Memperpanjang Napas Pekerja Migran
Akibat pandemi Covid-19, ratusan ribu pekerja migran Indonesia hilang pekerjaan dan terpaksa pulang kampung. Tak ada pekerjaan dan bantuan sosial dari pemerintah, banyak pekerja migran tergiur iming-iming calo.
Akibat pandemi Covid-19, jutaan pekerja migran di seluruh dunia terpaksa kehilangan pekerjaan, termasuk pekerja migran asal Indonesia. Sebagian beruntung masih bisa pulang kampung, tetapi banyak juga yang tak bisa pulang karena terjebak kebijakan pembatasan atau lockdown di negara tempat mereka bekerja. Bagi yang pulang kampung pun, bukan berarti tak ada persoalan. Mereka menghadapi tantangan yang sama-sama beratnya, tidak ada pekerjaan dan penghasilan untuk menopang kehidupan keluarga yang biasanya menerima remitansi.
Selama pandemi Covid-19 atau sejak dua tahun lalu, banyak kasus pekerja migran di berbagai negara yang nasibnya terkatung-katung. Seperti pekerja migran sektor domestik di Hong Kong yang dipecat majikan dan terpaksa tinggal di jalanan karena positif Covid-19. Dari 340.000 pekerja migran sektor domestik di Hong Kong, mayoritas berasal dari Filipina atau Indonesia. Mereka dipecat dan harus keluar rumah karena umumnya mereka tinggal di kamar yang sempit atau malah berbagi kamar dengan anak-anak majikan.
Padahal Departemen Tenaga Kerja Hong Kong sudah memperingatkan memecat dan mengusir pekerja migran termasuk bentuk pelanggaran dan bisa didenda hingga Rp 183 juta. Pemerintah Hong Kong juga sudah meminta pekerja migran diberi uang cuti sakit, akomodasi gratis dan layak serta layanan kesehatan. "Saya dikasih obat sama majikan tapi disuruh pergi dan cari tempat tinggal lain supaya tidak menulari orang serumah. Saya tidak tahu harus kemana cari makan dan tempat tinggal karena di luar dingin sekali," kata seorang pekerja migran Filipina yang sudah bekerja di Hong Kong sejak 2005 kepada kantor berita Reuters. Ia kemudian tinggal di penampungan sementara yang disediakan organisasi non pemerintah HELP for Domestic Workers.
Kasus yang sama juga dialami pekerja migran asal Myanmar yang tinggal di jalanan Bangkok, Thailand. Pemerintah Thailand sudah mengumumkan perpanjangan izin kerja pekerja migran, memberikan tes Covid-19 gratis, dan menindak majikan yang menelantarkan pekerja migran.
Baca juga: Mempertahankan Manfaat Remitansi Pekerja Migran Indonesia
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan pandemi Covid-19 hampir menghentikan migrasi pekerja migran karena kebijakan pembatasan mobilitas, karantina, dan lockdown. Ini menyebabkan terjadinya penurunan volume remitansi secara global, termasuk Indonesia. Posisi pekerja migran pun rentan karena meningkatnya sentimen antimigran dan stigma sebagai pembawa virus. "Yang paling rentan pekerja migran Indonesia di Malaysia yang sampai sekarang hidup dari sumbangan orang lain," ujarnya.
Karena situasi yang tak menentu selama pandemi Covid-19, lanjut Wahyu, dari data Migrant Care tercatat sekitar 176.000 pekerja migran Indonesia yang pulang pada tahun pertama Covid-19. Pada tahun kedua, terdapat sekitar 205.000 orang. Dari jumlah pekerja migran yang pulang itu, sekitar 30.000 orang diantaranya sudah berangkat kerja lagi ke luar negeri. Pekerja migran yang paling banyak pulang karena kebijakan pembatasan adalah mereka yang bekerja di kapal pesiar.
Data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan selama tiga tahun terakhir arus pekerja migran yang kembali terus meningkat. Pada tahun 2020 tercatat ada 283.640 pekerja migran Indonesia pulang, sebelumnya pada tahun 2019, ada sebanyak 276.553 orang pulang, dan pada tahun 2018 ada 113.173 orang pekerja migran kembali ke tanah air. Sebagai catatan ada sepuluh negara penempatan dengan jumlah pekerja migran Indonesia terbesar pada 2020 yakni Hong Kong (53.206 orang), Taiwan (34.415 orang), Malaysia (14.630 orang), Singapura (4.474 orang), Arab Saudi (1.793 orang), Brunei Darussalam (1.202 orang), Polandia (798 orang), Jepang (749 orang), Korea Selatan (641 orang), dan Italia (411 orang).
Sedangkan enam provinsi di Indonesia pemasok pekerja migran terbesar pada 2020 adalah Jawa Timur (37.331 orang), Jawa Tengah (26.149 orang), Jawa Barat (23.246 orang), Nusa Tenggara Barat (8.261 orang), Lampung (9.192 orang) dan Sumatera Utara (2.814 orang). Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah remitansi pekerja migran Indonesia pada 2017 sebesar 8.761 juta dollar AS, 10.974 juta dollar AS pada 2018, dan 1.436 juta dollar AS pada 2019.
Direktur Departemen Kondisi dan Kesetaraan Kerja, Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa, Manuela Tomei, menilai ini potensi krisis di dalam krisis karena pekerja migran pulang kampung di saat negaranya pun tengah bergelut dengan perekonomian yang lesu dan meningkatnya pengangguran.
Baca juga: Pandemi, Perekrutan Calon Pekerja Migran Indonesia Ilegal Marak
Kepala Departemen Migrasi Pekerja di ILO, Michelle Leighton, menyebutkan di Nepal, misalnya, akan ada 500.000 pekerja migran yang kehilangan pekerjaan gara-gara Covid-19 dan akan pulang, mayoritas dari Timur Tengah dan Malaysia. India bahkan sudah memulangkan sekitar 220.000 pekerja migran dari negara-negara di Teluk. Sekitar 250.000 orang sudah kembali ke Bangladesh, 100.000 orang ke Myanmar, dan antara 200.000-500.000 orang akan pulang ke Ethiopia. Para pekerja migran ini umumnya bekerja di sektor layanan kesehatan, transportasi, jasa, domestik atau asisten rumah tangga, dan pertanian perkebunan.
Pekerja migran di sektor domestiklah yang paling rentan saat pandemi karena harus kerja lembur terus dan kerja tambahan karena seluruh keluarga pun ada di rumah selama kebijakan pembatasan. Inul, pekerja migran Indonesia di Singapura, menceritakan banyak temannya yang harus pulang kampung karena majikan yang juga kehilangan pekerjaan. Mereka disuruh memilih, pulang atau mencari tempat kerja baru. Beruntung usaha majikannya tak terganggu pandemi sehingga Inul masih bisa bekerja. Meski begitu, selama pandemi ia tak bisa keluar rumah sama sekali, terutama saat lockdown.
"Waktu lockdown, kayak hidup di penjara. Setiap hari di rumah, tidak boleh keluar sama sekali. Masak sampai dua kali sehari. Rasanya harus kerja terus karena semua orang di rumah. Tetapi bos saya baik. Saya boleh libur Minggu kalau mau. Tapi kalau mau kerja, dikasih uang lembur Rp 300.000,-. Jadi, saya pilih kerja saja karena kan juga gak kemana-mana," kata Inul ketika dihubungi saat sedang istirahat siang.
Kini, situasinya membaik. Orang sudah boleh keluar rumah dan kumpul-kumpul maksimal lima orang, tetapi, kata Inul, harus pakai masker dan menjaga jarak fisik. Ketahuan tak pakai masker atau jaga jarak bisa kena denda sampai Rp 3 juta. "Dimana-mana ada penjaga. Kalau melanggar, langsung suruh bayar. Ada teman saya melanggar disuruh bayar," ujarnya.
Pulang kampung
Pulang kampung dalam kondisi tak lagi berpenghasilan menambah berat beban pekerja migran dan keluarga. Dari sekian banyak yang pulang saat pandemi, hanya 15 persen yang mendapatkan bantuan sosial dengan alasan tidak terdaftar. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kata Mulyadi dari Migrant Care, banyak yang kemudian bekerja di sektor informal seperti menjual makanan ringan atau usaha kuliner. "Program pelatihan untuk pekerja migran berkurang karena tidak ada dana. Mereka tidak dapat bansos karena dianggap orang kaya. Sekarang mereka bisa dapat bantuan tapi dari dana desa atau kabupaten," ujarnya.
Meski masuk sektor informal, pekerja migran pasti akan kembali bekerja di luar negeri karena cara itu masih menjadi pilihan mendapatkan uang instan. Itu kenapa proses rekrutmen pekerja migran masih berjalan meski banyak negara masih menutup diri. "Banyak calo pekerja migran yang masif ugal-ugalan masuk ke desa-desa. Orang pasti tertarik iming-iming dan mau ikut meski ilegal karena butuh uang," kata Bambang Teguh Karyanto, Direktur SD Inpres Jember, organisasi nonpemerintah yang menangani isu desa.
Baca juga: Pekerja Migran Indonesia di Sektor Kelautan Tidak Terlindungi
Tawaran pekerjaan dari luar negeri pun banyak dan membutuhkan ratusan tenaga kerja seperti untuk perkebunan sawit dan pembangunan di Malaysia dan Taiwan. Wahyu menilai para calo memanfaatkan kebijakan buka tutup penempatan pekerja migran pemerintah yang membuat bingung. Negara-negara tujuan yang utama seperti Malaysia, Singapura, dan Arab Saudi masih tutup tetapi negara-negara lain sebagian sudah buka. "Calo menawarkan pekerjaan tanpa bilang negara mana saja yang sudah buka. Ini yang membuat banyak kasus pekerja migran tak berdokumen," ujarnya.
Salah satu kasus akibat calo ugal-ugalan terlihat pada kasus 29 WNI asal Bali yang menjadi korban penipuan dan telantar di Istanbul, Turki. Kasus ini sudah ditangani Perwakilan RI di Turki sejak Februari 2022. Dari 25 WNI itu, 5 orang sudah pulang ke Bali, 16 orang dievakuasi KJRI Istanbul dari penampungan ilegal ke penampungan sementara KJRI Istanbul, dan 8 orang lainnya tersebar dan bekerja secara ilegal di sejumlah kota di Turki. Duta Besar RI untuk Turki, Lalu Muhamad Iqbal, menegaskan para pelaku yang tinggal di Bali dan Turki akan dipidanakan.
Berdasarkan informasi, ke-25 WNI itu dijanjikan bekerja di Turki dengan gaji besar secara legal dan diberikan tempat tinggal layak. Korban diminta membayar antara Rp 25 juta hingga Rp 40 juta. Para korban diberangkatkan dengan menggunakan visa turis. Setelah berbulan-bulan di Turki, mereka tak juga mendapatkan pekerjaan yang dijanjikan, tidak diuruskan izin kerja, dan tinggal di penampungan ilegal dalam kondisi tidak layak. "Sebagian besar sudah berstatus overstay dan tidak memiliki izin kerja," kata Konsul Jenderal RI di Istanbul, Imam Asari.
Baca juga: Ancaman Tambahan bagi Pekerja Migran Indonesia di Tengah Pandemi
Kasus-kasus penipuan dan pengiriman pekerja migran Indonesia secara ilegal oleh perorangan dari Indonesia ke Turki dalam dua tahun terakhir ini melonjak. Ini karena semakin sulit mencari pekerjaan di dalam negeri sejak pandemi Covid-19 dan akses mudah WNI ke Turki. Bagi Indonesia, Turki bukan negara tujuan penempatan untuk pekerjaan rumah tangga Indonesia. Sebaliknya, Turki juga tidak membuka peluang bagi pekerja asing di sektor rumah tangga. Masyarakat Turki pada umumnya tidak memiliki budaya menggunakan atau memiliki asisten rumah tangga seperti di Timur Tengah. "Jika ada tawaran bekerja di sektor rumah tangga di Turki, dipastikan itu penipuan," kata Iqbal.
Remitansi
Karena banyak pekerja migran pulang kampung saat pandemi, negara-negara berkembang termasuk Indonesia kehilangan sumber pendapatan penting. Bank Dunia menyebutkan remitansi diperkirakan anjlok sekitar 20 persen secara global tahun ini. Ini penurunan terbesar sepanjang sejarah. Total remitan yang mencakup sepertiga ekonomi dari beberapa negara miskin, diperkirakan turun menjadi 445 miliar dollar AS dari 554 miliar dollar AS pada 2019.
Migrant Care mendorong agar remitansi yang masuk ke Indonesia bisa menggerakkan perekonomian daerah. Selama ini, kata Wahyu, Indonesia tidak memiliki tata kelola remitansi yang baik. Remitansi yang masuk tidak dimanfaatkan untuk usaha-usaha produktif. Padahal remitansi pada 2019 termasuk tertinggi yakni Rp 200 triliun lalu turun menjadi sekitar Rp 180 triliun pada 2020. "Filipina dan Meksiko sudah punya tata kelola remitansi yang baik dan tingkat remitansi mereka tinggi," ujarnya.
Baca juga: Pekerja Migran Indonesia Jadi Korban Perbudakan dan Perdagangan Orang
ILO mendorong agar negara-negara pengirim pekerja migran memasukkan para pekerja migran ke dalam program perlindungan sosial dan mengintegrasikan mereka ke dalam pasar kerja nasional. Situs Bloomberg, 24 Sep 2020, menyebutkan pemerintah Filipina menawarkan program gratis menambah ketrampilan untuk bidang pekerjaan pusat informasi, guru, layanan kesehatan, teknologi informasi, pariwisata, dan pelacak kontak Covid-19 kepada 300.000 pekerja migrannya yang pulang kampung karena pandemi.
Ekonom di Continuum Economics di Singapura, Jessie Lu, menilai dukungan pemerintah pada pekerja migran yang pulang kurang memadai untuk menggantikan penghasilan yang hilang. Lagipula, pemberian pelatihan ini hanya untuk jangka pendek. "Pasti banyak yang akan kembali kerja di luar negeri ketika situasi membaik dan ada pekerjaan lagi. Pemerintah harus mencarikan pasar tenaga kerja alternatif, termasuk China dan Eropa Timur," ujarnya.
Wahyu mendorong agar pemerintah memberdayakan pekerja migran di tingkat desa dan meningkatkan ketrampilan mereka sehingga bisa lebih kompetitif dengan pekerja migran dari negara lain. Tata kelola pekerja migran di dalam negeri yang harus dibenahi. "Keunggulan yang kompetitif yang harus ditingkatkan sehingga penempatan dan pemilihan negara tujuan itu bukan hanya berdasar atas kesamaan bahasa, agama, atau pertimbangan bahwa orang Indonesia lebih patuh," ujarnya.