Rumput Tetangga (Tak Selalu) Lebih Hijau
Jika dibandingkan dengan negara lain, instrumen penanganan dan perlindungan pekerja migran Indonesia relatif lengkap. Hanya, implementasinya yang belum ada.
Begitu Malaysia lockdown total pada Maret 2020 gara-gara pandemi Covid-19, roda perekonomian mandeg. Pabrik-pabrik yang tutup memaksa puluhan ribu pekerja migran Indonesia pulang kampung. Tak semua memilih pulang tetapi bertahan di Malaysia karena sudah berkeluarga meski situasi sangat sulit. Apalagi bagi pekerja migran tak berdokumen yang bekerja di perkebunan kelapa sawit. Jangankan mengirim uang ke kampung halaman, hidup sehari-hari saja sudah sulit. Mereka butuh bantuan tetapi takut ketahuan tak berdokumen yang bisa berakibat disuruh pulang. Sampai sekarang mereka mencoba bertahan hidup dengan sumbangan dari teman dan masyarakat setempat.
Baca juga: Memperpanjang Napas Pekerja Migran
Alex Ong, Perwakilan Migrant Care di Malaysia, menceritakan pekerja migran asal Indonesia tergantung pada sumbangan karena gajinya dipotong separuh akibat usaha majikan yang seret atau tutup. Pemotongan gaji seperti ini diperbolehkan oleh pemerintah karena situasi yang memang tidak memungkinkan. "Pekerja migran tak berdokumen paling rentan. Ada 250 bayi yang ibunya tak bekerja sehingga bantuan susu juga kami bagikan dari sumbangan masyarakat Malaysia," kata Alex ketika dihubungi dari Jakarta, pekan lalu.
Dampak pandemi Covid-19 terhadap pekerja migran Indonesia kemungkinan akan terasa sampai 4-5 tahun. Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mendorong pemerintah Indonesia memperbaiki tata kelola dan meningkatkan keunggulan kompetitif pekerja migran sambil menunggu situasi pulih. Dari sisi instrumen, Indonesia sebenarnya sudah lengkap tetapi lemah pada implementasi. Filipina, Bangladesh, India, dan Sri Lanka sebagai negara pengirim pekerja migran bisa menjadi contoh karena sudah relatif baik menangani pekerja migran. Salah satunya karena mereka sudah memiliki lembaga yang khusus menangani pekerja migran.
Sementara sebagai negara penerima pekerja migran, Direktur SD Inpres Jember, organisasi nonpemerintahan yang peduli pada isu desa di Jember, Jawa Timur, Bambang Teguh Karyanto, menceritakan dari pengakuan para pekerja migran sektor domestik, Hong Kong dan Taiwan relatif baik dari sisi upah minimum dan kebijakan terkait pekerja migran. Jepang dan Korea Selatan juga bagus karena mekanisme pengiriman pekerja migran sudah resmi antarpemerintah. "Semua lebih jelas dan ketat mulai dari perekrutan, pengiriman, dan penyelesaian masalah. Di Jepang dan Korsel lebih susah karena ada tes bahasa dan perlu sertifikasi," ujarnya.
Baca juga: Cukup, Stigmatisasi Pekerja Migran
Harian Inquirer, 31 December 2021, menyebutkan pembentukan Departemen Pekerja Migran merefleksikan komitmen Filipina membuat sistem tata kelola migrasi sesuai dengan Global Compact 2018 untuk Migrasi Aman, Tertib, dan Reguler. Ini kesepakatan antarpemerintah di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mencakup semua dimensi migrasi internasional, termasuk perlindungan pekerja migran. Filipina merupakan negara pertama di dunia yang memberlakukan GCM ini dalam kebijakannya.
Posisi dan peran pekerja migran Filipina penting karena tingkat remitansi mereka menyumbang hampir 10 persen dari pendapatan domestik bruto Filipina. Harian Manila Times, 4 Maret 2022, menyebutkan remitansi pekerja migran naik 5,3 persen dari 29,99 miliar dollar AS pada 2020 menjadi 31,59 miliar dollar AS pada 2021. Remitansi ini membantu perekonomian Filipina yang lesu gara-gara kebijakan pembatasan pandemi berkali-kali. Meski perlindungan relatif baik dari Indonesia, banyak pekerja migran Filipina yang juga harus pulang kampung gara-gara pandemi.
Bagi yang pulang, Departemen Tenaga Kerja dan Ketenagakerjaan Filipina menawarkan lapangan pekerjaan di bisnis outsourcing, teknologi informasi, pabrik, dan konstruksi bagi mereka yang bersedia belajar ketrampilan baru. Pusat Reintegrasi Nasional untuk Pekerja Migran (NRCO) menyebutkan pekerja migran yang pulang juga bisa mengajukan permohonan hibah mata pencaharian hingga Rp 5,5 juta dan maksimal Rp 273 juta. Pemerintah juga mengalokasikan 52 juta dollar AS, termasuk bantuan uang tunai darurat satu kali sebesar 200 dollar AS bagi setiap pekerja migran yang terdampak pandemi. Ada juga bantuan pendidikan tinggi senilai 8 juta dollar AS bagi anak pekerja migran.
Baca juga: Tantangan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
Meski sudah baik, tetap saja ada kritik yang menyebutkan kebijakan reintegrasi pekerja migran ini yang menjadi komponen terlemah dalam tata kelola migrasi pekerja Filipina. Sama seperti Indonesia, pemerintah Filipina didorong memiliki mekanisme mendata pekerja migran yang pulang sehingga bisa diberikan peluang pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan dan ketrampilan pekerja migran. "Perlindungan pekerja migran Filipina bagus karena pendapatan tertinggi negara itu dari devisa pekerja migran. Tetapi mereka terlalu mengeksploitasi pekerja migrannya," kata Mulyadi dari Migrant Care.
Agenda G-20
Mumpung memegang kepresidenan G-20 tahun ini, Indonesia semestinya bisa mendorong komitmen negara-negara anggota G-20 untuk memastikan tata kelola migrasi global yang aman, terjamin, dan bermartabat. Wahyu mendorong pemerintah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengintegrasikan isu remitansi dalam konteks perlindungan sekaligus meningkatkan kompetensi pekerja migran Indonesia. Ini akan menjadi pintu memulai menyusun rencana aksi nasional tentang tata kelola remitansi.
G-20 tidak terlalu menyoroti pekerja migran karena sebagian besar negara anggota G-20 merupakan negara kaya dan industri maju. Meski begitu, masih ada India dan Korea Selatan yang juga memiliki pekerja migran untuk tingkat profesional. Biaya remitansi merupakan isu yang menjadi kepentingan negara-negara berkembang di G-20. Wahyu mengakui G-20 sebenarnya forum pembangunan dan keuangan sehingga melihat migrasi pada sisi pembangunan dan keuangan. Pemerintah hanya melihat isu remitansi sebagai teknis pengiriman uang dari pekerja migran ke dalam negeri dan belum melihat remitansi dalam konteks perlindungan dan peningkatan kompetensi mereka.
"Target isu migran di G-20 itu soal remitansi, isu kerja layak. Ini kesempatan baik karena menghadapkan negara pengirim dan penerima seperti Argentina, Brazil, India, Afrika Selatan, dan China. Mereka negara-negara yang menguasai 70 persen dari total remitansi dunia. Sebagai presiden G-20, Indonesia tidak hanya bisa mendorong kepentingan Indonesia tetapi juga negara miskin dan berkembang. Dan yang relevan itu isu pekerja migran," kata Wahyu.
Baca juga: Mempertahankan Manfaat Remitansi Pekerja Migran Indonesia
Indonesia mempunyai "bekal" memperjuangkan isu pekerja migran ini karena sejak tahun 2012, Indonesia menjadi negara pihak dalam Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Pelindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Pada 2017, Indonesia sudah menyampaikan laporan awal kepada Komite Pekerja Migran PBB. Hasil pelaporan ini kemudian ditanggapi komite itu dengan beberapa rekomendasi yang harus dilaksanakan Indonesia. Tahun ini merupakan tenggat waktu pelaporan implementasi konvensi, termasuk melaporkan perkembangan pelaksanaan rekomendasi komite itu.
Selain itu, dalam konteks ASEAN, Indonesia juga mengklaim menjadi promotor aktif terwujudnya instrumen pelindungan pekerja migran di Asia Tenggara dalam mekanisme ASEAN, mulai dari pembentukan Deklarasi ASEAN untuk Perlindungan Pekerja Migran hingga Konsensus ASEAN untuk Pelindungan Hak-hak Pekerja Migran.
"Komitmen ini harus tetap menjadi landasan politik luar negeri Indonesia yang salah satunya memprioritaskan pada perlindungan warganya. Bahkan seharusnya menjadi agenda tak terpisahkan dalam presidensi Indonesia di G20," kata Wahyu.
Beban Biaya
Selain isu di atas, dalam proses penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, ada satu komponen yang kerap menjadi perhatian, yaitu biaya penempatan. Kendati undang-undang memberi mandat bahwa pekerja migran harus dibebaskan dari tanggungan biaya penempatan, faktanya beban itu masih harus dipikul pekerja lewat berbagai skema pinjaman. Negara seharusnya mengambil alih beban tersebut dan mengalokasikan anggaran Rp 8,2 triliun per tahun untuk membiayai penempatan ratusan ribu PMI.
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) membuat kalkulasi, dengan rata-rata 277.000 orang pekerja migran Indonesia (PMI) yang setiap tahun diberangkatkan ke berbagai negara tujuan penempatan, kebutuhan biaya yang harus dipenuhi adalah sekitar Rp 8,2 triliun atau Rp 30 juta per orang.
Biaya penempatan yang dibutuhkan itu terdiri dari biaya pelatihan dan pendidikan (termasuk sertifikasi kompetensi), pembuatan paspor, pengurusan visa, pemeriksaan medis, tes psikologi, tiket, serta kebutuhan tambahan di masa pandemi berupa biaya tes usap dan karantina.
Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengatakan, idealnya negara menyediakan anggaran Rp 8,2 triliun per tahun untuk menjamin PMI bebas dari tanggungan biaya saat berangkat kerja. Hal itu sejalan dengan pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran yang melarang PMI dikenakan beban biaya penempatan.
Apalagi, jika dibandingkan, pemasukan dari remitansi para pekerja migran lebih besar dibandingkan uang yang dikeluarkan negara untuk memberangkatkan mereka. "Kalau kita mau konsisten dengan mandat UU, harus disiapkan anggarannya. Rp 8,2 triliun itu sebenarnya kecil asalkan ada niat baik," katanya.
Bank Indonesia mencatat, pengiriman uang atau remitansi dari tenaga kerja Indonesia di luar negeri pada tahun 2019 mencapai 11,43 miliar dollar AS atau setara Rp 163,82 triliun (kurs Rp 14.327 per dollar AS). Sementara, pada 2018, nilai remitansi mencapai 10,97 miliar dollar AS atau setara Rp 157,22 triliun.
Remitansi saat pandemi menurun karena ditutupnya pintu penempatan ke sejumlah negara. Pada tahun 2021, besar remitansi adalah 9,16 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 131,29 triliun. Sementara, pada tahun 2020 sebesar 9,42 miliar dollar AS atau setara Rp 135,06 triliun.
Meski menurun, jumlahnya tetap lebih besar ketimbang Rp 8,2 triliun yang perlu disisihkan negara setiap tahun untuk memberangkatkan PMI. "Negara tidak boleh bicara untung-rugi. Kalaupun demikian, negara tetap akan untung, karena mengeluarkan Rp 8,2 triliun tetapi menerima sekitar Rp 159 triliun dari pekerja migran," kata Benny.
Baru-baru ini, BP2MI mengeluarkan Keputusan Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nomor 214 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembebasan Biaya Penempatan PMI yang mengatur tentang skema pinjaman kredit bagi PMI yang hendak berangkat ke luar negeri. Pinjaman itu diatur melalui skema kredit tanpa agunan (KTA) dan kredit usaha rakyat (KUR) melalui bank milik negara. Kebijakan ini dikritik karena dinilai justru membebani PMI dengan jerat utang.
Benny menjelaskan bahwa peraturan itu dikeluarkan untuk mengatasi problem keterbatasan anggaran negara untuk menanggung biaya penempatan PMI. Dengan adanya aturan pinjaman KTA dan KUR yang lebih ringan, PMI tidak perlu terjerat dalam praktik ijon pinjaman berbunga tinggi yang merugikan mereka.
Ia menjelaskan, dengan skema KUR TKI yang dulu berlaku melalui sistem linkage lewat koperasi simpan pinjam, bunga yang dikenakan ke PMI sebagai peminjam adalah 28,8 persen, jauh di atas bunga KUR yang hanya 6 persen. Dengan peraturan baru, BP2MI membuat skema di mana PMI bisa meminjam langsung ke bank dengan bunga yang lebih rendah, yakni di kisaran 6 persen untuk KUR dan 11 persen untuk KTA dari PT Bank Negara Indonesia (Persero).
"Di satu sisi memang ada mandat UU. Tetapi, negara faktanya tidak punya uang. Karena negara tidak punya uang, yang bermain di sini adalah praktik ijon rente berbunga sangat tinggi yang membebani PMI. Ini yang kami coba perangi lewat peraturan itu, sehingga PMI terbantu dengan bunga yang lebih rendah," ujarnya.
Benny menegaskan, skema pinjaman kredit itu sifatnya sukarela. "Negara tidak bisa memaksakan PMI untuk meminjam. Kalau PMI punya uang dari hasil bantuan keluarga, misalnya, maka dia tidak perlu mengambil KTA atau KUR" katanya.
Adapun saat ini pemerintah mulai bersiap menyambut kemungkinan dibukanya penempatan ke sejumlah negara tujuan utama PMI, seperti Malaysia. Namun, pemerintah akan menunggu sampai nota kesepahaman dengan beberapa negara tersebut sudah selesai diperbarui. Saat ini, memang ada beberapa perjanjian yang sudah habis masa berlaku.
Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Suhartono mengatakan, pemerintah ingin memastikan aspek perlindungan pekerja migran terlebih dahulu. Oleh karena itu, komunikasi dengan berbagai negara penempatan saat ini masih terus digencarkan untuk memperbarui nota kesepahaman.
Selaras dengan itu, pendidikan dan pelatihan untuk para calon PMI juga digencarkan. "Jaminan perlindungan dan kepastian kerja harus jelas dulu. Itu yang kami mintakan ke setiap negara penempatan," kata Suhartono.
Selagi menunggu penempatan kembali dibuka, pemerintah memfasilitasi bantuan sosial dan bantuan modal terhadap sejumlah PMI untuk bertahan hidup di Tanah Air. Salah satunya, melalui kerja sama program Kartu Prakerja yang diampu oleh Kementerian Koodinator Bidang Perekonomian.
BP2MI mencatat, pada tahun 2021, sebanyak 300.000 orang PMI purna mendapat kuota peserta Kartu Prakerja. Lewat program semi bansos itu, mereka mendapat uang saku serta akses pelatihan dan pendidikan.
Sementara, tahun ini, alokasi yang disediakan sebanyak 50.000 orang untuk calon PMI yang batal berangkat selama dua tahun terakhir karena pandemi. "Mereka yang terpaksa kembali ke Tanah Air atau batal berangkat karena pandemi tentu tidak punya modal bekerja. Itu kami berikan akses mendapatkan Kartu Prakerja," kata Benny.
(REUTERS/AFP)