Diminta Tinggalkan Rusia, Indonesia Jaga Fokus G-20
Dikabarkan ada tekanan dari sejumlah negara agar Indonesia tidak melibatkan Rusia dalam rangkaian G-20. Ini menjadi ujian bagi Indonesia sebagai Presiden G-20 sekaligus negara yang berpolitik bebas aktif.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai Ketua G-20, Indonesia berusaha menjaga organisasi itu fokus pada agenda utama sehingga menghasilkan output yang optimal. Namun, konflik kepentingan sejumlah negara besar-negara pada krisis Ukraina yang merembet ke G-20 membuat posisi Indonesia sulit. Bahkan, dikabarkan ada permintaan dari sejumlah negara agar Indonesia tidak melibatkan Rusia dalam agenda G-20.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah di Jakarta, Jumat (19/3/2022), mengatakan, tantangan konkret presidensi G-20 Indonesia adalah memastikan negara-negara anggota G-20 tetap fokus pada agenda utama G-20, khususnya upaya pemulihan ekonomi global. ”Dan menghindari, walaupun tidak mudah, proliferasi atau ekses dari konflik tersebut (Ukraina) ke forum G-20,” ucapnya.
Saat ditanya tentang konstelasi anggota-anggota G-20 terkait Rusia, Faizasyah mengatakan, Kemenlu masih terus memetakan seiring dengan bergulirnya proses G-20 dan konflik itu sendiri. Namun, setidaknya dapat diperkirakan, polarisasi dalam kerangka global akibat konflik tersebut akan terefleksi di berbagai forum internasional, termasuk G-20.
Untuk kementerian dan lembaga domestik pengampu kegiatan G-20, Faizasyah menambahkan, Kemenlu memberikan pendampingan. Esensinya adalah agar mereka bisa memahami skala permasalahan dan dinamika global yang terjadi serta agar dapat fokus pada agenda utama G-20. ”Saat ini, segala sesuatunya masih sangat dinamis dan berproses. Ibu Menlu dan tim di Kemenlu terus mengeksplorasi beragam pilihan opsi,” katanya.
Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Muhadi Sugiono, mengatakan, sudah ada permintaan untuk mengecualikan Rusia dalam serangkaian rapat persiapan dan pertemuan G-20. Permintaan atas alasan Rusia menyerang Ukraina sejak 24 Februari 2022 itu disampaikan oleh negara-negara yang telah menjatuhkan sanksi ke Moskwa.
Sanksi itu termasuk larangan masuk bagi sejumlah pihak di Rusia ke negara pemberi sanksi. Larangan itu bisa menyulitkan Indonesia jika ada agenda G-20 yang harus digelar di negara yang menjatuhkan sanksi.
”Target-target keketuaan Indonesia sulit dicapai tanpa dukungan China, India, Afrika Selatan. Juga sulit kalau G-7 tidak mendukung,” ujar Muhadi.
G-7 penting karena masih mendominasi perekonomian global, terutama di sektor keuangan. Namun, perekonomian global juga terus berkembang di luar tujuh negara terkaya itu. Lebih dari 80 persen populasi global tinggal di luar anggota G-7. G-7 meliputi Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Kanada, Italia, dan Jepang.
Muhadi mengingatkan, aktor-aktor dalam G-20 tidak hanya AS dan sekutunya serta Rusia. Ada Arab Saudi, Afrika Selatan, China, hingga India yang terbukti punya kepentingan masing-masing. ”Arab Saudi terbukti tidak mau menurut saja kepada AS. India juga demikian,” kata Muhadi.
Tantangan bagi kepemimpinan Indonesia di G-20, menurut Muhadi, adalah fakta bahwa hubungan AS dan sekutunya dengan Rusia sudah tidak lagi pada tahap konflik, tetapi sudah pada permusuhan ideologis. Oleh karena itu, persoalan ini cenderung lebih sulit dicarikan titik tengahnya. ”Jika masalahnya masih soal kepentingan, masih ada peluang mencari jalan tengah. Jika masalahnya sudah sampai menegasikan atau meniadakan pihak lain, akan sulit dicari komprominya,” katanya.
Pengajar Hukum Internasional pada Universitas Indonesia, Aristyo Darmawan, mengatakan, kehadiran AS dan sekutunya di G-7 ataupun Rusia sama pentingnya di G-20. Tanpa G-7, G-20 akan kehilangan signifikansinya. Sebab, G-7 masih menjadi pemain utama global. Di sisi lain, Indonesia akan kehilangan netralitasnya jika tidak mengundang Rusia dalam rangkain pertemuan G-20 di bawah keketuaan Indonesia.
”Akan menjadi bumerang, mengonfirmasi keberpihakan Indonesia pada Amerika Serikat. Indonesia akan semakin dianggap mudah disetir Amerika Serikat dan sekutunya jika setuju tidak mengundang Rusia. Kepercayaan kepada Indonesia, yang selama ini terkenal bisa diterima sejumlah pihak, akan tergerus,” ujarnya.
Kehadiran Rusia di forum-forum G-20 bukan hanya kepentingan Jakarta dan Moskwa. G-7 sebenarnya justru sangat berkepentingan dengan kehadiran Rusia di rangkaian kegiatan G-20. Sebab, G-20 dibentuk untuk merangkul kekuatan-kekuatan yang berkembang di luar tujuh negara terkaya itu.
”Kalau tidak dirangkul, akan tumbuh persaingan baru,” ujar Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Mohamad Dian Revindo.
Pengecualian Rusia dari G-20, Revindo melanjutkan, akan melanggar esensi dasar organisasi itu. Oleh sebab itu, Indonesia perlu menanggapi wacana pengecualian Rusia secara serius. Sebab, ada pihak-pihak yang menolak dan mendukung wacana itu. Pendukung dan penolaknya sama-sama berkontribusi penting bagi perekonomian global.
”Secara ekonomi, Indonesia sekarang condong ke China. Akan tetapi, blok yang dipimpin Amerika Serikat menguasai infrasktruktur keuangan global, seperti IMF, Bank Dunia,” kata Revindo.
Dalam situasi sekarang, netralitas Indonesia dipandang sebagai keberpihakan kepada Rusia. Di sisi lain, Indonesia juga bisa dianggap berpihak ke AS dan sekutunya jika membiarkan forum G-20 dipakai untuk mengecam Rusia.
Dalam situasi sekarang, netralitas Indonesia dipandang sebagai keberpihakan kepada Rusia. Di sisi lain, Indonesia juga bisa dianggap berpihak ke AS dan sekutunya jika membiarkan forum G-20 dipakai untuk mengecam Rusia. ”Indonesia bisa dianggap gagal kalau itu (kecaman pada Rusia di forum G-20) terjadi,” kata Revindo.
Indonesia perlu menelaah secara mendalam apakah para pendukung Rusia akan memutus kerja sama dengan Indonesia apabila Indonesia dianggap berpihak kepada Barat. Hal ini penting karena hubungan ekonomi Indonesia dengan pihak-pihak yang tidak menyokong kecaman terhadap Rusia terhitung mendalam. Dengan China, misalnya, rata-rata separuh ekspor Indonesia ditujukan negara itu. Di sisi lain, Indonesia juga butuh dukungan lebih luas dari G-7 jika ingin target kepemimpinannya di G-20tercapai.