhir negara Uni Eropa yang meninggalkan Mariupol, yang telah dikepung tentara Rusia dan kelompok separatis Donetsk dukungan Kremlin sejak akhir Februari lalu. Bagi Androulakis, menyelamatkan warga Yunani dan ekspatriat sebanyak mungkin adalah hal yang bisa dan harus dilakukannya.
”Apa yang saya lihat, saya harap tidak ada yang pernah akan melihat,” kata Androulakis.
Pengepungan dan penghancuran
Sejak Kremlin memerintahkan invasi ke Ukraina, Mariupol menjadi salah satu kota yang menjadi target untuk dikuasai pasukan Rusia. Kota pelabuhan yang berpenduduk mendekati 500.000 jiwa itu menjadi salah satu simbol upaya Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menguasai Ukraina.
Mariupol menjadi target penaklukan karena, selain sebagai kota industri dan pelabuhan pendukung ekonomi Ukraina, secara geografis kota ini menjadi jembatan wilayah yang dikuasai kelompok separatis Donetsk yang didukung Rusia. Kota ini hanya berjarak sekitar 10 kilometer dari titik terdekat dengan Semenanjung Crimea yang dianeksasi Rusia pada 2014. Menguasai kota ini bisa memuluskan arus pasukan Rusia dari Crimea ke Kiev serta mengendalikan Laut Azov yang ada di hadapan Mariupol.
Sejak awal Maret, Mariupol telah gelap gulita dan kekurangan pasokan bahan pangan. Dikutip dari laman BBC, warga yang memilih bertahan harus pintar-pintar mengatur persediaan bahan pangan dan air minum yang mereka miliki. Sementara komunikasi telah terputus sejak akhir Februari saat pasukan Rusia mulai mengepung kota ini.
”Tidak ada kota lagi,” kata Marina Galla, warga Mariupol. Dia bertutur sambil menangis di pintu kompartemen kereta api yang akan membawanya ke Lviv, Ukraina barat. Dia mengungsi bersama putranya yang masih berusia 13 tahun, meninggalkan kedua orangtuanya dan neneknya yang sudah berusia lanjut.
Selama tiga pekan terakhir, Galla dan putranya berlindung di ruang bawah tanah Istana Budaya Mariupol. Bersama dengan puluhan warga lainnya, mereka bertahan hidup dengan bahan makanan yang seadanya. ”Kami tidak punya gas, air, tak ada cahaya. Kami tidak bisa berkomunikasi,” katanya.
Mereka sempat berupaya melarikan diri dari Mariupol, mencari kereta api yang akan bisa membawanya ke kota-kota di wilayah barat Ukraina. Di sepanjang jalan menuju ke titik kumpul, tentara Rusia yang ditemui memberikan saran yang dinilai Galla tak masuk akal: akan lebih baik untuk warga Mariupol pergi ke kota Meliteopol atau kota-kota yang diduduki Rusia, termasuk Crimea.
Korban akibat serangan militer Rusia ke kota itu terus bertambah. Menurut catatan otoritas setempat, setidaknya 2.500 warga Mariupol tewas, termasuk anak-anak. Jenazah anak-anak tidak berdosa ini tidak mendapatkan pemakaman yang layak. Jenazah mereka ditumpuk ke sebuah parit sempit bersama ratusan jenazah warga lain di salah satu sudut kota Mariupol.
Beberapa orang pria memindahkan tubuh-tubuh tak bernyawa yang sudah terbungkus ke dalam parit-parit tersebut secepat mungkin. Semakin sedikit waktu yang mereka habiskan di tempat terbuka seperti itu, semakin baik peluang mereka untuk bertahan hidup dari terjangan peluru atau rudal yang mungkin menyasar atau bahkan sengaja diarahkan ke sana.
”Satu-satunya (yang saya ingin) adalah menyelesaikan ini. Terkutuklah mereka semua, orang-orang yang memulai ini!” kata Volodymyr Bykovskyi, salah satu pekerja.
Hal seperti itulah yang disaksikan Androulakis selama beberapa pekan terakhir. Warga sipil yang dipukul secara membabi buta dan tak berdaya juga sering kali disaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Bangunan-bangunan bersejarah, rumah ibadah, dan rumah atau apartemen milik warga hancur, luluh lantak karena kota ini dihujani serangan rudal militer Rusia.
”Mariupol akan masuk dalam daftar kota di dunia yang hancur total akibat perang, seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya dengan Guernica, Stalingrad, Grozny, hingga Aleppo (Suriah),” kata Andraulakis.
Sergiy Gaiday, Kepala Administrasi Regional Luhanks, menggambarkan serangan militer Rusia ke kota-kota Ukraina, termasuk Mariupol, telah mengubah kota-kota yang sebelumnya ceria, penuh warna dan kehidupan, menjadi reruntuhan dan rata dengan tanah. Horor.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan, pengepungan Mariupol akan dianggap sebagai kejahatan perang. Pengepungan Mariupol akan diingat sebagai dosa selama berabad-abad mendatang. (AP/REUTERS)