Moskwa tidak mau hubungan dengan Teheran terkendala oleh berbagai sanksi Washington dan sekutunya. Aspirasi ini menginterupsi perundingan yang sudah berlangsung berbulan-bulan guna mengaktifkan lagi perjanjian 2015.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Teheran, Sabtu Perundingan untuk menghidupkan lagi kesepakatan nuklir Iran berisiko berakhir buntu. Faktor penghambatnya adalah Amerika Serikat dan Rusia.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan setuju dengan pendapat Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell untuk menunda perundingan. Alasannya, hal itu bisa menyediakan peluang menelaah ulang dan mencari solusi atas sejumlah masalah dalam negosiasi itu.
”Kesuksesan perundingan adalah tujuan utama. Tidak ada faktor luar yang boleh memengaruhi hal ini,” kata dia sebagaimana dikutip media Iran, IRNA dan Tasnim.
Pada Jumat (11/3/2022) sore waktu Brussels atau Sabtu dini hari WIB, Borrell mengatakan bahwa perundingan menghidupkan lagi Join Comprehensive Plan on Action (JCPOA) atau Kesepakatan Nuklir Iran 2015 mungkin sebaiknya ditunda.
”Naskah sudah siap. Sebagai koordinator, saya dan tim akan melanjutkan komunikasi dengan semua peserta JCPOA dan Amerika Serikat (AS) untuk mengatasi keadaan saat ini dan mencapai kesepakatan,” ujarnya.
Menurut Borrell, ada faktor eksternal sehingga penundaan harus dilakukan. Ia tidak menjelaskan apa faktor yang menyebabkan penundaan rangkaian perundingan yang sudah berlangsung sejak April 2021 itu.
IRNA dan Tasnim melaporkan, ada masalah yang ditimbulkan AS dan Rusia dalam perundingan itu. Masalah itu tidak terkait Iran. Oleh karena itu, masalah tersebut harus dipecahkan oleh Moskwa-Washington.
Utusan Khusus Rusia di Vienna, Mikhail Ulyanov, menyangkal ada penundaan perundingan. Negosiasi juga tidak bergantung pada Rusia. ”Ada pihak yang butuh tambahan waktu untuk masalah mereka dan mereka sekarang berdiskusi internal,” katanya.
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menuntut pemulihan kesepakatan nuklir Iran tidak boleh terhambat aneka sanksi AS dan sekutunya kepada Rusia. Ia merujuk kepada hampir 90 paket sanksi kepada ratusan orang dan lembaga di Rusia oleh AS dan sekutunya. Paket-paket sanksi itu dijatuhkan selepas Rusia menyerang Ukraina.
Selama Iran dijatuhi berbagai sanksi internasional, Rusia menjadi mitra utama pada berbagai hal. Moskwa tidak mau hubungan dengan Teheran terkendala oleh berbagai sanksi Washington dan sekutunya.
Seperti terhadap berbagai negara lain, sanksi AS dan sekutunya menyulitkan target bertransaksi dengan berbagai pihak. Sebab, AS dan sekutunya akan menghukum pula siapa pun yang bertransaksi dengan sasaran sanksi. Hal itu sudah terjadi antara lain pada Iran, Korea Utara, Kuba, dan Venezuela.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, menyebut, delegasi AS yang dipimpin Robert Malley memang telah kembali ke Washington untuk berkonsultasi. ”Harus segera ada keputusan soal Moskwa dan Teheran. Jika ada kemauan politik, jika ada keseriusan mencapai tujuan, kami yakin kesepakatan bisa tercapai,” katanya.
Menurut Price, tuntutan Rusia tidak berkaitan dengan JCPOA dan karena itu tidak bisa dijadikan alasan dibahas dalam perundingan. ”Kami tidak punya tawaran baru pada Rusia terkait sanksi (yang dijatuhkan setelah serangan ke Ukraina) demi pemulihan ulang kesepakatan,” kata Price.
JCPOA mati suri sejak AS di bawah Donald Trump keluar secara sepihak pada Mei 2018. Setelah keluar, AS kembali menjatuhkan berbagai sanksi kepada Iran. Iran membalas itu dengan kembali memacu pengayaan uranium dan membatasi pengawasan internasional terhadap program nuklirnya.
Dalam JCPOA 2015, AS dan sejumlah negara setuju mencabut sejumlah sanksi dan kembali berdagang secara bebas dengan Iran. Sebagai imbalan, Iran setuju program pengembangan nuklirnya diawasi oleh komunitas internasional dan sejumlah reaktornya dilucuti.
Di masa pemerintahan Joe Biden, AS setuju kembali merundingkan pengaktifan ulang JCPOA. Namun walau hadir di Vienna yang jadi lokasi perundingan, delegasi AS tidak terlibat langsung dalam perundingan. Hanya delegasi China, Rusia, dan perwakilan anggota Uni Eropa berunding langsung.
Dalam rangkaian perundingan, Iran menuntut semua sanksi AS dihapuskan segera tanpa syarat. Kompensasinya, Teheran setuju mematuhi semua kewajibannya di JCPOA. Sejauh ini, AS masih mencoba menambahkan tuntutan baru. Washington juga mau pencabutan sanksi dilakukan bertahap dengan sejumlah syarat.
Bagi Teheran, hambatan utama perundingan adalah penolakan AS mencabut berbagai sanksi.
Dalam laporan pada Jumat (11/3), Tasnim dan Iran menyebut AS berusaha menghambat JCPOA dihidupkan lagi. Bagi Teheran, hambatan utama perundingan adalah penolakan AS mencabut berbagai sanksi.
Banyak orang dan lembaga yang penting bagi perekonomian Iran jadi sasaran sanksi AS. Teheran telah menegaskan, tidak akan ada kesepakatan tanpa pencabutan sanksi. Iran memandang, AS butuh waktu untuk mengejar kesepakatan lain dalam rangkaian perundingan itu. Oleh karena itu, Washington mencoba terus mengulur waktu. “Upaya ini lebih berdampak merusak bagi mereka,” kata pejabat Iran yang menolak identitasnya diungkap.
Pejabat itu merujuk pada inflasi tertinggi AS dalam 40 tahun terakhir. Inflasi terus bertambah setelah rangkaian sanksi AS pada Rusia. Sebab, harga minyak justru melonjak gara-gara sanksi itu. Sanksi juga menyebabkan Rusia, yang memasok 7 persen minyak global pada 2021, sulit menjual aneka komoditasnya.
Lewat perundingan dengan Iran, AS berharap bisa mendapat pasokan pengganti. Sayangnya, perundingan itu belum selesai dan pasokan minyak belum kunjung aman. (AFP/REUTERS/RAZ)