Indonesia Perlu Manfaatkan Keketuaan G-20 Buka Inisiatif Damai Rusia-Ukraina
Pemerintah Indonesia lewat keketuaan di G-20 dinilai bisa menjalankan inisiatif untuk mendamaikan Rusia dan Ukraina yang saat ini berperang.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok negara 20 atau G-20 dapat menjadi forum yang digunakan untuk membuka inisiatif menuju jalan perdamaian atau minimal menurunkan tensi krisis di Ukraina. Prinsip bebas dan aktif mendukung posisi Indonesia dalam kapasitasnya sebagai pemegang keketuaan G-20 tahun ini untuk menjembatani inisiatif itu.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk ”Presidensi G-20 dan Konflik Rusia-Ukraina” yang digelar Paradima Graduate School of Diplomacy, Universitas Paramadina, di Jakarta, Selasa (15/3/2022). Webinar itu menampilkan tiga pembicara utama, yakni Shiskha Prabawaningtyas (Direktur Paradima Graduate School of Diplomacy), Endy M Bayuni (Analis Senior Tenggara Strategic), dan Yulius Purwadi Hermawan (pengajar Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan). Bertindak sebagai moderator Anton Aliabbas (Center for Intermestic and Diplomatic Engagement) dengan pengantar webinar oleh Tatok D Sudiarto (Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina).
Shiskha menyatakan, di tengah perang Rusia-Ukraina dan penerapan aneka sanksi Barat terhadap Rusia yang mengiringi perang itu terdapat dinamika yang harus diantisipasi. Antisipasi itu, termasuk oleh Pemerintah Indonesia sebagai pemegang keketuaan G-20 tahun ini, harus diterapkan atas agenda-agenda G-20 yang berujung pada pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 pada akhir Oktober mendatang.
Isu terhangat yang muncul adalah soal hadir tidaknya Rusia dan pemimpin negara itu pada forum-forum G-20 serta apakah G-20 tetap sebagai forum ekonomi semata atau bisa menjadi forum politik. ”Pilihan sikap RI adalah apa yang akan diinginkan dan dilakukan lewat keketuaan RI dalam G-20,” kata Shiskha.
Dalam masa keketuaan G-20 tahun ini, Indonesia mengusung tema ”Recover Together, Recover Stronger”. Tema ini diangkat oleh Indonesia, terutama menimbang dunia masih dalam tekanan pandemi Covid-19. Tema itu diusung guna mendorong perlunya upaya bersama dan inklusif dalam mencari solusi untuk pemulihan dunia.
Tanpa perang Rusia-Ukraina, kata Shiskha, Indonesia dengan prinsip bebas aktifnya diharapkan menyeimbangkan kebutuhan kelompok itu atas urgensi pascapandemi Covid-19 dan perubahan iklim. Namun, kini dengan adanya perang Rusia-Ukraina dan sanksi-sanksi Barat atas Ukraina, Indonesia juga harus menghitung kesepakatan-kesepakatan yang dapat diraih G-20 dalam masa keketuaan RI di forum itu.
Pembicara lain menilai, penyesuaian fokus keketuaan RI dalam forum itu dinilai dimungkinkan. Endy mengatakan, tingkat ketergantungan antarnegara secara ekonomi secara global tidak terbantahkan. Dalam kondisi seperti itu, akibat perang Rusia-Ukraina yang telah menjadi perang ekonomi tidak bisa dianggap sepele. Perang ekonomi itu akan berdampak besar pada sistem perdagangan, keuangan, dan ekonomi secara luas di tingkat global.
Meski G-20 adalah forum internasional dengan fokus pada koordinasi kebijakan di bidang ekonomi dan pembangunan, kata Endy, keberadaannya harus dapat menjawab persoalan lebih luas. ”Sistem keuangan global naik turun dan berantakan begini, buat apa G-20 itu dilanjutkan jika tidak ada upaya positif dilakukan,” ujarnya.
Lahir pada 1999 sebagai respons atas krisis ekonomi dunia 1997-1998, G-20 beranggotakan 19 negara kekuatan ekonomi dunia plus Uni Eropa. Di antara mereka terdapat negara-negara yang saat ini terlibat dalam krisis di Ukraina, seperti Rusia, AS dan sekutunya, serta China. Awalnya, G-20 merupakan pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral yang berkembang dengan pembahasan di berbagai bidang pembangunan. Sejak 2008, G-20 menghadirkan kepala negara dalam pertemuan KTT.
Kementerian Luar Negeri RI mencatat, G-20 merepresentasikan kekuatan ekonomi dan politik dunia. Hal itu tergambar dalam komposisi anggotanya yang mencakup 80 persen produk domestik bruto global, 75 persen ekspor global, dan 60 persen populasi global.
Forum mediasi
Menurut Endy, Pemerintah RI sebagai Ketua G-20 tahun ini dapat menggunakan aneka forum G-20 menjadi forum mediasi Rusia-Ukraina serta Rusia-Amerika Serikat dan para sekutunya. Posisi RI yang dapat menjalin komunikasi dengan seluruh pihak melalui forum G-20 adalah sebuah nilai tambah untuk bertindak sebagai inisiator mediasi para pihak itu.
”Sayang kalau tidak digunakan, yang penting ada usaha untuk menggunakan forum itu guna menjalin perdamaian dan atau mengurangi ketegangan antara Rusia dan Barat,” tutur Endy.
Purwadi menilai, tantangan bagi RI di keketuaan G-20 menjadi lebih berat akibat perang Rusia-Ukraina. Dalam kondisi saat ini, dia menilai, RI harus benar-benar cerdas. Ia menilai, di tengah perang Rusia-Ukraina, Pemerintah Rusia akan tetap terlibat dalam G-20. Perkembangan perang Rusia-Ukraina serta dinamika G-20, kata Purwadi, juga akan dipengaruhi posisi dan sikap Pemerintah China. Hal-hal itu harus dapat dipastikan oleh Pemerintah RI.
Di Beijing, Rabu, Pemerintah China menilai G-20 bukanlah forum yang tepat untuk membahas topik terkait krisis di Ukraina. Hal itu dinyatakan juru bicara Kemenlu China kepada pers tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Media China, Global Times, dalam salah satu artikelnya menyatakan, posisi China dapat menjadi penjaga stabilitas global, termasuk dalam krisis Ukraina. Namun, saat ini Pemerintah China ingin lebih fokus untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri China, khususnya terkait lonjakan kasus Covid-19.
Gempuran di Kiev
Dari Kiev dilaporkan, pasukan Rusia terus berupaya menaklukkan ibu kota Ukraina itu. Pasukan Rusia membombardir wilayah-wilayah di sekitar Kiev dengan serangan bom. Sesaat sebelum fajar pada Selasa, ledakan besar bergemuruh di Kiev. Otoritas Ukraina menyatakan ledakan itu berasal dari serangan artileri Rusia. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan, rentetan serangan menghantam empat gedung bertingkat di Kiev dan menyebabkan puluhan warga Ukraina tewas.
Ketika Rusia meningkatkan serangannya di Kiev, para pemimpin Polandia, Republik Ceko, dan Slovenia mengumumkan bahwa mereka melakukan perjalanan ke ibu kota Ukraina tersebut. Hal itu dilakukan sebagai bentuk dukungan bagi negara tersebut.
”Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk menyatakan dukungan tegas Uni Eropa bagi Ukraina dan kebebasan serta kemerdekaannya,” kata Perdana Menteri Ceko Petr Fiala dalam sebuah cuitan di media sosial Twitter. (AP/AFP/REUTERS)