Jatuh Bangun Mengejar "Cuan" di Negeri Jiran
Nasib pekerja migran semakin diliputi ketidakpastian di masa pandemi Covid-19. Calon pekerja dan pekerja yang cuti tak bisa kembali karena pintu resmi masih ditutup.
Nasib pekerja migran semakin diliputi ketidakpastian di masa pandemi Covid-19. Calon pekerja dan pekerja yang cuti tak bisa kembali karena pintu resmi masih ditutup. Disisi lain, pekerja yang kontraknya habis tak bisa pulang karena terbatasnya jadwal penerbangan. Jalan ilegal kerap menjadi pilihan ditengah tekanan ekonomi yang menghimpit.
Kerinduan yang mendalam pada anak-anaknya mendorong Inah (40) nekat pulang ke kampung halaman di Desa Dukuh Dempok, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember, Jawa Timur, awal Januari 2022 lalu. Dia menolak tawaran majikan yang ingin memperpanjang kontraknya setahun lagi meski diiming-imingi kenaikan gaji.
Bagi pekerja migran di Malaysia seperti Inah, perjalanan pulang kampung pada masa pandemi Covid-19 bukanlah perkara gampang. Meski kontrak kerja sudah habis, mereka tidak serta merta bisa langsung pulang, melainkan harus menunggu jadwal penerbangan ke Indonesia yang difasilitasi oleh pemerintah (repatriasi).
“Saya beruntung hanya menunggu beberapa hari. Banyak teman yang menunggu lama baru bisa pulang. Selama masa tunggu, pekerja bisa tinggal di tempat penampungan yang disediakan oleh perusahaan yang memberangkatkan atau tetap di rumah majikan,” ujar Inah, Sabtu (12/3/2022) di Jember.
Sesampainya di Jakarta, Inah tak bisa langsung melanjutkan perjalanan ke Jember. Perempuan yang bekerja sebagai asisten rumah tangga selama dua tahun ini, harus menjalani serangkaian prosedur pemeriksaan Covid-19 dan wajib mengikuti karantina selama 10 hari. Dia memilih di Wisma Atlet Jakarta karena biayanya gratis.
Setelah masa karantina berakhir dan mengantongi hasil negatif Covid-19, Inah baru bisa bertolak ke Jember. Dia memilih mengunakan bus angkutan umum untuk menghemat biaya, agar uang hasil jerih payahnya bisa digunakan untuk keperluan keluarga terutama biaya pendidikan kedua anaknya.
Inah mengaku belum tertarik kembali bekerja di negeri jiran meski gajinya menggiurkan yakni 1.260 RM (Ringgit Malaysia) per bulan atau sekitar Rp 4 juta per bulan. Selain alasan keluarga, kebijakan pemberangkatan pekerja ke sejumlah negara seperti Malaysia secara resmi masih ditutup.
Belum dibukanya jalur pemberangkatan resmi di sejumlah negara membuat nasib calon pekerja migran di Indonesia semakin tidak menentu. Selain rentan menjadi sasaran para calo yang memberangkatkan pekerja lewat jalur ilegal, mereka juga rawan menjadi korban penipuan berkedok penawaran pekerjaan.
Darwati (44) warga Desa Ambulu, Kecamatan Ambulu, menceritakan anaknya yang bernama Sandiko (22) ingin bekerja di Korea selepas lulus SMA pada 2019 lalu. Namun, sampai sekarang, impian itu tak kunjung terwujud meski uang puluhan juta rupiah telah dikeluarkan.
Dia menceritakan untuk memenuhi syarat bekerja di Korea, anaknya mengikuti kursus bahasa dengan biaya Rp 4,5 juta. Namun, hingga 2020 tak kunjung ada kejelasan. Sandiko kemudian mendaftar kerja ke Jepang dan mengikuti kursus bahasa pada lembaga kursus yang sama.
Selain kursus bahasa Korea dan Jepang, Sandiko juga mengambil pendidikan untuk mengasah ketrampilan sesuai dengan lapangan pekerjaan di negara tujuan. Namun, meski sudah memiliki bekal cukup, panggilan kerja di negeri jiran tak kunjung dia dapatkan.
“Meski sudah punya ketrampilan dan menguasai bahasa asing, tidak ada jaminan bisa bekerja di sektor formal di luar negeri. Belakangan ini ada tawaran kerja di Australia dengan cara bayar Rp 25 juta. Akan tetapi saya ragu karena pihak yang memberangkatkan mengaku dari Malaysia,” kata Darwati.
Kisah serupa juga disampaikan Wijianingsih (43), tetangga Darwati. Anak Wiji yang bernama Reza Bentar (18) merupakan salah satu siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) swasta. Untuk mendapatkan ketrampilan mengelas, harus membayar Rp 18 juta. Namun, apabila ingin bekerja di Jepang harus menambah Rp 20 juta.
Meski telah mengeluarkan uang Rp 38 juta, hingga kini, Reza belum mendapat kepastian berangkat. Dia bahkan dijanjikan baru berangkat dua tahun lagi. Adapun selama bekerja di Jepang, dia diiming-imingi menerima gaji Rp 10 juta per bulan. Upah yang diterima bisa menembus Rp 30 juta per bulan saat ada pekerjaan lembur.
Project Officer Migran Care Jember Bambang Teguh Karyanto mengakui tantangan yang dihadapi para pekerja migran pada masa pandemi Covid-19 menjadi lebih beragam. Disatu sisi, banyak pekerja migran yang habis masa kontrak tidak bisa pulang karena menunggu jadwal penerbangan.
Disisi lain, para calon pekerja migran harus menghadapi ketidakjelasan keberangkatan karena jalur resmi masih banyak yang ditutup. Pada saat bersamaan, para calo terus merayu menawarkan jalur tidak resmi. Bertahan di kampung halaman juga bukan pilihan menarik karena minimnya lapangan pekerjaan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jatim Himawan Estu Bagijo mengatakan angka pekerja migran ilegal dari tahun ke tahun belum bisa diturunkan. Bahkan di Malaysia ada kebijakan yang mendorong para pekerja migran ini nyaman berangkat kesana. Salah satunya, pekerja difasilitasi berangkat menggunakan visa wisata dan bisnis. Setelah berada di Malaysia, visanya dikonversi menjadi visa kerja.
Upaya menekan pekerja migran ilegal telah ditempuh antaralain dengan menjalin kerjasama antarnegara seperti Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Namun, untuk Malaysia pihaknya masih kesulitan membangun kerjasama. Dia mempediksi tahun ini ada 18.000 pekerja migran yang akan tiba atau kembali ke Jatim.
“Mereka merupakan pekerja yang kontak kerjanya sudah habis dan tidak diperpanjang lagi. Selain itu, pekerja migran ilegal yang dipulangkan oleh negara pemberi kerja atau dideportasi,” ujar Himawan.
Sepanjang Januari hingga Maret 2022, tercatat tiga kali kedatangan pekerja migran melalui Bandara Juanda Surabaya. Kedatangan pertama sebanyak 131 pekerja migran dari Malaysia pada Sabtu (22/1/2022). Adapun kedatangan berikutnya dari Brunei Darussalam sebanyak 149 pekerja migran, pada Senin (31/1/2022). Terbaru, sebanyak 211 pekerja migran dari Brunei Darussalam mendarat di Juanda pada Senin (28/2/2022).
Penanganan pemulangan pekerja migran ini sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam rangka pengendalian sebaran Covid-19. Ada tiga tempat karantina pekerja migran yang disediakan oleh Pemprov Jatim yakni Asrama Haji, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jatim, dan Balai Diklat Kemenag Jatim.
Sementara itu, Kepala UPT BP2MI Wilayah Jatim Happy Mei Ardeni mengatakan upaya yang dilakukan untuk menekan pekerja migran ilegal ini sejatinya sudah banyak. Salah satunya kerjasama dengan Pemprov Jatim dan pemerintah kabupaten/kota di Jatim dalam menyosialisasikan kebijakan dibidang ketenagakerjaan.
Contohnya menyosialisasikan prosedur bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri. Negara-negara tujuan kerja beserta lapangan pekerjaan yang dibutuhkan. Selain itu, memfasilitasi pelatihan ketrampilan untuk meningkatkan daya saing calon pekerja migran.