Perwakilan diplomatik Indonesia di sejumlah negara sekitar Ukraina juga mengupayakan evakuasi. Sebab, semua pilihan harus dibuka agar warga Indonesia bisa dikeluarkan dari zona perang.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Di antara ledakan bom dan desingan peluru, ada warga Indonesia yang menanti waktu evakuasi dari tengah perang Rusia-Ukraina. Mereka yang sudah pulang masih dibayangi trauma oleh kengerian perang dan dilanda kesedihan karena terpaksa meninggalkan berbagai hal.
Kembali ke Indonesia pada 3 Maret 2022, kini Erna Herlina mudah terkejut. Bersama puluhan warga Indonesia, ia beberapa hari berlindung dalam kompleks KBRI Kiev sejak perang meletus pada 24 Februari 2022 dini hari. Selama dalam perlindungan, ia dan puluhan WNI di KBRI Kiev rutin mendengar ledakan. Waktu itu, Koordinator Fungsi Penerangan, Sosial, Budaya dan Kepala Kanselerasi KBRI Kiev itu tidak terlalu memikirkannya. “Sekarang, kalau mendengar suara-suara, saya mudah menoleh,” kata dia, Kamis (16/3/2022), di Jakarta.
Sampai sekarang, ia masih sulit percaya perang benar-benar meletus. Padahal, ia ikut terlibat menyusun rencana evakuasi WNI dari Kiev. Rencana evakuasi itu mulai disusun sejak Desember 2021. Pada Januari 2022, rencana itu semakin dimatangkan.
Komunikasi dengan WNI di berbagai kota Ukraina semakin intensif. Semua sama-sama paham, keadaan bisa sangat tidak terduga. “Awalnya evakuasi direncanakan ke barat, ke Lviv. Ternyata ada jembatan rusak karena jadi lokasi pertempuran di Zhytomyr,” kata dia.
Dinamika itu terjadi di berbagai kota di Ukraina. Rute-rute yang sudah direncanakan jadi jalur evakuasi, ternyata menjadi lokasi pertempuran. Akibatnya, evakuasi harus ditunda atau dimodifikasi. “Teman-teman KBRI terus mengupayakan semua warga Indonesia di Ukraina bisa dievakuasi ke tempat aman,” kata dia.
Hingga Kamis, ada 9 WNI di Chernihiv dan beberapa lain di Lviv. Rusia telah mengepung hampir seluruh penjuru Chernihiv dan menyisakan sedikit rute ke arah Kiev. Masalahnya, pertempuran meletus di hampir seluruh jalan Chernihiv-Kiev. Bahkan, Kiev kini terkurung rapat. Citra satelit menunjukkan, pasukan Rusia berjarak tidak sampai 15 kilometer dari pusat Kiev.
Evakuasi, menurut Erna, tidak hanya diupayakan KBRI Kiev. Perwakilan diplomatik Indonesia di sejumlah negara sekitar Ukraina juga mengupayakan evakuasi. Sebab, semua pilihan harus dibuka agar warga Indonesia bisa dikeluarkan dari zona perang.Upaya evakuasi tidak mudah antara lain karena sebagian WNI belum menerima gaji kala perang meletus. “Mereka bingung karena tidak ada uang. Mau pergi, belum gajian,” kata Erna.
Mulai Trauma
Salah satu WNI yang dievakuasi, Dona Poltatseva, juga baru mulai merasakan kesedihan dan trauma sepekan terakhir. Perang Rusia-Ukraina memaksa meninggalkan negara pernah dipilihnya menjadi tempat tinggal. Keluarganya pun terpaksa terpisah. “Saya harus kuat, demi anak. Kalau bukan saya, siapa lagi harus menjaga anak saya,” ujarnya.
Dari Mykolaiv, ia dan keluarganya baru pindah ke Kiev pada 2020. Bahkan, mereka baru membeli mobil warna abu-abu pada pertengahan Februari 2022. “Kami harus meninggalkan semuanya,” kata dia.
Suaminya, warga negara Ukraina, kini berada di negara lain bersama keluarga besarnya. Sementara Dona dan anaknya terpaksa pulang ke Sukabumi, Jawa Barat. Dona juga harus meninggalkan sejumlah anggrek juga aneka mebel yang perlahan dibeli untuk apartemen yang baru dua tahun ditinggali.
Seperti diingatkan berkali-kali oleh KBRI Kiev, warga Indonesia di Ukraina diminta membawa sesedikit mungkin barang. Dokumen identitas dan obat-obatan pribadi menjadi prioritas. Sisanya tidak dianjurkan dibawa.
Sampai Rabu (23/2) malam, ia tidak percaya perang benar-benar akan meletus. “Kami mendengar ledakan pertama pukul 05.00. Pukul 05.30, saya mulai membahas dengan suami apa yang akan dilakukan,” kata dia.
Dari KBRI Kiev, apartemennya berjarak 4 kilometer. Dalam situasi normal, hanya butuh beberapa menit untuk sampai ke KBRI Kiev. Kamis (24/2) pukul 08.00, jalan ke arah KBRI Kiev sudah macet. Warga Kiev berusaha keluar dari ibu kota Ukraina yang mulai dibombardir Rusia itu. Akhirnya, mereka tiba di KBRI Kiev dan berlindung di sana sampai 28 Februari.
Seperti Erna, ia juga bolak-balik mendengar ledakan selama berlindung. Waktu itu, ia fokus menenangkan anak juga keluarganya di kampung. Selama berminggu-minggu, keluarganya selalu menangis setiap kali menelepon. “Dulu saya berusaha tenang. Seminggu ini baru terasa sedih,” kata dia.
Ia sedih karena harus meninggalkan negara yang diharapkan akan terus ditinggalinya. Ia sedih karena harus berpisah dari suaminya. Sedih pula karena anggreknya terpaksa ditinggalkan.