Tak Seindah Drama Korea
Yoon Suk-yeol (61) terpilih menjadi presiden Korea Selatan dengan kemenangan tipis, 49 persen suara. Yoon berhasil menggaet dukungan anak muda laki-laki yang frustrasi dengan situasi ekonomi dan diskriminasi jender.
Masih ingat film Korea Selatan Kim Ji-young: Born 1982 yang diangkat dari novel berjudul sama karya Cho Nam-ju tahun 2016? Film yang dirilis tahun 2019 itu mengisahkan fenomena diskriminasi terhadap perempuan di Korsel. Gambaran ketidaksetaraan jender di Korsel terlihat jelas di film yang berangkat dari kisah nyata yang dialami Cho itu. Budaya patriarki menjadi sumber persoalan. Perempuan Korsel secara tradisional harus tinggal di rumah mengurus rumah dan anak. Sementara laki-laki yang harus keluar rumah dan bekerja.
Isu ketidaksetaraan jender ini menguat selama pemilihan presiden Korsel, pekan lalu. Kandidat Partai Kekuatan Rakyat yang konservatif, Yoon Suk-yeol (61), menang tipis dari kandidat Partai Demokratik Korea, Lee Jae-myung, dengan 49 persen suara. Yoon menang antara lain karena mengusung isu ketidaksetaraan jender sebagai strategi kampanye dan pemenangan pemilu. Hanya, alih-alih memperjuangkan hak perempuan, ia menyuarakan aspirasi laki-laki dan gerakan antifeminisme yang belakangan menguat di kalangan anak muda laki-laki Korsel.
Harian Financial Times edisi 14 Maret 2022 menyebutkan, Yoon terpilih di saat rakyat sedang frustrasi dengan situasi ekonomi dan kesenjangan kesejahteraan yang kian lebar. Padahal, Korsel termasuk negara dengan perekonomian terbesar ke-10 dan eksportir terbesar ketujuh di dunia. Kekuatannya ada pada manufaktur semikonduktor, baterai kendaraan listrik, dan kecerdasan buatan. Perekonomian Korsel juga tumbuh 4 persen pada 2021, pertumbuhan tahunan tercepat dalam 11 tahun. Semua berkat meningkatnya ekspor.
Di tengah kesuksesan ekonomi, harga properti di ibu kota Seoul melambung hingga 22 persen pada 2020. Ini membuat banyak orang kehilangan hak kepemilikan dan tak bisa lagi tinggal di Seoul. Tak hanya itu. Pekerjaan bergaji tinggi juga kian susah didapat karena persaingan amat ketat. Bagi generasi muda Korsel yang lahir tahun 1990-an, ini menyesakkan. Belum lagi anak muda laki-laki usia 18-28 tahun masih harus menjalani wajib militer (wamil) selama 18 bulan, sementara perempuan tidak. Bagi generasi muda laki-laki, ini tak adil. Bukan begini seharusnya kesetaraan jender. Anak muda laki-laki yang frustrasi, marah, dan putus asa dengan kondisi ini yang akhirnya memilih mendukung Yoon.
Baca Juga: Bom Waktu Kependudukan Korea Selatan
Berbeda dengan generasi tua, generasi muda Korsel termasuk pemilih mengambang (swing voters) yang bisa berubah pilihan sesuai ide atau gagasan tertentu. Selama kampanye, Yoon memanfaatkan kemarahan dan ketidaksukaan anak muda laki-laki kepada perempuan. Caranya mirip dengan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang memanfaatkan dan menyebarkan kebencian. Yoon menyalakan bara dengan menyalahkan feminisme sebagai penyebab tingkat kelahiran rendah di Korsel. Bahkan, menurut dia, tidak ada diskriminasi struktural di Korsel.
Kebencian kepada perempuan dan gerakan antifeminis menguat pada 2018 seiring dengan gerakan #MeToo yang dianggap sebagai awal gerakan feminis radikal Korsel. Meski sudah maju dan canggih, pada dasarnya Korsel masih tradisional dan patriarkis. Akan tetapi, itu mulai semakin goyah ketika terjadi peristiwa pembunuhan seorang perempuan berusia 23 tahun di Gangnam pada 2016. Alasan laki-laki yang membunuhnya, ia benci perempuan yang tidak memedulikan dirinya. Perempuan Korsel kemudian angkat suara menentang patriarki dan kekerasan seksual. Lalu, perempuan mulai menolak dandan cantik ala ”standar Korea”, menikah, dan mempunyai anak.
Khusus soal tampil cantik ala Korea ini, perempuan usia 20-an tahun mulai menolak norma-norma kecantikan tradisional dan berdandan ala kadarnya, bahkan tanpa riasan apa pun, di publik. Salah satunya tren di kalangan generasi Z memakai rol rambut ke mana-mana. Kecantikan sempurna kini bukan segalanya di negara yang selama ini terkenal sebagai pusat dunia untuk operasi plastik demi kecantikan. Dulu tampil cantik sempurna dianggap akan bisa mendongkrak perempuan secara sosial dan profesional. Kini, tampil apa adanya menjadi cara ekspresi diri. ”Kalau kami menikah, rasanya seperti harus kerja untuk dua keluarga dan kami merasa jadi mesin produksi bayi. Ini tubuh saya dan pilihan saya,” kata Baek Soo-yeon (29) yang bekerja di perusahaan teknologi.
Korban perempuan
Dibandingkan negara maju lainnya, penanganan Korsel soal hak perempuan terhitung buruk. Harian The Washington Post edisi 5 Maret 2022 menyebutkan, kesenjangan upah berbasis jender di Korsel terburuk di antara negara maju di Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) meski perempuan usia 25-34 tahun yang bekerja meningkat hampir 70 persen. Indeks ”Langit Kaca” dari majalah The Economist menempatkan Korsel di antara negara-negara OECD dari sisi capaian pendidikan tinggi perempuan serta jumlah perempuan di posisi manajemen dan legislatif. Korsel ada di peringkat 127 dari 153 negara dari sisi partisipasi ekonomi di laporan kesenjangan jender Forum Ekonomi Dunia. Hanya sedikit perempuan yang ada di posisi pengambil keputusan. Bank Dunia mencatat hanya 17 persen perempuan ada di parlemen.
Pemerintah Korsel berupaya meningkatkan partisipasi perempuan di tempat kerja, mempekerjakan lebih banyak perempuan di sektor publik, dan memberi insentif pada perusahaan swasta yang memberikan ruang lebih luas pada perempuan. Meski sudah begitu, perempuan di tempat kerja tetap merasakan perlakuan diskriminatif dari segi gaji, promosi jabatan, pelecehan, dan sulit mengatur waktu kerja dengan mengurus anak.
Baca Juga: Pandemi Budaya Membangun Ekonomi Korea Selatan
Akan tetapi, dari sisi pandang laki-laki, justru laki-laki yang menjadi korban diskriminasi jender. Dari survei harian Hankook Ilbo padaMei 2021, dengan 3.000 responden laki-laki dan perempuan, sebanyak 79 persen laki-laki usia 20-an tahun mengaku menjadi korban diskriminasi jender. Anak muda laki-laki Korsel memiliki masalah mendasar yang sama, merasa kalah di pasar kerja karena harus wamil, tak bisa beli rumah karena harga terlalu mahal, desakan pernikahan, dan terancam dengan tumbuhnya aktivisme hak perempuan di Korsel. ”Anak muda laki-laki Korsel tidak menikmati hak istimewa laki-laki seperti generasi sebelumnya. Mereka merasa terjebak dengan harapan masyarakat akan kewajiban-kewajiban maskulin, termasuk wamil,” kata Guru Besar Sosiologi di Sungkyunkwan University di Seoul, Korsel, Koo Jeong-woo.
Untuk memberi perhatian yang sama kepada laki-laki dan perempuan, Yoon menjanjikan pembubaran Kementerian Kesetaraan Jender dan Keluarga yang dibuat akhir 1990-an untuk memajukan hak perempuan. Kementerian itu dianggap gagal mewujudkan kesetaraan jender yang benar dan mendiskreditkan laki-laki seperti orang yang akan berbuat jahat. Ini cocok bagi anak muda laki-laki Korsel yang merasa diperlakukan tak adil oleh pemerintah yang cenderung lebih mengistimewakan perempuan.
Yoon akan menggantinya dengan kementerian lain yang menangani isu anak, keluarga, dan populasi yang menurun tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Namun, menurut aktivis perempuan Korsel, Park Ji-hyun, kementerian yang akan dibubarkan itu selama ini tak hanya memperjuangkan kesetaraan jender, tetapi juga membantu korban kekerasan seksual dan ibu tunggal dengan anak. Rencana Yoon itu akan membuat perempuan terancam. Apalagi, mengingat banyak kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan yang didiamkan saja. Ada kementerian khusus jender saja, gerakan antifeminis menjamur dan perempuan kerap dirundung untuk alasan sesederhana, seperti potong rambut pendek. Ini yang dialami An San, atlet panahan Korsel peraih medali di Olimpiade Tokyo, yang dirundung secara daring hanya karena berambut pendek.
Praktis realistis
Kebencian kepada perempuan serta persoalan antara laki-laki dan perempuan itu sebenarnya ada pada kesenjangan ekonomi dan pasar kerja yang parah di Korsel. Itu yang harus ditangani dan butuh perubahan sistemik besar-besaran. Seo Jae-sang (28), sebelum memberikan suara di stasiun Incheon, kepada majalah Time (10 Maret 2022) mengaku, kesetaraan jender ada di urutan ketiga atau keempat dalam daftar prioritas politiknya. Yang utama jelas, pasar properti Korsel yang semakin tidak terjangkau. Harga rata-rata apartemen di Seoul meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir dengan menjadi sekitar 1 juta dollar AS atau sekitar Rp 14 miliar.
Asisten Profesor Studi Korea di University of Notre Dame, Sharon Yoon, menjelaskan, anak muda usia 20-an tahun, baik laki-laki maupun perempuan, di Korsel lebih memilih kandidat presiden yang dianggap akan bisa memperbaiki persoalan ekonomi ini. Baru kali ini ada perbedaan tajam akan pilihan kandidat presiden di antara anak muda laki-laki dan perempuan. ”Namun, sebenarnya tidak terlalu jelas apakah laki-laki memilih Yoon karena memang cocok dengan retorika antifeminisnya atau karena sebenarnya mereka khawatir dengan masalah ekonomi,” ujarnya.
Baca Juga: Korea Selatan Jatuh dalam Resesi Ekonomi
”Daya tarik” Yoon terkait ekonomi yang paling menarik bagi generasi muda, terutama laki-laki, adalah soal keberpihakan Yoon pada bitcoin dan mata uang kripto lainnya. Majalah Fortune (10 Maret 2022) menyebutkan, Yoon berjanji menaikkan ambang batas membayar pajak pendapatan kapital atas pendapatan dari bitcoin dan mata uang kripto lainnya dari 2.000 dollar AS menjadi 40.000 dollar AS. Ini tunjangan bebas pajak yang paling dermawan sedunia.
Yoon lebih menerima kripto ketimbang pemerintahan sebelumnya. Partai progresif menekan kripto setelah pasar meledak pada 2017 dan Korsel menjadi pasar perdagangan kripto terbesar ketiga di dunia. Mata uang won masih menjadi mata uang ketiga yang paling banyak digunakan untuk mengubah bitcoin menjadi uang kertas. Namun, tahun lalu, pemerintah kemudian memberlakukan regulasi baru yang menghilangkan setengah dari nilai pertukaran kripto Korsel.
Dukungan pada kripto ini bagi Jeong Jae-bong (27) penting karena semakin banyak anak muda berinvestasi di situ juga di properti. Harian The South China Morning Post (11 Desember 2021) mengutip hasil survei Pusat Penelitian Pew yang melakukan survei di 17 negara maju dan berkembang untuk menanyakan ”makna atau arti terpenting dalam hidup”. Mayoritas, yakni 14 negara, menyebut ”keluarga” yang paling penting dalam hidup. Namun, hanya ada satu negara yang menyebut ”kesejahteraan material” yang terpenting. Negara itu adalah Korsel.
Baca Juga: Pengurangan Penduduk Korea Selatan Lebih Cepat dari Perkiraan
Kalangan sosiolog menjelaskan, ini semua terjadi karena pemerintah lebih mengutamakan ekonomi nasional ketimbang kehidupan keluarga sejak puluhan tahun lalu. ”Kesalahan” berawal ketika pemerintah membuat kebijakan keluarga berencana pada 1960-an yang sarat pesan ”lebih penting kesejahteraan dan kekayaan ketimbang prokreasi”. Masalahnya, situasi ekonomi zaman sekarang semakin susah dan generasi muda tak punya pilihan lain selain meniti karier demi meraih hidup sejahtera. ”Mau tak mau, kita sekarang hidup di masyarakat yang kapitalis. Kualitas hidup bisa berubah tergantung seberapa banyak uang yang kita punya,” kata Jeong.
Alasan praktis dan realistis perbaikan ekonomi agar bisa hidup adil, setara, dan sejahtera itulah yang menjadi harapan dan alasan separuh rakyat Korsel memilih Yoon.